16. Liburan

14 1 0
                                    

Seperti gula yang tidak pernah menyesal telah membuat kopi dipuji_

°°°

"Libur tlah tiba... Libur tlah tiba... Hore... Hore..."

Sambil menurui tangga, mulut Lika tak berhenti bersenandung sedari tadi. Mengabaikan tatapan Agam-papinya yang menatap heran.

"Pagi Papi dan Mami ku sayang," Lika menghampiri papinya yang sedang duduk membaca koran dan maminya yang sedang membaca majalah fasion di depan televisi.

"Pagi Sayang,"jawab kedua nya kompak.

"Kamu mau kemana pagi-pagi begini?" tanya Agam menatap heran putri bungsunya.

Lidiya-mami Lika pun tak lepas dari tatapan heran ya kepada Lika.

Suara khas keibuan itu pun terdengar, "iya nih, barusan kamu pagi-pagi begini sudah rapi."

Lika memanyunkan bibirnya. "Ih, Mami ya! Aku kan emang selalu rapi setiap hari!" ucapnya kesal. Lika beralih pada papinya, melangkahkan kaki dan memeluk pria paruh baya itu manja. Dia sangat merindukan papi dan maminya yang akhir-akhir ini jarang berada di rumah. Kalau saja dia bisa memilih untuk menjadi anak kecil yang bisa ikut kemanapun orang tuanya pergi. Andai saja.

"Manja ya, " Agam menarik pelan hidung putrinya yang manja itu, membuat Lika terkekeh.

"Sebentar deh, Pi, " Lidiya menutup majalah di tangannya. Dia memperhatikan penampilan Lika dari ujung kaki hingga ujung kepala dan baru menyadari bahwa penampilan putrinya itu sangat-sangat berbeda dari biasanya.

"Kamu sejak kapan berhijab, Lik?" tanyanya kemudian.

"Hehehe, cantik nggak Mi?" Bukannya menjawab, Lika malah kembali bertanya.

"Lumayan sih. Tapi kamu enggak ngikutin ajaran-ajaran nggak bener kan selama Mami sama Papi enggak di rumah?!" tuduh maminya.

"Ih Mami ya! Orang berjilbab kok malah di bilang ngikutin ajaran enggak bener." Bibirnya kembali manyun.

"Ya aneh aja gitu, kan Pi?" Lidiya meminta persetujuan Agam.

Agam yang hanya diam memperhatikan kedua wanita beda generasi itu hanya bisa mengangguk.

"Yaaa, mungkin Allah kasih hidayanya sama aku sekarang, Mi,"terang Lika.

"Kamu kan kebiasaan pakai rok mini, sekarang tertutup gitu enggak gerah memangnya?"Lidiya masih saja bertanya, masih merasa asing dengan perubahan putrinya sekarang.

"Insyaallah enggak, Mi. Aku juga kan masih belajar, kata temenku pertama emang gerah tapi nanti kalau udah terbiasa jadi nyaman," ucap Lika teringat ucapan Senja hari lalu.

"Yaudah, Mami sama Papi dukung apapun keputusan kamu selama itu baik," putus Agam akhirnya.

Lika senang keputusannya untuk berhijab didukung oleh kedua orangtuanya. Tidak seperti cerita yang pernah ia baca di novel, menceritakan tentang orangtua yang melarang anaknya berhijab, atau bahkan sebagian orang pun mengalaminya.

Memang, sebelum memutuskan berhijab, Senja menyarankan Lika untuk banyak-banyak membaca buku sebagai motivasi kala imannya down. Dan memang dasar Lika yang malas jika harus membaca buku serius, makanya dia memilih novel sebagai penggantinya.

Terlepas dari kebahagiaan Lika, di tempat yang berbeda ada Senja yang sedang menunggu-nunggu kedatangan teman yang sekarang insyaallah akan menjadi sahabatnya itu.

Lika kemarin mengabarinnya jika ia akan ikut pergi kajian bersama Senja. Saat Senja memberi tawaran untuk mengaji bersama, tidak kurang dari dua puluh empat jam kemudian Lika mengabarinya kalau dia akan ikut kemanapun Senja pergi.

"Senja!"

Senja menengok. Dia sempat terperangah melihat penampilan Lika yang sangat jauh dari biasanya. Dia sangat cantik dengan jilbab abu-abu dan gamis merah mudah di tubuhnya. Gamis itu adalah gamis pilihan Senja saat membantu Lika memilih baju di mall kemarin.

Senja sendiri tak kalah cantik dengan gamis hitam dan jilbab merah maroonnya.

"Kita berangkat sekarang?"tanya Lika membiarkan lamunan Senja.

Senja mengangguk dan berjalan menuju mobil Lika yang dikemudikan seorang pria paruh baya yang Senja tahu adalah sopir pribadi keluarga Suryodinigrat.

Mobil melaju membelah jalanan dengan kecepatan sedang. Di perjalanan, Lika tidak bisa berhenti berbicara sedari tadi. Dia terus memberondongi Senja dengan berbagai pertanyaan yang hanya dibalas Senja dengan gelengan dan anggukan karena sudah terlalu lelah menjawab.

"Nanti kalau aku terasingkan gimana, Ja?"

Senja mengelus dadanya mencoba men-sabarkan dirinya.

"Itu pertanyaan ke lima kamu selama tiga puluh menit ini ya, Lik. Satu kali lagi bertanya dapat piring kamu," celetuk Senja.

"Yaa aku kan gerogi, Ja. Ini pengalaman pertama aku loh ikut kajian-kajian kayak gini," ucap Lika meremas ujung jilbabnya.

Senja menggeleng, "tenang saja, kamu enggak akan terasingkan kayak di novel-novel itu kok. Kita kan mau cari ilmu, jadi enggak mungkin dong di kucilkan."

Bibir Lika manyun, "Kamu enak udah biasa, lah aku?!"jawabnya sengit.

"Memangnya kalau sudah biasa itu enggak ada pertemuan pertama?"

Lika tambah manyun. Tiba-tiba mobil berhenti di depan masjid sederhana namun sangat tertata rapi.

Lika turun dengan tangan yang menggenggam ujung gamis Senja. Dia belum berani mendongak, hanya bisa menundukkan kepalanya seraya mengikuti Senja yang berjalan terlebih dahulu.

"Assalamualaikum," Senja mengucapkan salam.

"Wa'alaikum salam."

"Lik, kamu mau di belakang aku terus begini?" bisik Senja.

"Ha?" Lika mendongak dan tatapannya langsung tertuju pada beberapa orang di hadapannya yang juga sedang menatap dengan bibir melengkung indah.

Rasa grogi itu seketika menguap kala melihat tatapan bersahabat yang dilayangkan padanya. Lika tersenyum canggung menanggapi.

Dia mengikuti langkah Senja yang menyalimi satu per satu orang di sana. Saat mengedarkan pandang, Lika kembali tertegun melihat hanya perempuan yang berada di sini. Tidak ada laki-laki barang satu orang pun.
Senja mencolek Lika yang tertangkap sedang melamun. Senja membisikan sesuatu yang seketika membuat Lika tertawa malu.

----------

PS:Cerita teenfiction dalam wattpad ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat kejadian ataupun judul cerita, maka itu semua hanya kebetulan semata dan tidak ada unsur kesengajaan dari penulisnya.


Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang