Bab 4 - Keluarga Gardapati

116 15 0
                                    

Suatu ruangan dengan dinding berwarna hitam pekat yang divariasikan dengan aksen garis garis hitam glossy nampak begitu mencekam. Di sudut kanannya ada satu rak tinggi yang berjejer jenis-jenis minuman keras di sana. Mulai dari wine, brandy, whisky, vodka dan masih banyak minuman keras jenis lainnya.

Berjarak tiga meter dari rak tersebut, tersedia meja panjang dan tak lupa kursi di depannya. Persis sudah ruangan itu seperti sebuah bar.

Di salah satu kursi tersebut, terduduk seorang pria dengan kemeja putih dan dua kancing atas yang sudah terbuka. Di kursi sampingnya, tergeletak secara sembarang jas hitamnya. Dan di tangannya, terdapat sebuah botol berwarna hijau, yang bisa dipastikan itu adalah minuman keras. Dalam keadaan mabuk, sesekali ia mengigau dengan kebencian yang terpatri jelas di matanya.

"Tua bangka!" Ucapnya dengan nada yang terengah-engah, lalu ia teguk minuman itu. "Mata duitan!" Ucapnya lalu kembali meminum minuman terlarang itu lagi.

Tanpa ia sadari, seorang wanita yang sudah cukup berumur memperhatikan sedari tadi. Dia adalah Nyonya Patri, wanita berusia enam puluh tiga tahun yang hidup bersama dua cucunya. Menjadi seorang nenek dari ketua gangster di kota ini membuatnya harus didampingi oleh pengawal-pengawal berpakaian hitam dan berbadan besar itu.

Terkadang rasa takut menyelimuti hatinya. Ia takut jika kegiatan yang di lakukan sang cucu membuat mereka harus terluka. Suatu hari mungkin dirinya akan mati, lalu siapa yang akan memperingati cucu-cucunya untuk berhati-hati dalam bertindak.

Kembali ke pria tadi, dia masih setia didampingi oleh botolnya dan juga igauannya. "Dasar bodoh!"

"Akas," panggil Nyonya Patri pada sang cucu.

Pria itu bernama Akas Gardapati, seorang ketua gangster yang dikenal dengan sebutan pria berdarah dingin dan juga pria tak punya hati. Bagaimana tidak? Pekerjaannya adalah membunuh orang lain. Entah siapa dan apa penyebab ia membunuhnya, hanya ia, Nyonya Patri dan para anggotanya yang tahu.

"Nak," Nyonya Patri memegang pundak sang cucu. "Sudahi minumnya ya?" Pintanya lembut.

Akas masih memegang kuat botol itu dengan nafas yang memburu. Terlihat jelas bahwa ia tengah murka akan seseorang. "Dia bajingan Eyang!"  Sentaknya sambil terus menatap nanar ke lantai. "Dia kurang ajar, Akas harus bunuh lelaki tua itu!"

Nyonya Patri nampak mengangguk sambil mengelus-elus punggung Akas, ia mengerti amarah yang tengah cucunya itu rasakan. "Eyang paham, tapi tolong jangan sakiti dirimu sendiri Nak."

Dengan dada yang terus naik turun, pria bertubuh kekar itu pun membanting asal botol yang sedari tadi ada di genggamannya. "Ahhhhhh!" Teriaknya frustasi.

"Akas!" Nyonya Patri yang nampak panik, hanya bisa memeluk Akas erat.

"Eyang!" Panggil seseorang dari ambang pintu.

"Bajra, tolong." Pria bernama lengkap Bajra Bahuraksa itu pun segera berlari ke arah Nyonya Patri dan Akas berada.

"Biar Bajra yang bawa Akas ke kamarnya Eyang." Bajra pun langsung menaruh lengan Akas di tekuknya dan membopongnya menuju kamar Akas yang terletak di lantai dua.

Beberapa menit kemudian Bajra kembali ke ruangan tadi. Ia melihat Nyonya Patri tengah melamun di sana. "Eyang," panggilnya pelan.

"Bajra?" Nyonya Patri sedikit terkejut. "Mari Nak, Eyang ingin bicara." Nyonya Patri meminta Bajra untuk duduk di sebelah nya, Bajra pun mengangguk dan menghampirinya. "Akas baik-baik saja kan?" Tanya Nyonya Patri tepat saat Bajra duduk di sampingnya.

"Iya Eyang, Bajra sudah tidurkan Kakak di tempat tidur. Mungkin sekarang Kakak sudah tidur karena terlalu banyak minum alkohol."

Nyonya Patri pun sedikit tenang saat mendengar Akas sudah tertidur. "Sebenarnya apalagi yang kalian incar sekarang?" Tanyanya tiba-tiba.

Bajra pun menatap Nyonya Patri takut-takut. "Kami menemukan banyak gadis di pelabuhan Eyang."

Belum sempat Nyonya Patri menanggapi ucapan Bajri, tiba-tiba suara tawaan seorang gadis terdengar dari arah luar. "Itu pasti Adira," gumam Nyonya Patri sambil menggelengkan kepalanya.

"Dia mabuk lagi Eyang?" Tanya Bajra dan dibalas anggukan.

Tepat setelah itu, munculah seorang  gadis, dengan rok mininya dan ikatan bandana yang membentuk segitiga di lehernya, ia berjalan sempoyongan ke arah Bajra dan Nyonya Patri.

"Wussss, aku melampauinya Eyang!" Igaunya sambil menggerak-gerakkan tangannya seperti pesawat yang melesat. Namun tiba-tiba matanya menangkap sosok Bajra yang berdiri di hadapannya. "Hei?!" Ia melisik wajah Bajra dengan kepala yang memiring. "Bajra?" Ia berjalan ke arahnya, namun tubuhya tiba-tiba hampir jatuh, Bajra pun menahan tubuhnya dengan merangkul Adira.

"Andai tadi kalian lihat, aku menikung  mobilnya dengan cepat, makanya aku menang."

"Kamu balapan lagi Adira?!" Nyonya Patri nampak mulai naik darah. "Eyang kan sudah bilang, itu bahaya Adira, kenapa kamu gak mengerti?!"

"Sudahlah Eyang, balapan itu hal kecil, kenapa Eyang marah? Lihat Akas, dia sukanya membunuh, kenapa Eyang gak marahin dia?" Mendengar pertanyaan Adira, Bajra dan Nyonya Patri pun saling tatap.

"Dira!" Bajra menyentak adik dari Akas Gardapati itu, ia merasa Adira mulai keterlaluan. "Kamu gak tau apa-apa tentang itu, jadi diam!" Lanjutnya sambil menggoyangkan tubuh Adira.

"Hei!" Adira melepaskan cengkraman Bajra. "Aku ini bukan anak kecil lagi, aku tau semuanya!" Ujarnya sambil menunjuk-nunjuk Bajra. "Aku tau kalau Akas itu seorang pembunuh! Iya kan?!"

Plak!

Dalam satu detik saja Adira langsung tersungkur ke lantai, Nyonya Patri menamparnya. Kini Adira sudah tak sadarkan diri, ini efek karena minuman yang ia minum juga karena tamparan yang dilayangkan oleh Nyonya Patri, Adira mungkin lelah.
Bajra yang menyaksikan itupun hanya diam, ia bingung apa yang harus ia lakukan.

"Kenapa Cucu-cucuku seperti ini?" Lirih Nyonya Patri sambil terisak. "Untuk Akas, aku tahu apa masalahnya dia membunuh orang, tapi gadis ini," Nyonya Patri menunjuk Adira yang tergeletak di lantai. "Apa alasan dia melakukan hal ini?!"

"Mungkin Dira kurang merasakan kasih sayang, Eyang," ucap Bajra. "Dia butuh seseorang yang mengerti dia, dia butuh seseorang yang bisa dia ajak untuk berbagi." Sejenak, Nyonya Patri setuju dengan ucapan Bajra, Adira butuh kasih sayang. "Jika terus seperti ini, masa depannya akan hancur. Jangan  sampai dia menjadi seperti aku dan Kak Akas, Eyang."

Nyonya Patri pun menangis, ia merasa bersalah telah menampar cucu perempuannya itu. Ia pun menghampiri Adira yang tertidur di lantai. "Maafkan Eyang, Adira," rintihnya sambil memeluk Adira erat.

Bajra pun ikut berjongkok di samping Nyonya Patri, ia merengkuh Nyonya Patri lembut, berusaha menguatkan wanita yang sudah ia anggap seperti nenek kandungnya sendiri. "Sudah Eyang, kasihan Dira. Lebih baik kita bawa dia ke kamarnya."

Setelah mendapat persetujuan dari Nyonya Patri, Bajra pun mengangkat Adira dan membawanya ke kamar Adira, diikuti Nyonya Patri.

"Terimakasih, Bajra," ucap Nyonya Patri pada Bajra.

"Eyang," Bajra memegang tangan Nyonya Patri. "Bajra yang seharusnya berterimakasih pada Eyang dan Kakak, kalau bukan karena kalian, Bajra gak tahu nasib Bajra saat ini." Nyonya Patri pun mengangguk sambil terisak. "Ya sudah, mending sekarang Eyang istirahat ya, biar Bajra antar ke kamar."

****

GardapatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang