Bab 5 - Pelabuhan

102 16 1
                                    

Seorang laki-laki, masih dengan kemeja putihnya tengah memegangi kepalanya yang terasa pening. Sesekali ia meringis karena sakit yang ia rasa begitu menyiksa. Perlahan tapi pasti, ia pun mulai membuka matanya. Ia berusaha menyesuaikan matanya dengan cahaya matahari yang berasal dari jendela kamarnya.

"Awwwh," ringisnya dengan posisi yang sudah duduk di tempat tidur. Ia meletakkan kepalanya di kepala ranjang.
Kemudian ia menatap langit-langit kamar, terbayang wajah bajingan yang kemarin ia temui.

Tangannya mulai mengepal, nafasnya menggebu-gebu. Sorot matanya begitu tajam, siapapun yang melihatnya mungkin akan bergidik ngeri. Yang ada di pikirannya adalah membunuh, menghajar dan memberikan pelajaran pada laki-laki tua itu.

Dengan cekatan, ia pun menghempaskan selimut yang menutupi kakinya asal. Ia kemudian berjalan menuju laci dan membukanya. Di sana terkumpul banyak jenis pistol dan juga senjata tajam lainnya. Ia mengambil salah satu pistol berjenis desert eagle yang kemudian ia isi dengan beberapa peluru. Tak lupa ia menyelipkan fairbairn sykes fighting di celana bagian belakangnya. Mengantisipasi jika terjadi hal-hal yang mendesak.

Ia kemudian mengangkat pistol itu ke hadapan wajahnya. "Saatnya yang benar bertindak," bisiknya dengan suara yang terdengar menyeramkan dan mengancam.

"Bajra!" Teriaknya persis setelah membuka pintu kamarnya. "Bajra!" Sekali lagi ia memanggil Bajra dengan suara tinggi. Suaranya bahkan menggema ke seluruh ruangan di kediaman Gardapati yang cukup, atau bisa dibilang sangat luas.

"Ada apa Kak?" Tanya Bajra yang nampak terengah-engah karena berlari dari kamarnya.

"Perintah semua anggota untuk bersiap, kita pergi ke pelabuhan sekarang!" Ucapnya tegas dan langsung disanggupi oleh Bajra.

Tak mau membuang-buang waktu, Akas pun hendak berjalan menuju garasi, menyiapkan mobil-mobil untuk mereka pakai. Namun tiba-tiba langkahnya terhenti saat seseorang memanggilnya. Dan ternyata Nyonya Patri sudah berdiri di sana, dengan mantel yang masih melekat di lehernya.

"Akas, kemana kalian akan pergi?" Tanya Nyonya Patri dengan suara lemah. "Kalian belum sarapan," lanjutnya dengan nada khawatir.

Akas pun menghampiri sang nenek. "Tidak perlu, Eyang," tolaknya halus. "Ini urgent, Akas harus secepatnya pergi ke pelabuhan."

Nyonya Patri mendesah pelan. "Tapi Eyang khawatir padamu dan Bajra," ucapnya sambil mengelus pundak Akas.

Akas pun meraih tangan sang nenek dan meremasnya pelan. "Percaya pada Akas Eyang, semua akan baik-baik saja," ucapnya berusaha meyakinkan sang nenek yang nampak cemas. "Doakan kami ya Eyang." Akas pun mencium tangan Nyonya Patri dan langsung bergegas keluar rumah.

"Ya Tuhan, lindungi cucuku."

****

"Oke, langsung aja gue to the point. Jadi kan mulai hari Senin udah mulai ujian kenaikan kelas, dan setelahnya pasti akan ada yang namanya study tour. Kepala sekolah nugasin ke kita untuk kasih saran tempat mana yang sekiranya bagus dan cocok untuk kita kunjungin."

Semua anggota OSIS, kini tengah sibuk berdiskusi mengenai study tour yang akan diadakan pihak sekolah, setelah ujian kenaikan kelas dilaksanakan. Di sana, ada Jihan yang turut serta dalam rapat itu karena ia menjabat sebagai sekretaris.

"Jadi, ada yang punya saran?" Tanya Dika, ketua OSIS yang masih menjabat.

Tiba-tiba seorang anggota mengangkat tangan. "Gimana kalau ke Taman Mini, Kang. Kita ke Puspa IPTEK terus hiburannya ke Snowbay, gimana?" Ujarnya secara jelas dan singkat.

Dika nampak tengah berpikir, ia menimang-nimang pendapat yang dilontarkan anggotanya itu. "Emm ide lo bagus, gue respect, tapi menurut gue ke Taman Mini itu pasti butuh biayanya mahal. Gue pingin semuanya ikut, tapi kalau biayanya mahal itu gak memungkinkan." Dika menjeda ucapnya, "kasihan murid yang keluarganya punya ekonomi yang rendah."

Gadis yang menyampaikan pendapat itu pun mengangguk-angguk paham. Ia mengerti maksud baik yang Dika jelaskan.

Itulah seharusnya anggota OSIS, bicara dan berani menyampaikan pendapat. Walaupun pendapatnya ditolak, tapi harus tetap menerima dengan lapang dada. Bukan yang menye-menye dan hanya numpang nama saja dalam anggota OSIS. Masuk anggota OSIS itu harusnya ikhlas, tujuannya semata-mata hanya untuk membantu kemajuan sekolah. Bukan karena ingin famous dan disegani di sekolah.

"Kalau Museum Asia Afrika gimana, Dik?"

"Gini ya, banyak murid yang gak ikut karena masalah biaya," ia kembali menjelaskan. "Tapi gak sedikit juga murid yang gak ikut karena udah pernah datang ke sana. Apalagi kan Asia Afrika itu letaknya di pusat Kota Bandung, pasti hampir semua masyarakat Bandung, khususnya murid di SMA Aksajaya ini sering datang ke sana, ngerti kan maksud gue?"

Bukan hanya yang menyampaikan pendapat, tapi semua yang mendengarkan penjelasan Dika mengangguk-angguk paham. Bukti bahwa mereka menyimak semua yang dikatakan Dika.

"Sorry buat semua yang pendapatnya gue tolak," jeda sebentar. "Bukan apa-apa, gue cuma pengen OSIS tahun ini berhasil. Jadi jangan tersinggung ya."

"Kang!" Giliran Jihan yang mengangkat jari telunjuknya. "Mau kasih saran."

"Ya, silahkan."

"Kalau di sekolah ini pernah ngadain study tour ke pantai gak?"

Dika menatap langit-langit. "Setau gue belum pernah deh."

Jihan pun tersenyum lebar, "gimana kalau ke pantai aja Kang?" Ucapnya dengan wajah berseri-seri. "Selain biayanya terbilang murah, kita juga bisa dapet ilmu tentang ekosistem laut. Nanti kita tanya-tanya aja sama nelayan-nelayan yang ada di sana."

Dika mengangguk-angguk, ia nampak setuju dengan usulan Jihan. "Kita juga bisa tau aktivitas ekonomi kalau kita juga ke pelabuhannya, kan?" Jihan mengangguk-angguk dengan wajah antusias.

"Oke! Pantai, setuju?" Tanya Dika pada seluruh anggota OSIS.

"Setujuuuu!"

Dan akhirnya pilihan pun jatuh pada Pantai Pangandaran. Pantai ini terletak di sebelah tenggara Jawa Barat. Pantai yang mempunyai pasir bersih dan putih.

"Jadi, siapa yang mau ikut gue untuk survey?" Semuanya diam dan saling melempar pandangan. "Jihan," panggil Dika pada gadis berjilbab itu.

Jihan yang merasa dipanggil pun melemparkan pandangan pada si empunya suara, Dika. "Lo ikut gue survey ya," putusnya karena tak ada satu pun anggota yang berminat.

"Tapi Kang... "

"Gak berdua, sama kesiswaan kok," potong Dika cepat. Ia tahu apa yang akan Jihan lontarkan. Gadis alim seperti Jihan mana mau jalan berdua dengan yang bukan muhrim, berdekatan saja enggan.

Jihan pun terkekeh pelan. "Insya Allah Kang, Jihan harus ijin sama ayah dulu."

****

*Kang = Sebutan yang biasanya diperuntukkan kakak kelas laki-laki dalam Bahasa Sunda.

GardapatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang