20.Vania!

13 1 0
                                    

"Ma, aku minta maaf ya. Aku sadar selama ini kesalahan aku begitu banyak sama Mama, maafin aku juga yang belum bisa membahagiakan Mama sampai sekarang."

Berlutut di depan orang tua, meminta maafnya adalah hal yang acap kali dilakukan jika hari raya telah tiba. Meskipun hal itu bagus, akan lebih bagus tentunya jika kita sebagai anak melakukannya sesering mungkin.

Tidak dapat dipungkiri memang, kesalah-kesalahan seringkali menghampiri kita secara disengaja atau pun tidak. Maka, di bulan yang penuh rahmat ini, Langit sebagai seorang anak wajib meminta maaf kepada kedua orangtuanya, karena dia pun yakin jika sampai saat ini belum bisa membuat kedua orangtuanya merasa bangga.

"Mama sudah memaafkan kamu Sayang, bahkan sebelum kamu meminta maaf seperti ini." Melanie mengusap kepala anaknya sayang. Dia adalah wanita biasa dengan hati layaknya ibu di luar sana.

"Papa mana, Ma?" Merasa tak melihat keberadaan Abraham, Langit berinisiatif untuk bertanya.

"Papa kamu tadi izin ke kant--"

"Kerjaan lagi?" Langit sengaja memotong ucapan ibunya, menggeleng tak percaya bahwa orang yang dicarinya kini sedang berkutat dengan dunia bisnis yang entah kapan akan habis.

"Langit, kamu tenang dong Sayang. Biarkan papa kamu menyelesaikan urusannya," Melanie kembali menenangkan anaknya dengan sayang.

Langit menatap Melanie dengan raut bersalah. Dia tidak marah kepada mamanya, tapi dia marah pada papanya. Emosi yang tidak bisa ia kontrol inilah yang menyebabkan dia berbicara dengan nada tinggi di hadapan Melanie.

Langit menunduk, memeluk mamanya dalam-dalam. "Maaf Ma. Langit enggak bermaksud bentak-bentak Mama," ucapnya pelan penuh penyesalan.

"Iya, Mama tau kalau kamu kecewa sama papa. Tapi, kamu jangan benci dia ya, karena mau bagaimanapun papa adalah orangtua kamu, " pinta Melanie.

Langit diam namun tak urung mengangguk juga. Langit memang tidak akan bisa membenci papanya segampang itu, karena mau bagaimana pun mamanya benar, papa tetaplah orangtuanya yang telah berjuang agar ia hidup.

" Sudah-sudah, kita ke depan sekarang. Tadi teman Mama telepon katanya mau berkunjung ke sini."

Langit hanya pasrah diseret oleh Melanie. Mood-nya berhari raya sudah rusak sejak mengetahui papanya meninggalkan rumah dan memilih bekerja.

"Assalamualaikum, Tanteee!!!"

Langit yang sedang menikmati kue coklat made in mamanya seketika mendongak mendengar suara manja milik seorang gadis yang err--bahkan Langi tidak yakin dengan asumsinya bahwa itu seorang gadis bukan tante-tante, melihat dandananya yang rempong luar biasa.

"Wa'alaikum salam, masuk-masuk sini Sayang," Melanie mempersilahkankan gadis itu untuk duduk di sampinya. Tak lama berselang dua sosok yang Langit taksir seumuran dengan mamanya ikut masuk.
Langit masih belum berkutik sama sekali. Akalnya masih mencoba menerawang siapa gerangan orang-orang yang katanya "teman" Mama ini. Namun lima detik berlalu pun hasilnya nihil, otaknya tak menunjukan tanda-tanda pernah bertemu orang-orang ini.

"Langit, kok diam saja. Ayo dong salaman sama tante Ayunda dan om Bimo." Melanie menyikut Langit.

Langit segera menuruti perintah Melanie. Menyalami mereka satu per satu.

"Halo Langit, kamu masih ingat dengan Om dan Tante, kan?" sapa Bimo ramah.

Langit tersenyum canggung sembari menggaruk tengkuknya yang sama sekali  tidak gatal. Mengenal katanya? Bahkan mengingat pun tidak.
Hingga tiba giliran dia bersalaman dengan eum--gadis itu.

Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang