"Gus Fatih, ditimbali Gus Azmi," panggil seorang wanita yg merupakan salah satu abdi dalem.
Fatih menghentikan jari-jarinya yang tengah memetik senar gitar, menoleh sekejap sambil menjawab, "Nggeh Mbak, suwun."
Gus Fatih memang tak pernah menunda-nunda segala hal yang menyangkut Gus Azmi, pria yang menjadi ayah kedua baginya. Ya, setelah ayahnya meninggal, Gus Azmi lah yang menjadi wali dan bertanggung jawab atas dirinya.
Pemuda bertubuh tinggi tegap itu segera menuju ruang kerja Gus Azmi, sebuah kamar berukuran empat kali empat meter yang penuh dengan rak berisi kumpulan buku. Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, Gus Fatih langsung masuk tanpa perlu dipersilahkan.
"Ijlisu!" ucap Gus Azmi tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang dibaca.
"Ada apa Abi manggil Fatih?" tanya Gus Fatih seraya duduk di depan meja sang paman.
Gus Azmi mulai menatap pemuda yang mirip dengannya itu. "Tentang SMA yang kamu pilih, apa kamu sudah benar-benar yakin?"
Alih-alih menjawab, Gus Fatih malah balik bertanya, "Umi sudah cerita?"
Gus Azmi mengangguk sembari memajukan posisi duduknya, kedua lengannya terlipat di atas meja yang memisahkan mereka. "Beri satu alasan yang bisa membuat abi setuju dengan pilihanmu."
"Fatih ingin melihat dunia yang sebenarnya, dunia dengan berbagai karakter manusia dengan segala keyakinannya. Kalau di sini Fatih hanya akan melihat kumpulan orang alim yang taat pada agama, lalu bagaimana Fatih akan menghadapi orang-orang yang berbeda saat dewasa nanti?"
Gus Azmi hanya terdiam dengan tatapan lekat pada keponakannya itu, sama sekali tak menyangka seorang pemuda berusia lima belas tahun telah mempunyai pemikiran yang begitu kompleks tentang kehidupan. Lalu apa lagi yang perlu ditakutkan?
"Baiklah, abi setuju."
"Yaasss!" seru Gus Fatih sambil mengepalkan tinjunya ke udara, tapi tatapan tajam dari Gus Azmi membuatnya segera sadar dengan apa yang dilakukan.
Gus Fatih hanya bisa nyengir menampilkan deretan gigi putihnya sambil berucap, "Alhamdulillah."
"Sekarang bersiaplah, kita akan berziarah ke makam abi kamu."
"Siap Bos," pekik Gus Fatih lalu bergegas keluar.
==*==
Tak hanya Gus Azmi dan dirinya yang berziarah, tapi juga sang ibu, Wirdah Arifah dan mereka memasuki pemakaman selepas sholat Ashar. Pemakaman tersebut berada di sisi kanan kompleks pondok pesantren As-Salam, yang hanya diperuntukkan untuk keluarga Iskandar dan para abdi dalem, juga sebagian dari keluarga para pengajar pondok.
Mereka bertiga duduk di samping pusara dengan batu nisan yang bertuliskan nama Rasyid Iskandar, kakak dari Gus Azmi dan merupakan ayah dari Gus Fatih. Gus Rasyid meninggal saat Gus Fatih baru berusia empat tahun karena sebuah kecelakaan di Mesir, oleh karena itu Gus Fatih tak terlalu mengingatnya.
Setelah melantunkan tahlil yang dipimpin oleh Gus Azmi, mereka mulai melantunkan doa masing-masing dalam hati. Tak terasa senja mulai menampakkan sinarnya, dan membuat mereka segera beranjak. Namun, langkah Gus Fatih tiba-tiba terhenti saat iris gelapnya menangkap sesosok tubuh mungil yang bersimpuh di salah satu makam.
Rasa penasaran begitu mengusik, membuat kakinya dengan mantap berjalan ke arah sosok tersebut. Ternyata dia adalah seorang gadis dengan bahu sedikit bergetar dan mata terpejam, entah doa apa yang dipanjatkan gadis berhidung mancung tersebut sampai membuatnya terlihat begitu pilu.
"Apa itu ayahmu?" Pertanyaan Gus Fatih sontak membuat gadis itu berjingkat kaget.
Gadis berkerudung biru itu menengok ke arahnya sambil mengucap istiqfar berkali-kali, tampak begitu lucu. Tapi mata bulat yang kini menatapnya jelas terlihat menyimpan sejuta kesedihan.
"Iya, ini abahku," jawab Gadis itu lirih.
Gus Azmi kini memilih ikut berjongkok di sebelah gadis itu lalu berucap, "Jangan menangis, nanti manismu hilang."
Seketika gadis itu menunduk dengan rona merah yang mulai terbit di pipi pucatnya. Padahal sebenarnya kalimat Gus Fatih tersebut bukan bermaksut untuk menggoda, hanya niatan untuk menghibur saja.
"Kamu tenang saja, hijab yang kamu pakai ini pasti akan membantu meringankan beban abahmu di akhirat."
Sepertinya ucapan Gus Fatih memberikan pengaruh luar biasa untuk gadis di hadapannya, karena terlihat jelas mata gadis itu yang mulai tampak berbinar indah. Tapi fokus Gus Azmi segera teralihkan oleh sebuah piala yang berdiri tepat di sisi nisan, benda berkilat tersebut bertuliskan nama yang menjadi siswa lulusan terbaik dari salah satu SMP Negeri di sana.
Dengan senyum lembut, Gus Fatih kembali berucap, "Dan pastinya abahmu sangat bangga memilikimu." Kemudian dia beranjak pergi setelah berkata, "Assalamualaikum Naila."
NOTED
Ditimbali (Bhs Jawa) : dipanggil
Ijlisu : duduklah
To be continue....
Bagi yang bel mengenalku bisa intip-intip IG ku ya..
dianafitria822
Jangan lupa vote yang banyak...
KAMU SEDANG MEMBACA
Assalamualaikum Naila
SpiritualSeason 1 Fatih Ar-Rasyid, seorang Gus dari sebuah Pondok Pesantren yang memilih melanjutkan SMA nya di sekolah umum. Di sana lah dia bertemu dengan Naila Sayyidah, gadis pendiam yang menumbuhkan cinta dalam hatinya. Cinta tersebut tersembunyi di bal...