6. Ridhoilah

779 37 4
                                    

Dua centang biru. Tapi hingga enam menit pun belum ada balasan.

"Sebenarnya, bagaimana perasaanmu terhadapku, Athya? Apakah engkau merasa yang aku rasa?"

Hah, kenapa tiba-tiba menyoal perasaan?

Hadziq mendongak, lalu mengusap wajahnya. Nafas panjangnya terdengar ketika ia meletakkan hp di laci nakas.

Ia kemudian bergegas keluar kamar, menuruni anak tangga menuju lantai bawah. Dari balik kaca jendela besar di belokan tangga ia dapat melihat sudah banyak sekali santri putra dan putri yang berangkat ke masjid.

Rumah Hadziq ini memang berdekatan dengan masjid. Berada di tengah-tengah area sekaligus menjadi pemisah antara kompleks putra dan putri.

Ia sudah hampir saja melanjutkan langkah namun pemandangan di bawah sana tiba-tiba saja mencegahnya. Mukena salem dengan bordiran bunga merah maroon itu ia kenal betul milik Azza. Disampingnya ada seorang wanita lagi yang kelihatannya memakai mukena potongan putih dengan bordiran bunga-bunga kecil warna pink. Dan ia yakin betul siapa wanita itu. Seutas senyuman tiba-tiba sudah tercetak di wajahnya.

"Pantas saja dia tidak membalas pesanku"

Hatinya seketika berbunga-bunga. Ia yakin ia tidak salah memilih.

"Ya Allah, ridhoilah", gumamnya pelan. Lalu melanjutkan menuruni anak tangga.

***

Athya's POV

Aku sedari dua puluh menit lalu sudah berada di tengah-tengah ratusan santri. Sholat Maghrib, membaca Ratib Al-Haddad, lalu dipungkasi dengan pembacaan nadham doa yang entah apa namanya, aku baru pertama kali mendengarnya.

Anehnya dengan jumlah santri sekian banyak, aku tidak dapat menemukan suara bising berbincang. Semuanya bersama-sama bermunajat kepada ilahi. Damai. Tenang. Sungguh.

Jujur saja, ini pertama kalinya aku merasakan atmosfer pesantren. Yah sewaktu kecil aku memang pernah mengaji Diniyah. Namun ternyata rasanya berbeda dengan pesantren. Sensasi ketika antri berwudhu, ketika berbondong-bondong berangkat ke masjid, dan ketika menggemakan doa-doa seperti ini.

وصل و سلم دائما ابدا على شفيع البرايا من له الرب عظما
كذا الآل والأصحاب ما قلت في ابتدأ بحمد الهي والصلاة مسلما

Wa shalli wa sallim daiman abadan 'ala syafi'il baraayaa man lahur robbu adhdhoma
Kadzal aali wal ashhaabi mas qultu fib tidaa' bichamdi ilaahii was sholaati musallimaa

Bait terakhir nadham. Aku penasaran ini bacaan apa.

"Mbak Athya, habis ini kita ke ndalem dulu ya. Sowan Umma"

"Oh, iya mbak"

Aku sudah hampir berdiri. Namun aku merasakan seseorang menarik tanganku. Agak kuat. Akhirnya aku menoleh. Mbak Azza. Ada apa? Ia tak bersuara, hanya ekor matanya yang memberitahuku untuk kembali duduk.

Sontak saja aku kembali duduk. Aku bingung. Hendak bertanya mengapa, namun pandangannya keburu menunduk. Kuedarkan mataku ke sekeliling, ternyata semua santri masih duduk ta'dzim. Pandangan mereka tidak berani kemana-mana. Dan, kenapa duduk mereka berubah menjadi berjajar seperti pagar ayu begini?

Ya Ilahiii.... Aku tahu mengapa.
Umma sedang berjalan dari shaf depan menuju pintu keluar. Ah Athya Uzhma, kau memalukan.

Seseorang menepuk pundakku. Mbak Azza. Sepertinya ia berhasil menangkap muka merah kepiting rebusku.

Gus, Kutunggu di Aya SofyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang