***
Entah kenapa, saat ini Deisya merasa begitu bosan berada di dalam kamarnya. Mungkin ini karena tidak ada yang bisa ia ajak mengobrol. Hari-hari sebelumnya, ia sama sekali tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Akhirnya, ia memutuskan untuk turun ke lantai bawah. Ya, walaupun jika berada di sana ia tidak melakukan aktivitas apapun. Mungkin hanya menonton televisi di ruang tamu, atau hanya sekedar melihat Bi Nur yang biasanya selalu sibuk dengan pekerjaannya.
Deisya menuruni satu per satu anak tangga yang ada di hadapannya. Namun, saat sampai di anak tangga paling terakhir. Langkah kakinya itu tiba-tiba saja terhenti. Pandangannya tertuju pada meja makan yang sudah di penuhi dengan berbagai makanan maupun minuman.
Deisya memperhatikan setiap hidangan yang ada di atas meja makan itu. Kemudian bertanya kepada Bi Nur. "Makanan sebanyak ini untuk apa Bi?"
"Untuk makan malam nanti non," jawabnya.
"Bibi tidak salahkan masak sebanyak ini?" Bi Nur menggeleng singkat, sambil tersenyum kecil. "Nyonya Maria yang menyuruh saya untuk memasak semua ini. Nyonya tadi bilang, jika Erick dan keluarganya akan datang ke sini. Untuk ikut makan malam bersama," jelas Bi Nur.
"Erick dan keluarganya ingin datang ke sini?" tanya Deisya, yang langsung di balas dengan anggukan cepat oleh Bi Nur.
"Ada keperluan apa Bi mereka datang ke sini?"
"Saya juga tidak tahu non," balasnya. "Kalau begitu saya pamit ke dapur dulu ya non. Masih banyak yang harus saya kerjakan di sana," pamitnya kepada Deisya.
"Iya Bi, silahkan."
Setelah mendengar jawaban dari Deisya, Bi Nur kembali ke dapur untuk menyelesaikan tugasnya yang belum sempat ia selesaikan. Di sana juga sudah ada Maria dan ART lainnya yang ikut membantu. Di sisi lain, Deisya belum juga beranjak dari tempatnya berdiri. Ia terus berpikir 'sebenarnya apa tujuan Erick dan keluarganya datang ke sini?'
"Sedang apa kamu di sana?" tanya Edgar.
Deisya yang mendengar itu langsung menoleh ke belakang. Melihat Edgar yang sedang berdiri di anak tangga terakhir. Kemudian, ia menggelengkan kepalanya sebagai jawaban.
"Sini," ajak Edgar sambil melangkahkan kakinya menuju ruang tamu.
"Kak Edgar tahu tidak jika Erick dan keluarganya ingin datang ke sini?" tanya Deisya setelah mendudukkan tubuhnya di samping Edgar.
Edgar terlihat sedang sibuk memencet tombol remot untuk mencari chennel Tv yang menurutnya menarik. Sambil menyandarkan tubuhnya di kepala sofa.
"Tahu, kenapa?" balasnya. Meletakan kembali remot Tv itu ke atas meja yang ada di depannya.
"Menurut Kak Edgar, mereka ada keperluan apa datang ke sini?"
"Silahturahmi? Mungkin," jawab Edgar sekenanya. "Memangnya ada apa?"
"Tidak ada apa-apa," jawab Deisya.
Edgar mengangguk singkat. Kemudian kembali mengalihkan pandangannya pada Tv berukuran 65 inch yang berada di depannya. Deisya menyandarkan kepalanya pada pundak kanan Edgar dan mulai ikut menonton. Edgar yang menyadari itu tidak tinggal diam, ia mengelus lembut rambut panjang Deisya yang tergerai dengan salah satu tangannya.
"Kak Edgar tumben sekali jam segini sudah pulang," ujar Deisya tanpa mengalihkan pandangannya sedikit pun dari Tv yang ada di hadapannya.
"Semua pekerjaan di kantor sudah selesai. Jadi aku memutuskan untuk segera pulang."
Deisya yang mendengar itu hanya mengangguk. Tanpa mengucapkan apapun lagi.
Pintu rumah mereka terbuka. Menampilkan sosok Nathan yang baru saja pulang dari kantornya. Nathan berjalan mendekat ke arah Deisya dan Edgar, dengan kedua sudut bibirnya yang tertarik ke atas. Deisya dan Edgar yang melihat itu segera berdiri dari tempat duduk mereka, bergantian untuk menyalami Nathan.
"Papah pasti capek ya?" tanya Deisya.
Nathan menggeleng. "Papah pergi ke kamar dulu ya."
"Bareng Pah, aku juga mau ke kamar."
"Kamu kenapa ke kamar?" tanya Edgar penasaran. "Hanya ingin mengambil handphone."
"Ya sudah, ayo," sela Nathan mengajak Deisya untuk pergi ke lantai dua rumah mereka.
Tak berselang lama setelah itu. Bel rumah mereka berbunyi. Bi Nur yang mendengar itu pun segera berlari kecil menuju pintu. Setelah membukakan pintu rumah dan melihat siapa yang datang, Bi Nur segera mempersilahkan tamu itu untuk masuk ke dalam.
"Akhirnya kalian datang juga," ucap Maria saat melihat Avra, Albert, dan juga Erick yang baru saja memasuki rumahnya.
Maria dan Nathan berjalan menghampiri mereka. "Sebaiknya kita duduk di sana saja," ujar Maria mengajak mereka bertiga untuk duduk di ruang tamu. Agar obrolan mereka menjadi terasa lebih santai.
"Silahkan di minum," ujar Bi Nur satelah meletakkan beberapa gelas minuman yang di bawanya ke atas meja yang ada di sana.
"Terima kasih, Bi." Bi nur mengangguk, kemudian berlalu pergi dari hadapan mereka semua.
"Sepertinya sejak tadi aku belum melihat Deisya, di mana dia?" tanya Avra ketika ia baru menyadari jika dari tadi Deisya tidak ada bersama mereka.
"Deisya sedang mengambil handphone miliknya di kamar," jawab Edgar. "Mungkin sebentar lagi dia akan turun."
Tepat setelah Edgar menyelesaikan ucapannya. Deisya terlihat sedang menuruni anak tangga. Dengan pandangan yang terus fokus menatap layar ponsel yang ada di genggaman tangannya.
"Deisya!"
Deisya yang merasa namanya di panggil seketika langsung mendongakkan kepalanya. Mencari sumber suara yang ternyata berasal dari ruang tamu. Ia benar-benar gugup ketika semua orang yang berada di sana menatap ke arahnya. Begitu pula dengan Erick yang menatapnya tanpa ekspresi sedikit pun.
"Ini dia calon menantu Bunda," tutur Avra sambil menunjukkan senyum lebarnya, saat melihat Deisya yang sedang berjalan menuju ke arah mereka.
Deisya tersenyum kecil saat mendengar perkataan Avra. Ia menyalami Avra, Albert, dan yang terakhir Erick. Kemudian mendudukkan tubuhnya tepat di samping Edgar. Setelah itu mereka semua yang ada di sana mulai berbincang-bincang mengenai apapun. Namun berbeda dengan Deisya, Edgar, dan Erick yang hanya menyimak obrolan kedua orang tua mereka, tanpa berniat ikut serta di dalamnya.
***
TBC.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Perfect CEO (Sudah Terbit)
RomanceRank🏅 #1meriage Dijodohkan dengan seorang CEO muda berusia 23 tahun, yang memiliki sifat dingin, tegas, irit bicara dan selalu menampilkan wajah datarnya. Tidak pernah sekali pun terbayang kalimat itu di benak seorang Deisya Grethania Anderson. Rem...