Bab 6 Menggoda Naila

2.7K 112 50
                                    

Rumah Naila masih satu desa dengan pondok pesantren As-Salam, tapi beda RT bahkan bisa ditempuh hanya dengan jalan kaki. Gus Fatih terus mengamati saat gadis itu turun dari angkot, sepertinya rumahnya masih masuk ke dalam sebuah gang yang tak bisa di lihat dari jalan raya.

Tak lama Gus Fatih pun turun tepat di depan gerbang pondok, tak lupa dia membayar biaya angkot yang baru diketahuinya sangat murah. Dia memasuki gerbang setelah memberikan salam untuk pak Slamet, sang penjaga depan. Dari kejahuan bisa dilihat bagaimana sang ibu tengah berdiri di halaman dengan ekspresi panik yang berlebihan, jelas dia tahu apa penyebabnya.

"Assalamualaikum, Umi," ucapnya seraya memeluk wanita itu.

"Waalaikumsalam, Ya Allah Nak ... kenapa kamu seneng sekali bikin umi khawatir," jawab Neng Wirdah.

Gus Fatih melepaskan pelukannya, dengan senyum polos dia menangkup kedua pipi ibunya. "Fatih uda besar, Umi ... Lihat, Umi aja sekarang sepundaknya Fatih."

"Kamu itu kalau dibilangin pasti bantah terus." Neng Wirdah memukul lengan putranya pelan dan malah membuat pemuda itu cengingisan. "Tetap saja, Umi itu khawatir kalau kamu naik angkutan umum. La wong ada pak Minto yang siap antar jemput kamu."

Gus Fatih merangkul ibunya untuk masuk ke dalam rumah seraya menjawab, "Fatih malu, Umi ... Cowok sekeren ini masak masih diantar jemput kayak anak manja."

"Fatih...."

"Umi Wirdah...." Gus Fatih sedikit menunduk, dengan kedua tangan memegang pundak ibunya. "Mulai besok, Fatih berangkat dan pulang sekolah naik angkot aja ya...."

"Tapi Nak...."

"Fatih yakin abi juga bakal setuju," sahut Fatih yang sengaja menggunakan nama Gus Azmi untuk mendapat izin ibunya, karena dia sangat tahu bahwa keputusan pria itu bersifat mutlak di keluarga ini.

"Abi mu ke Jakarta," bantah Neng Wirdah.

Gus Fatih melenggang masuk kamar sambil berseru, "Nanti Fatih telpon lah...."

Gus Fatih menghempaskan tubuhnya di atas kasur, matanya menyalang menatap langi-langit kamarnya. Memikirkan tentang perasaannya, dia belum berani bercerita kepada Gus Fatih, lagipula dia juga masih belum sepenuhnya yakin tentang apa yang dirasakan. Mengingat berteman dengan lawan jenis merupakan hal baru baginya, mungkin saja perasaannya pada Naila hanya sebuah kekaguman semata.

Pemuda itu berguling ke sisi kanan, meraih tasnya yang terjatuh di lantai. Dia merogoh ke dalam tas untuk mengambil ponselnya, berniat mengirimkan pesan untuk gadis yang sedang menghantui pikirannya itu.

Fatih
Harusnya tadi kamu mengucap salam dulu sebelum turun dari angkot. Masak gitu aja harus diajari.

Satu menit, tiga menit, lima menit tak ada balasan dari Naila sampai membuat Gus Fatih berguling-guling tak jelas. Dia terduduk, mengetuk-ngetukkan ujung ponselnya di bibir. Sudah hampir sepuluh menit tapi belum juga ada balasan, tanda centang di pesan itupun belum berubah warna. Gus Fatih mengacak rambutnya kesal, baru saja dia akan menghubungi Naila saat tiba-tiba sebuah pesan balasan masuk.

Naila
Assalamualaikum...

"Hah gitu doang?" gerutu Gus Fatih dengan mata membulat sempurna. Lalu dia kembali mengetikkan sesuatu.

Fatih
Aku telpon ya?

Naila
Jangan, aku lagi sibuk.

Fatih
Sibuk apa?

Pesan kembali terabaikan, hingga Gus Fatih uring-uringan sendiri. Dia berjalan keluar kamar untuk menuju dapur, berniat meminta di buatkan mie instan pada salah satu abdi dalem. Saat baru memasuki dapur, tiba-tiba langkahnya terhenti kala iris gelapnya menangkap sesosok gadis yang mempermainksn emosinya ada di sana.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 15, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Assalamualaikum NailaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang