Prolog

3K 63 1
                                    

Langit sudah menanggalkan mantel jingganya ketika lelaki itu memegang kembali kemudi mobil. SUV hitam yang ia kendarai sudah melaju meninggalkan Masjid Jami' Malang, membelah jalanan Pasar Besar yang mulai lengang, lalu melayang di atas fly over depan stasiun Kota Lama.

Sejak lima belas menit lalu horizon sudah dipenuhi pijar-pijar neon. Lihatlah, teknologi seakan ingin mengambil alih peran alam.

Tik. Setetes air menimpa kaca depan mobilnya. Hujan. Padahal pukul lima tadi langit masih memerah, dan guyuran sinar mentari pun masih terasa hangat. Namun sebentar saja duet mesra itu terambil alih. Mata air langit yang berderai tanpa permisi seakan mengabarkan bahwa penguasa alam masih, tetap, dan akan selalu berkuasa.

Lelaki itu masih saja fokus pada pemandangan di balik wiper.

"Banyak yang berubah," gumamnya.

Yah, setidaknya bagi ia yang sudah tiga tahun tidak bersua dengan Malang. Tiga tahun produktif. Tiga tahun perjuangan. Tiga tahun menahan rindu. Tiga tahun yang belakangan ternyata juga ia sesalkan.

Lelaki itu, orangtuanya memanggilnya Muh, Muhammad. Muhammad Hadziq Al Mubarak. Sarjana Satsra Arab dan baru saja menyelesaikan tirakat nyantri tiga tahun tanpa pulang di Yaman.

Tanggung jawab sebagai penerus pengasuh yayasan menuntutnya untuk serius belajar. Sehingga ia memaknai frasa itu sebagai nyantri dengan tanpa pulang, lebaran sekalipun. Dan tanpa komunikasi, selain hanya satu telepon di pagi hari fitri. Jangan dibayangkan bagaimana perasaannya. Nano-nano sepertinya adalah ungkapan yang agak tepat untuk menggambarkan. Bahagia saat bertalaqqi dengan para pewaris nabi, merasa muda saat bercengkrama dengan para santri, dan rindu saat teringat orang tua.

Menjadi terasa berat saat memorinya mengingat kembali Abuya Abdul Qadir dan Umma Nafisah. Pahlawannya. Pendukungnya. Penyemangatnya. Penegurnya. Dan semua menjadi terasa berat saat ia harus melewati tiga tahun dengan tanpa nasihat ayah ibunya. Semua menjadi terasa menyesakkan saat belakangan ia tahu bahwa ada hal besar yang ia lewatkan di awal tiga tahun itu.

Kebersamaan terakhir yang ia ingat adalah suatu malam di bulan Ramadhan. Kala itu rumahnya begitu ramai. Makanan-makanan enak terhidang. Semua orang mengenakan baju terbaiknya. Semua orang terlihat bersuka cita.

Malam itu adalah malam pertunangan kakak perempuannya, Ibtisam Helwa. Memelihara anak gadis berusia dua puluh empat tahun adalah hal yang tidak lazim bagi keluarga besar al Mubarak. Lagipula, sepertinya juga tidak ada alasan bagi keluarga besar mereka untuk menolak pria keturunan Arab yang berlatar belakang terhormat itu.

Malam itu seharusnya menjadi permulaan dari hari-hari bahagia antara dua keluarga. Setelah malam itu, seharusnya tanggal 27 Syawal menjadi episode pertama kisah keluarga cemara. Dan setelah 27 Syawal itu, seharusnya ia kini sudah memiliki satu atau dua keponakan.

Namun ternyata malam di bulan Ramadhan itu malah berbalik menjadi awal mimpi buruk bagi keluarga al Mubarak. Ibtisam Helwa, gadis yang tak berkutik di hari pertunangannya itu kabur tepat di hari pernikahannya. Dan bodohnya Hadziq baru mengetahui hal itu ketika kemarin menginjakkan kaki kembali di rumahnya. Ketika tak ada satu pun foto akad nikah terpampang di salah satu sudut rumahnya.

Hatinya sesak mengingat beban mental yang harus dipikul kedua orangtuanya. Hatinya sesak, mendapati lingkaran hitam di netra  ibu bapaknya. Hatinya sesak, telah alfa dari hal besar yang bahkan luput dari pengetahuannya. Semua semakin terasa menyesakkan ketika bahkan hingga kini pun kakaknya itu tidak menunjukkan eksistensinya.

Ciiiiiiiittttt

Terdengar bunyi roda bergesekan keras dengan aspal. Ia baru sadar ternyata ia tadi mengemudi sambil melamun. Kesadarannya tiba-tiba saja kembali saat matanya tidak sengaja menangkap plang bertuliskan "Jalan Teratai" di kiri jalan.

Ia rem mobilnya kuat-kuat. Untung saja tidak ada kendaraan baik di depan maupun belakangnya. Ia raih hapenya, mengecek apakah Jalan Teratai ini sesuai dengan yang ditunjukkan oleh map. Ia menoleh ke kanan, ada masjid besar di seberang jalan sana. Benar. Sebentar lagi, setelah memasuki gang Jalan Teratai itu ia akan sampai.

Ia baru saja akan menyalakan kembali mobilnya saat sesosok wanita telah berdiri di hadapannya. Baju dan kerudungnya putih, dengan aksen kecoklatan di lengan dan dada kanan. Ah tidak... Bukan kain kombinasi. Itu lumpur.

Dan kisah Yusuf Zulaikha abad 21 pun dimulai.


--------------------------------------------------
Terimakasih sudah membaca.
Terimakasih juga buat yang sudah vote, comment, atau share 🤗🙏♥️

Gus, Kutunggu di Aya SofyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang