22.Senja Pingsan?

14 0 0
                                    

"Beneran lo mau balik sekarang?"

Lika menatap kakaknya dengan tatapan tidak percaya--bahkan sangat-sangat tidak percaya.

Bang Mahes- begitu Lika memanggilnya-memalingkan muka dari yang menatap tumpukan baju ke arah adiknya.

"Iyaaa, Adik ku yang tersayang. Udah deh, nggak usah lebay gitu. Nanti gue pulang lagi, kok."

Lika semakin memajukan bibirnya. Dia sangat kesal dengan kakaknya itu. Bagaimana tidak, setelah dua tahun dia menunggu kepulangannya dan sekarang belum juga genap dua hari kakak laki-lakinya itu sudah akan kembali ke tanah perantauan.

"Padahal lebih baik kalo elo nggak usah pulang sekalian!" ucapnya kesal.

Kakaknya hanya tertawa menanggapi kekesalan Lika. Tangan pemuda itu telulur menyentuh rambut panjang adiknya.

"Dek, dengerin Abang ya. Abang pergi kan buat belajar, Abang nggak bisa seenaknya dong pulang-pergi sesuai yang Abang mau. Di sana ada peraturan, dan Abang nggak mau dong menuruti 'stigma' jika peraturan dibuat untuk dilanggar."

Lika terenyuh menyaksikan kejadian itu. Di mana kakaknya berbicara panjang kali lebar, dan jangan lupakan kakaknya juga berbicara layaknya orang bijak.

Apakah Lika egois dengan ucapannya tadi?

Lika menunduk dalam, menyesali--bukan, lebih tepatnya merasa kalau egonya sangat berkuasa kali ini.

Setelah bergelut dengan egonya sendiri, Lika akhirnya mengangguk. Entah untuk alasan apa anggukannya ini. Intinya, dia hanya mengangguk dan mengikuti kemauan kakak laki-lakinya, itu saja.

Dia memang sudah egois. Untuk apa dia melarang kakaknya kembali ke perantauan. Lagi pula, dia tidak punya hak untuk itu.

Pasti dia juga akan sangat marah jika ada seseorang yang menghalanginya untuk mewujudkan cita-cita. Tapi, kakaknya tidak pernah marah seperti yang akan dia lakukan. Kakaknya selalu memanjakannya, walau terkadang sangat menyebalkan.

"Maaf, Bang. Lika egois, Lika tau kalau Lika nggak ada hak buat larang-larang Abang," suaranya terdengar parau.

"Ngomong apaan sih!" Kakaknya menyangkal,"udah, nggak usah  nge-drama. Sekarang bantuin Abang beres-beres!"

Pemuda itu melempar setumpuk pakaian yang membuat Lika hampir limbung di tempatnya.

Benar kan! Kakaknya itu memang menyebalkan!

Lika melemparkan semua pakaian itu di atas lantai dengan misuh-misuh tidak jelas. Melipatnya satu per satu dengan sangat terpaksa! CATAT! SANGAT T-E-R-P-A-K-S-A!!

"Eh, gue baru ingat. Katanya elo mau ketemu temen gue yang namanya Senja, Bang. Enggak jadi?" Lika berhenti sejenak dari aktivitasnya melipat pakaian. Dia teringat ucapan kakaknya yang 'pernah' bilang minta di kenalin sama Senja.

"Maunya sih gitu, tapi waktu tidak mengizinkan. Kapan-kapan aja, deh!" putus pemuda itu.

Lika manggut-manggut tidak mengindahkan. Sebenarnya, dia juga tidak menganggap serius ucapan kakaknya yang ingin 'berkenalan' dengan Senja, ini hanya siasatnya saja untuk menahan kepergian kakak laki-lakinya itu.

Ya, Lika memang masih berharap kakaknya tidak pergi sekarang.

Lika mengejab kala cahaya matahari menusuk indra penglihatannya. Tidak sadar jika dia sedang melamun di tempat umum seperti ini. Tadi adalah percakapan terakhir dengan kakaknya sebelum pemuda yang selalu 'lupa pulang' itu meninggalkan rumah.

Langit dan SenjaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang