5. Selamat Datang

813 31 0
                                    

Athya's POV

Hari ini Ahad. Sehari setelah seseorang bernama Muhammad Hadziq Al Mubarak melamarku. Eee... Kau tahu apa jawaban Ayah kemarin sore?

Nak, Jum'at depan datanglah kembali. Mohon maaf kami tidak bisa langsung memberikan jawaban saat ini.

Benar. Ayah meminta penangguhan waktu. Hal seperti ini lumrah, bukan? Yah... Sekedar untuk bermusyawarah dan istikharah.

Dan di sini lah aku sekarang. Berdiri dengan memegangi kemudi sepeda motor matic di ambang sebuah gerbang besar. Ada papan dinding bertuliskan "Yayasan Darun Najah" di sampingnya.

Tanganku tiba-tiba saja gemetar. Dag dig dug menyelinap. Bagaimana jika setelah ini aku bertemu dengan lelaki berkoko abu kemarin? Aku harus pasang muka apa?

"Bismillah, ingat kamu di sini untuk penelitian!"

Seruku dalam hati. Jika bukan diriku sendiri yang menegur, siapa lagi?

Dengan menuntun motor, aku menghampiri pos keamanan yang terletak tepat di balik dinding pagar, sebelah kanan gerbang. Kepada seorang pria berperawakan tegap yang sedang berjaga, kuutarakan maksud kedatanganku. Ia mempersilakanku duduk di kursi tunggu, lalu meraih gagang telepon dan berbicara beberapa patah kata di sana.

Sembari menunggu, kuedarkan pandanganku pada sekeliling. Meja kursi tunggu yang lebih mirip dengan meja kursi cafe outdoor ini menyatu dengan sebuah taman. Tidak terlalu luas, namun cukup menyegarkan. Pepohonan tinggi menjulang. Dedaunannya membentuk kanopi alami. Beberapa macam anggrek dan tumbuhan paku menempel pada batangnya. Ah iya, ada sebuah kolam ikan berbentuk persegi pula di tengah taman. Asri sekali, sungguh.

Sedangkan di sisi kiri jalan besar ini terdapat sebuah lapangan besar. Terdapat sebuah tiang bendera di tengah-tengah tepi kirinya.

Mataku tiba-tiba saja menangkap dua sosok manusia di ujung jalan besar ini. Mereka sedang berjalan kemari. Seorang pria dan seorang wanita. Kusipitkan mataku menajamkan pandangan. Dag dig dug tadi tiba-tiba saja menguap. Akhirnya aku bisa bernafas lega.

"Assalamualaikum" Pak Hasan menyapa ketika jarak kami tinggal tiga meter.

"Wa'alaykumussalaam warahmatullahi wabarakaatuh" Jawabku sambil menangkupkan telapak tangan, lalu menjabat tangan wanita yang berjalan bersamanya tadi.

"Sudah lama, Mbak?"

"Ah tidak, Pak. Baru Lima menit"

"Alhamdulillah."

Aku tidak faham mengapa ia mengucap hamdalah. Mungkin teringat pada hari pertama kali aku kesini.

"Baiklah, langsung saja, mbak Azza akan mengantarkan jenengan menuju asrama putri dan menunjukkan dimana kamar jenengan. Kalau ada perlu apa-apa, bisa menghubungi beliau atau saya, atau pak Kepala Sekolah juga bisa."

"Baik, Pak. Terimakasih banyak. Mohon maaf merepotkan."

Sungguh hatiku berdesir ketika pak Hasan menyebut kata Kepala Sekolah. Hah... Dasar wanita.

"Oh tidak. Tidak sama sekali. Kami malah senang jika ada tamu yang berkenaan berkunjung kemari. Mbak Azza, nitip mbak Athya, ya!"

"Siap, Ustadz"

Wanita yang sedari tadi hanya menyimak itu tiba2 saja menyahut, dengan membuat gerakan seperti menghormat. Dan dengan nada yang sangat lucu. Kutebak mereka sudah sangat akrab.

"Eee... Motor saya?"

"Dibawa saja, Mbak. Di dalam ada parkir khusus ustadzah." Tukas Pak Hasan.

Setelah mengucap kalimat itu ia pamit pergi. Menyisakan aku dan mbak Azza di sini. Wanita yang kini sedang membantu membawakan barang bawaanku ini begitu cantik. Tak ada satu pun jerawat di wajah berserinya.

"Mbak motornya dikendarai saja, jalannya masih panjang loh. Nanti saya beritahu dimana batas turunnya"

"Begitu ya, Mbak? Baiklah"

Kupersilakan Mbak Azza menaiki boncengan sepedaku. Benar katanya. Jalan masuk ini tak hanya lebar, namun juga panjang. Berujung pada sebuah rumah berlantai dua yang nampak damai dan bersahaja. Kutebak itu adalah kediaman Abuya.

"Stop... Stop..." Ucap Mbak Azza sembari menepuk-nepuk pundakku.

Rupanya di sini yang dimaksud batas turun. Sebuah pertigaan. Di hadapan pertigaan ini terdapat sebuah taman kecil, halaman rumah lebih tepatnya.

Ceklek

Terdengar suara sebuah pintu terbuka. Sontak kugerakkan kepalaku menuju arah suara, pintu rumah di balik tanaman setinggi satu meter itu. Pria berjubah putih, berpeci putih bundar, dengan surban hijau menggantung di bahunya berdiri di sana. Menatap ke arahku. Sejenak. Sebelum akhirnya berbalik dan menutup kembali pintu.

"Ayo, Mbak! Sini belok kanan! Motornya diparkir dulu di situ"

"Ehh... Oh... Iya, Mbak"

Aku yakin Mbak Azza pasti bisa memergoki salah tingkahku. Atau jangan-jangan, Mbak Azza sama salah tingkahnya denganku? Duh, kenapa jadi buruk sangka?

***

Selamat datang.
Maaf jika lamaranku kemarin menyulitkanmu.
Sungguh aku tidak bermaksud seperti itu.
Feel free to do your research.
Feel free to answer.
Jangan merasa terbebani :)

Pandangan Athya masih terpaku pada pesan yang ia terima tiga menit yang lalu. Jemarinya sudah bersiap menuliskan balasan sebenarnya. Namun entahlah, ia belum yakin harus membalas bagaimana.

Tok tok tok

Pintu kamarnya terketuk. Ah iya, Mbak Azza tadi ternyata mempersilakannya menempati kamar tamu. Ia tadi sempat menolak, sebenarnya. Dengan alasan ingin lebih dekat dengan santri. Lagipula kamar tamu ini terlampau bagus untuk 'tamu' yang hanya sedang melakukan penelitian sepertinya. Namun apalah daya, Mbak Azza bilang, belum dapat izin dari 'atasan'.

Segera saja Athya letakkan gawainya. Lalu bergegas membuka pintu. Ternyata Mbak Azza, dengan sudah memakai mukena.

"Mbak Athya, ayo sholat jama'ah Maghrib dahulu"

"Oke mbak, sebentar saya ambil air wudhu"


--------------------------------------------------
Terimakasih sudah membaca.
Terimakasih juga buat yang sudah vote, comment, atau share 🤗🙏♥️

Gus, Kutunggu di Aya SofyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang