Bab 7 - Adira lagi

95 11 0
                                    

"Udahlah Kak, lagian semua gadis yang disekap kan udah kita aman-in."

Sejak perjalanan pulang, Bajra tak henti-hentinya berusaha membuat Akas tenang. Pasalnya, Akas terus saja meminum minuman keras sejak tadi, dan itu menandakan bahwa Akas tengah marah. Bajra tak ingin Akas mengalami overdosis akan minuman, karena itu bisa mengancam nyawanya sendiri. Walaupun Bajra sendiri menyukai minuman keras, namun Bajra tak pernah berlebihan dalam mengonsumsinya.

"Satu langkah lagi dan Amatya pasti bakalan mati!" Teriak Akas frustasi, ia bahkan memukul-mukul kepalanya sendiri.

Jika sudah seperti ini apa yang bisa Bajra lakukan? Ia hanya bisa membuat nafas berat dan menyaksikan Kakak nya itu minum dengan begitu ganasnya. Jika Bajra merebut botol minuman itu, ia bisa saja menjadi pengganti pelampiasan amarah Akas atau dalam arti lain ia bisa dihajar habis-habisan oleh Akas.

Beberapa menit kemudian, rombongan mobil yang berisikan pria-pria gagah itu pun sampai di kediaman Gardapati. "Semuanya! Kembali ke tempat-tempat masing-masing!" Bajra memerintah seluruh anggota nya yang masing-masing sudah memiliki tugas untuk berjaga di suatu tempat. "Ingat, jangan lalai!"

"Siap!"

Semuanya pun lantas berlari kecil menuju tempatnya masing-masing. Sementara Bajra, ia bertugas untuk berjaga di dalam rumah Gardapati, namun tiba-tiba matanya melihat Akas yang masih terduduk di samping kursi kemudi. Dengan mata yang sudah merah, Akas masih menggenggam kuat botol berwarna hijau itu.

Tak mau membuang waktu, Bajra pun lantas membopong tubuh jangkung Akas. "Berat banget lu, Kak," geram Bajra dengan suara beratnya.

Perlahan, Bajra pun melangkahkan kaki nya memasuki rumah. Akas pun terseret mengikuti langkah Bajra karena tubuhnya yang begitu lemas.

Bajra sedikit kaget saat Akas tiba-tiba melempar asal botol minumannya. Bajra menduga bahwa botol itu sudah kosong. "Besok kita harus bunuh Amatya!" Teriaknya sambil mengangkat tangannya, entah menunjuk apa.

"I,, iya Kak." Bajra hanya mengiyakan saja, toh Akas pasti akan lupa dengan apa yang ia katakan tadi. Secara, pria itu tengah tidak sadar saat mengucapkan kalimat tadi.

"Bajra?" Nyonya Patri langsung menghampiri keduanya saat mendengar teriakan Akas tadi. Namun Nyonya Patri datang bersama seorang laki-laki dengan setelah kaos dan jaket kulitnya. Dia adalah Gana.

Gana pun langsung membantu Bajra, ia merangkul tangan Akas yang sebelahnya. "Thanks ya," ucap Bajra pada Gana dan dibalas anggukan oleh pria itu.

Mereka pun mendudukan Akas di sofa ruang tengah. Karena letih, Bajra pun lantas menjatuhkan bokongnya di sofa yang masih kosong. "Astaga," ia mengusap wajahnya kasar.

"Kamu cape ya Nak?" Tanya Nyonya Patri, "biar Eyang suruh Mbok buatkan minum ya?" Tanpa menunggu jawaban Bajra, Nyonya Patri pun memanggil Mbok Minah, salah satu dari sekian banyaknya asisten di kediaman Gardapati.

"Abis tempur di mana lu?" Tanya Gana tiba-tiba, ia lalu mengesap teh yang sudah terlebih dahulu Mbok Minah siapakah.

Bajra pun merubah posisi duduknya menjadi lebih sopan. "Kayak apaan aja tempur," ucap Bajra sambil terkekeh.

"Bukan tempur Nak Gana," tiba-tiba Nyonya Patri bersuara. "Tapi perang." Mendengar celetukan Nyonya Patri, Akas dan Bajra pun sontak tertawa kecil.

"Eyang nih, bukannya belain Bajra juga," rajuk Bajra dengan wajah yang cemberut.

Merasa jijik, Gana pun meremas pelan wajah tampan Bajra. "Yee! Mana ada wakil ketua gangster lenjeh kayak gitu!" Bajra pun hanya menanggapinya dengan gidikan bahu.

"Bukan, cucu-cucu Eyang bukan gangster."

Gana dan Bajra pun lantas memalingkan pandangan ke si empunya suara, yang tak lain adalah Nyonya Patri. Di tempat duduknya, Nyonya Patri sudah memasang wajah sendu. Hatinya terasa sesak saat mendengar cucu-cucu nya disebut sebagai gangster.

Bajra pun lantas mendekati Sang Eyang, ia kemudian duduk di lantai sambil menggenggam jemari-jemari Nyonya Patri yang sudah keriput.

"Iya Eyang, kami bukan gangster." Ia menenangkan Nyonya Patri. "Jangan bersedih lagi ya Eyang, Bajra gak mau," ujarnya sambil menghapus jejak air mata di pipi Nyonya Patri.

"Eyang." Kini Gana pun terduduk di samping Bajra. "Maafkan Gana, Gana gak bermaksud." Ia memeluk Nyonya Patri erat. Padahal wanita itu tak punya hubungan darah dengan dirinya, tapi entah mengapa Gana benar-benar menyayangi Nyonya Patri, begitu pun dengan Akas, Bajra dan juga Adira.

Saat itu juga Nyonya Patri benar-benar merasa bersyukur, banyak orang yang sangat menyayangi nya hingga saat ini. Hal ini membuatnya takut pada ajal, ia tak ingin meninggalkan anak-anak ini.

Tiba-tiba Mbok Minah pun datang dengan nampan berisi beberapa jus jeruk. "Silahkan di minum Den, Bu," ucapnya sopan tepat saat ia menaruh jus-jus tersebut di meja.

Gana, Bajra dan Nyonya Patri pun lantas mengucapkan terimakasih, dan setelah itu Mbok Minah pun kembali menuju dapur.

"Pembokat!!!"

Tiba-tiba langkah Mbok Minah terhenti saat mendengar suara itu. "Iya Non," jawab Mbok Minah dengan suara gemetar.

Tak butuh waktu lama, Adira pun menuruni tangga dan sudah berada di antara mereka. "Bikinin gua makanan ya, gua laper."

"Adira!"

Merasa namanya dipanggil, Adira pun menengok ke si empunya suara yang tak lain adalah Nyonya Patri. Bukannya menanggapi, Adura justru hanya sekedar menatapnya dingin dan berniat kembali ke kamarnya.

"Tunggu Dira!" Kini bukan Nyonya Patri yang memanggil gadis itu, melainkan Gana.

Adira pun menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya perlahan. Ia kemudian menatap Gana.

"Gak seharusnya kamu bersikap seperti itu, Dira." Gana berusaha memberikan pengertian pada gadis berusia 18 tahun itu. "Kamu udah dewasa, kamu sekolah kan?"

"Kadang," jawabnya malas.

Gana pun menarik nafas dalam, berusaha meredam emosinya yang mulai tumbuh. "Ya seenggaknya kamu pasti tau lah Dira, gimana caranya bersikap sama orang yang lebih tua dari kamu."

Tiba-tiba Bajra mencekal tangannya. Bajra menggeleng, mengisyaratkan agar Gana tak perlu berurusan dengan gadis badung ini. Menurutnya percuma, Adira pasti selalu punya kata-kata untuk meng-skak lawan bicaranya.

"Udah ngomongnya?" Lagi-lagi Adira berucap dingin. "Gua gak punya waktu buat dengerin ceramah lo."

Emosi Gana kembali membuncah, ia bahkan sudah mengepalkan kedua tangannya. "Adira! Kenapa sih kamu gak bisa jaga lisan dan sikap kamu hah?" Nyonya Patri pun ikut turun tangan.

Adira menutup matanya jengah, ia nampak muak dengan semua ini. "Apa sih mau kalian?!" Sentaknya. Ia lalu berjalan mendekati Akas yang masih terbujur lemah di sofa. "Liat," ia mencekal kerah kemeja Akas. "Dia mabuk, dia berandal, bahkan dia ngebunuh! Tapi apa? Kalian gak pernah marahin dia, kalian gak pernah ceramahin dia." Adira memberi jeda pada ucapannya. "Dan sekarang dia kayak gini karena gagal melesatin pelurunya kan? Iya kan Bajra?!"

Bajra hanya diam dengan mata tajam yang terus menatap Adira nanar.

"Adira... " Ucapan Nyonya Patri terhenti saat Adira melayangkan telapak tangannya, mengisyaratkan agar ia diam.

"Cukup, kalian ceramahin gua juga percuma, masuk telinga kanan pasti keluar telinga kiri," ucapnya dingin dan berlalu begitu saja. Meninggalkan Nyonya Patri, Gana, Bajra dan juga Akas yang masih terkulai lemas.

****

GardapatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang