Bab 2 Tak Seperti yang Terlihat

1.5K 89 2
                                    

"Buru-buru banget jalannya, Nai," kata Gus Fatih setelah mampu menyamai langkah gadis itu. Setelah menjawab salamnya di masjid tadi, Naila memang seperti terburu-buru keluar dan membuatnya semakin penasaran.

Gadis itu menghentikan langkahnya sembari menjawab, "Iya maaf, soalnya aku harus bantuin umi."

"Emang umi kamu di...." Belum selesai Gus Fatih berbicara, gadis itu sudah melenggang pergi.

Gus Fatih menghela nafas lalu melanjutkan langkahnya menuju kantin, karena sekarang perutnya sudah meronta minta diisi.

Sebenarnya di sekolah ini ada dua kantin, satu di lantai bawah dan satu lagi di lantai dua. Tapi sepertinya Gus Fatih akan lebih sering datang ke kantin bawah karena paling dekat dengan Mushola. Suasana di kantin tampak rame, hanya tersisa dua pasang meja yang kosong dan Gus Fatih memilih duduk di meja paling pojok.

Gus Fatih membaca papan menu yang berdiri di sisi etalase makanan, tak banyak makanan yang ditawarkan hanya ada bakso, mie ayam dan nasi campur dengan harga yang sangat pas untuk kantong anak sekolah.

Gus Fatih terlihat berjalan menuju tempat pemesanan, saat kemudian ekor matanya menangkap sosok Naila yang tengah membawa nampan berisi makanan. Gadis itu terlihat mengantarkan makanan untuk para siswa di kursi masing-masing, jadi mungkin inilah maksut dari ucapan Naila tadi.

"Assalamualaikum Bu Endang," sapanya pada wanita yang terlihat sibuk menyiapkan pesanan.

Wanita yang namanya terpampang di spanduk atas kantin menatapnya heran, mungkin baru kali ini ada siswa yang mengucapkan salam saat akan memesan makanan padanya.

"Waalaikumsalam," jawab Bu Endang ragu. "Masnya mau pesan apa?"

Gus Fatih tersenyum ramah sambil menjawab, "Mie ayam gak pake sayur ijo-ijo, Bu."

"Iya, masnya duduk dulu aja, nanti biar diantar," kata Bu Endang sambil nenyerahkan nomor antrian.

"Saya tungguin aja bu, biar nanti saya bawa sendiri."

Bu Endang hanya melongo lalu mengangguk pelan. Wanita itu kembali melanjutkan pekerjaannya tapi sesekali melirik ke arah Gus Fatih yang berdiri bersandar di samping etalase. Sepertinya wanita paruh baya itu terlalu penasaran dengan pemuda itu sampai akhirnya dia mulai membuka suara.

"Masnya juga murid baru ya?"

Gus Fatih yang sedari tadi hanya memperhatikan Naila, kini tampak tergagap. "Eh iya bu, satu kelas sama Naila."

Bu Endang tampak mengangguk-angguk dengan tangan yang sibuk menuangkan mie ke dalam mangkuk yang berjejer.

"Bu Endang ibunya Naila ya?" tanya Gus Fatih.

Bu Endang tersenyum. "Iya ... kenapa? gak mirip ya. Memang banyak yang bilang kalau Naila terlalu cantik untuk menjadi anak ibu."

"Gak kok, kalian sama-sama manis," jawab Gus Fatih sambil tersenyum, walaupun sebenarnya mereka berdua memang sangat berbeda. Wajah Bu Endang seperti wanita jawa pada umumnya, sedangkan Naila sangat kearab-araban. Jelas mereka tidak tampak seperti ibu dan anak, tapi mungkin saja Naila mirip dengan sang ayah.

Bu Endang seketika tertawa mendengar jawaban Gus Fatih. Rasanya baru kali ini dia menghadapi siswa seramah pemuda itu, biasanya semua siswa tak ada yang mau berlama-lama mengobrol dengannya.

"Bu Endang sudah lama jualan di sini?"

"Sudah hampir tiga tahun, sejak ayahnya Naila wafat," jawab Bu Endang dengan senyum kecil.

"Ngapunten bu...."

"Gak apa, ini semua sudah takdir...."

"Mi, yang nomer sebelas." Tiba-tiba Naila datang dan memotong obrolan mereka.

"Iyo iki lo Nduk." Bu Endang menyodorkan nampak berisi semangkok bakso dan mie ayam.

"Mau aku bantuin, Nai?" sela Gus Fatih.

Tanpa menatapnya, Naila menjawab, "Makasih Fatih ... lagian kamu ke sini kan untuk makan."

"Makan dan bonusnya ketemu kamu," jawab Gus Fatih dengan senyum lebar.

Naila hanya memutar mata malas, segera menjauh dari cowok yang seakan selalu muncul di manapun dia berada.

==*==

"Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh," seru seorang pria berseragam coklat muda yang berdiri di depan kelas. "Selamat siang anak-anak...."

"Siang pak...." jawab para murid serempak.

Pria berrambut klimis itu tersenyum. "Maaf tadi saya belum sempat masuk ke kelas ini karena ada sedikit urusan. Sekarang saya akan memperkenalkan diri...."

Semua murid terlihat memperhatikan dengan antusias, tapi tidak dengan Gus Fatih. Pemuda itu jelas menatap pria di depan sana dengan pandangan tak suka. Wajah pria bernama Zuhri itu begitu melekat diingatannya,  karena beberapa bulan yang lalu pria tersebut pernah datang kerumahnya dengan sikap yang sangat tidak sopan.

"Saya adalah wali kelas kalian, sekaligus sebagai guru Agama untuk kelas X dan XI," jelas Pak Zuhri dengan pandangan ke semua siswa.

Gus Fatih berdecak pelan, merasa muak dengan sikap sok ramah yang ditunjukkan oleh pria tersebut. Bagaimana bisa seorang guru Agama Islam memiliki sifat yang sama sekali tidak mencerminkan apa yang diajarkan, andaikan saja semua orang tahu sifat aslinya tak mungkin sekarang dia masih bisa berdiri di depan sana.

"Baiklah sekarang kita akan memilih pengurus kelas." Pak Zuhri berjalan dan mulai duduk di kursinya. "Kalian bisa usulkan beberapa kandidat yang akan kita pilih secara voting."

"Fatih, Pak!" Tiba-tiba terdengar seruan serempak dari beberapa siswa putri yang dikomando oleh Mutia.

Seketika semua mata tertuju pada Gus Fatih, begitupun dengan Naila yang ikut menengok ke belakang.

"Kamu juga nyalonin aku Nai?" tanya Gus Fatih dengan menaik turunkan alisnya, sengaja menggoda gadis itu.

Naila memilih kembali menghadap ke depan tanpa menjawab, malah Amanda yang menyahut sinis. "Ih kepedean."

Akhirnya tiga kandidat telah terpilih yaitu Gus Fatih, siswa yang bernama Anwar dan juga Naila. Pemilihan dilakukan siang ini juga dengan cara menulis nama siswa yang dipilih pada secarik kertas yang telah dibagikan.

Pak Zuhri melakukan penghitungan suara dengan meminta bantuan Mutia. Setiap kertas di buka satu per satu dan nama yang tertulis di sana ditulis kembali pada whiteboard di depan. Dan ternyata terpilihlah Gus Azmi sebagai ketua kelas, Anwar sebagai wakil dan Naila sebagai sekretaris.

Tanpa sungkan tiba-tiba Mutia mendekat ke arah Gus Fatih dan menyodorkan sebelah tangannya seraya mengucapkan selamat.

Gus Fatih terlihat ragu melihat tangan gadis itu, karena dia memang diajarkan untuk tidak menyentuh lawan jenis yang bukan mahram secara sengaja. Namun di sekolah ini dia akan benar-benar terlihat aneh apabila menerapkan aturan tersebut, maka dari itu Gus Fatih memutuskan untuk membalas tangan Mutia walau hanya sekejap, toh niatnya hanya untuk menghargai seseorang tanpa ada syahwat di dalamnya.

Secara formalitas semua siswa juga mengikuti apa yang dilakukan oleh Mutia, memberikannya selamat secara bergantian baik itu siswa cowok maupun cewek. Saat giliran Naila, gadis itu berbeda dari siswa lain yang tak mengulurkan tangannya, hanya memberi ucapan selamat dengan senyum tipis di bibirnya.

"Selamat ya Fatih, semoga kamu amanah."

To be continue....

Gimana nih? Semakin seru atau semakin bosan?

Komennya di Ig aku aja ya...

dianafitria822

Juga bisa di channel youtube ku, Diana Difi




Assalamualaikum NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang