Melamun di tengah kota yang basah sama sekali tak membuat tubuhku mengigil. Berisiknya lalu lalang bus kota yang sepi penumpang pun tak kunjung berhasil benahi katup mataku yang semakin dekil. Aku masih ingat betul setiap kata yang mampir di sela-sela daun telingaku. Kau akan baik-baik saja katamu. Kalau saja kau katakan itu padaku lima belas tahun yang lalu, aku pasti bisa percaya.
Kira-kira satu minggu yang lalu, kabar itu tiba. Terang saja aku membantahnya dengan gagah. Karena jika kau adalah Tuhan, maka aku adalah umatmu yang paling taat. Aku akan selalu percaya hanya pada apa yang kau sabda. Jadi, apapun yang orang lain katakan, adalah sesuatu yang sangat sia-sia.
Sebagaimana yang telah (atau mungkin selalu) kuceritakan padamu tentang apa yang pernah kakekku katakan. Bahwa, percayalah hanya pada orang yang menyampaikan. Meyakini pada yang bukan sumbernya, cuma akan menimbulkan kesesatan. Itulah alasan yang mendasari pertemuan kita beberapa jam yang lalu.
Lubang hidungku tidak mau berhenti menerima asupan aroma berbagai jenis makanan. Nasi goreng, satai kambing, juga makanan-makanan pedas berbau khas puluhan cabai yang dilebur bersamaan dengan ayam goreng—yang kini menjadi favorit lidah orang Indonesia, bergantian berebut masuk ke dalamnya. Sebab sejak kau menyelesaikan pertemuan kita tadi, aku masih belum mau pergi dari tempat yang ramai dengan pelbagai jenis pedagang ini.
Kau tentu tahu betul mengapa aku hanya mengajakmu makan di seberang sebuah mal, dibanding masuk ke dalamnya. Kita berdua tahu kalau aku tidak suka berada pada sebuah tempat yang harga makanan dan minumannya bisa dua kali lipat dari harga-harga yang ada di sekelilingnya. Tentu itu menjadi bagian yang paling tidak penting dari cerita ini. Kau tenang saja. Seperti katamu, aku akan baik-baik saja.
Pada pertemuan kita hari ini, kau menolak tawaranku untuk menjemputmu. Katamu lebih baik kita bertemu di lokasi. Aku tidak menemukan kata lain selain kata baiklah, oke, atau kata lain yang merujuk pada maksud "iya". Aku tidak tahu apakah itu baik atau buruk. Mungkin baik karena aku tidak perlu jauh-jauh datang ke rumahmu, lalu balik arah kembali menuju tempat yang kita sepakati. Tapi tentu itu buruk kalau perhitungannya adalah harga dari sebuah perbincangan kita selama perjalanan. Namun, kembali seperti katamu, aku akan baik-baik saja.
Aku harusnya tidak perlu bertanya kenapa. Kalau ternyata, jawaban yang kuterima hanya akan membuatku berdarah-darah. Padahal aku mestinya sudah paham, sejak kuketahui apa alasanmu menolak tawaranku menjemputmu. Tak perlu aku bertanya lagi soal itu. Sungguh tak perlu.
Mulai saat ini, sepertinya aku harus mulai membiasakan menerima kenyataan bahwa punggungmu yang dingin akan menjadi santapan lezatku setiap harinya. Beberapa lembar foto (mungkin ratusan, hanya aku enggan mengakuinya) yang melekat pada setiap sisi dinding kamarku, entah harus kuapakan. Mungkin foto bisa dibakar. Tapi apa yang tersimpan dalam ingatan, tentu membuatku cukup kewalahan mesti aku ke-mana-kan. Tak mungkin juga kubenturkan kepalaku pada trotoar jalan, kan? Aku masih ingin baik-baik saja, seperti katamu tadi.
Kita adalah anak dari setiap takdir yang dituliskan. Meski dipaksa tenggelam dalam air mata kepedihan, segala keputusan yang ditentukan tidak mungkin bisa disalahkan. Setidaknya, aku telah mengamalkan apa yang kakekku katakan. Aku tidak pernah percaya sebelum kau sendiri yang mengatakan. Meski sebenarnya, pada pertemuan kita hari ini, tidak ada satupun kata yang kau ucapkan sebagai cara untukmu menuntaskan penjelasan. Lelaki di balik kemudi itu lah yang telah menjadi jawaban atas segala pertanyaan. Meskipun aku yakin, kau sudah merencanakan agar aku tak melihat kalian. Tapi, aku mengawasimu dari kejauhan. Lain kali, kalau ingin bertemu denganku, tak usah malu-malu dengan menyuruhnya menunggu di tempat yang jauh lagi seperti itu. Berhenti saja di depanku. Katakan padanya tanpa ragu kalau aku hanya temanmu. Toh, pada kenyataannya memang begitu. Menjadi teman pun akan baik-baik saja, kan?
Kalau nanti kita bertemu lagi—atau lebih tepatnya kau sudi melihat wajahku yang tampan ini lagi, izinkan aku mengucapkan terima kasih pada puluhan gelas kopi yang pernah kau sajikan di rumahmu. Sebab tadi tidak sempat kutitipkan salam untuk gelas-gelas cantikmu itu. Aku yakin mereka akan kangen padaku. Kau sepertinya terlalu terburu-buru dengan calon masa depanmu sampai tergesa-gesa meninggalkanku. Tapi kalau dipikir-pikir, sungguh malang lelakimu. Sebab selamanya dia hanya akan meminum berbagai jenis minuman yang kau suguhkan dengan gelas yang penuh bekas bibirku. Kau tak perlu khawatir. Aku baik-baik saja malam ini.
Beberapa orang yang mungkin pedagang sekitar mulai berdatangan. Mereka pasti tidak mengerti alasanku berdiam diri berjam-jam tanpa ada satupun makanan yang kupesan. Aku sudah menyiapkan kata tidak apabila maksudnya menghampiriku adalah untuk menawarkan apa yang mereka jual. Tapi ternyata aku salah duga. Mereka tak menanyakan aku mau pesan apa. Yang mereka tanyakan adalah apakah Tuan baik-baik saja? Sepertinya, aku mulai merasa ingin muntah. Kata baik yang berkembak biak terlalu banyak, malah membuatnya terdengar payah. Aku berjanji, ini menjadi yang terakhir kalinya aku mengucap kalimat ini;
Aku baik-baik saja.
Kalimat itu menjadi penutup malamku yang membuat aku lantas beranjak pergi tepat sesaat setelah kubuang dan kuludahi undangan pernikahan yang kuterima beberapa jam yang lalu.
ge
KAMU SEDANG MEMBACA
Asmara, Amarah.
Teen Fictiontentang sebuah kisah yang patah. hati yang kesulitan menentukan pilihan, antara pasrah ataukah lanjut melangkah. asmara yang marah tak pernah pulang ke rumah.