4. Tamu

876 34 1
                                    

Athya's POV

Aku sedang berkemas. Kumasukkan beberapa lembar baju serta jilbab yang sekiranya pantas untuk kugunakan di pesantren dan penelitian di sekolah ketika suara sebuah mobil terparkir di depan rumah. Keberangkatanku masih esok, sebenarnya. Tapi aku memang lebih suka packing lebih awal. Alasannya sederhana, agar jika ada barang yang terlewat aku masih bisa menyusupkannya.

Ah iya, tiga hari setelah pertemuan itu aku mengirim pesan kepada pak kepala sekolah baik hati itu bahwa aku mengambil penawaran yang ia berikan. Sambil berterimakasih tentu saja.

Aaah... Ia terlampau baik. Saran-sarannya atas penelitianku saja sudah sangat membantu, malah menawarkan agar menginap di asrama pula. Terlampau baik, bukan?
Sungguh membuatku segan.

Tapi setelah kupikir-pikir, alasannya logis juga. Akan sangat menghemat tenaga, biaya, dan waktu dibandingkan harus bolak-balik Batu - Gondanglegi. Lagipula dengan begitu aku juga bisa sekaligus menimba ilmu, bukan? Ditambah lagi nasihat ibu agar tidak menolak maksud baik orang, tidak baik.

Eee... Tentang pak kepala sekolah itu, orang yang bamper mobilnya menggulingkan bangku pangkalan ojek, yang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan kamar mandi sambil menggendong bocah berusia dua setengah tahunan ketika aku membuka pintu samping rumah; aku masih belum bisa percaya jika ia seorang kepala sekolah. Maksudku, bukankah ia masih terlampau muda untuk menjabat posisi itu? Usianya saja, aku yakin belum mencapai tiga puluh. Sepertinya juga belum menikah. Eh lalu siapa anak kecil yang ia gendong? Aduh kenapa jadi memikirkan pak itu?

Tok tok tok

Assalamualaikum

Ada tamu.

Dari balik jendela kamar aku mengintip. Ya, Kamarku bersebelahan dengan ruang tamu. Seorang pemuda bersarung hitam, berkoko abu-abu muda. Wajahnya, aku tidak bisa melihat. Ia menunduk. Kulemparkan pandanganku ke jalanan kampung di depan halaman rumah. Lah... Mobil itu.

Untuk apa pak kepala sekolah itu kemari?

Aku beranjak. Bermaksud mengabari ayah dan ibu yang kutahu sedang bersantai sore di halaman belakang bahwa ada tamu. Namun baru saja aku membuka pintu kamar, kulihat ayah sudah berjalan menuju ruang tamu.

Wa'alaykumussalaam warahmatullahi wabarakatuh. Masyaallah, gus. Monggo monggo...

Terdengar suara ayah menggelegar di seantero rumah. Tunggu, gus? Oh jadi dia putera seorang kyai, pantas saja kalau sudah dijadikan kepala sekolah. Tapi, nada suara ayah kenapa terdengar seperti sudah akrab sekali?

"Ayah kenal dengan kepala sekolah itu, buk?"

"Kepala sekolah? Kepala sekolah siapa?"

"Ya itu.."

Dari balik tirai penyekat ruang tamu dan ruang tengah ibuku mengintip.

"Oalaah... Itu Gus Muh"

"Gus Muh?"

"Iya, putra Abuya Abdul Qadir yang biasa ngisi mauidhoh hasanah saat maulidan di masjid. Dulu saat masih sangat kecil, dia sering sekali ikut kemari. Semenjak mondok dan kuliah, sudah tidak pernah ikut. Ya habis kuliahnya saja juga di Yaman. Baru pas maulidan kemarin ini beliau hadir, menggantikan abuyanya yang sedang sakit. Jadi beliau kepala sekolah di tempat kamu penelitian ta, nduk?"

Aku mengangguk.

Abuya Abdul Qodir, mungkin hampir seisi kampung ini mengenal beliau. Dari aku kecil, beliau sudah mengisi pengajian di kampung kami. Duluuuu sekali saat aku masih kelas dua MI, aku pernah salim dan mencium tangan beliau setelah beliau memberikanku syahadah ketika wisuda TPQ.

"Ya sudah ayo bantu ibuk membuat teh"

Aku dan ibuk akhirnya menuju dapur. Aku membuat teh, ibu menyiapkan beberapa camilan.

Aroma perpaduan pucuk daun teh dan bunga melati menguar. Kuletakkan dua cangkir teh ke dalam nampan yang sudah terisi dengan sepiring weci dan setoples kecil keripik pisang.

Ibuk lalu membawa nampan itu keluar. Ah tidak, jangan harap aku yang akan menghidangkannya ke ruang tamu. Hanya pada sanak keluarga, tamu perempuan, atau tamu laki-laki yang membawa keluarga aku berani menghidangkan jamuan ke depan. Selain itu, tidak. Malu.

Seusai menghidangkan, jika tamu itu laki-laki dan bukan kerabat biasanya ibuk akan langsung kembali. Namun kali ini, sudah lima menit dan ibuk belum kembali.

Entah apa yang ayah, ibuk, dan gus Muh bicarakan. Aku tidak harus tahu, bukan? Aku kembali ke kamar, melanjutkan acara packing-packing yang sedikit lagi akan selesai. Namun siapa sangka, suara di ruang sebelah seketika saja menghentikan gerakan tanganku.

"Bapak, ibu, " kalimatnya terhenti, kudengar ia mengambil nafas.

"kedatangan saya kemari, saya... " lagi-lagi ia memotong kalimatnya. Memangnya apa yang akan ia katakan?

"Saya bermaksud mengkhithbah putri bapak ibu, Athya Uzhma."

Hening.

"Mohon maaf saya datang seorang diri. Insyaallah, jika bapak ibu merestui, saya akan segera membawa kedua orang tua saya kemari"

Lagi-lagi, hening.

Satu menit.

Dua menit.

Masih hening.

Sama sepertiku, ayah dan ibuk saat ini mungkin juga sama terkejutnya.

Sejak tiga menit yang lalu, organ tubuhku sepertinya tidak bisa berfungsi dengan baik dan benar.

Nafasku tercekat.

Jantungku sempat terasa berhenti sejenak, lalu berpacu lebih cepat dari biasanya.

Lelaki itu... Ia telah berhasil membuatku merasa tak karuan seperti ini.



--------------------------------------------------
Terimakasih sudah membaca.
Terimakasih juga buat yang sudah vote, comment, atau share 🤗🙏♥️

Gus, Kutunggu di Aya SofyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang