6. Di Tengah Pesta Panen Besar

126 18 2
                                    

"Sepupu!" seruan Namari menggema di rumah yang sepi.

Pemuda itu masuk ke dapur rumah Priam sambil membawa sebuah keranjang rotan berisi banyak barang saat Rhaya sedang sibuk memotong sayur. Shanaya, yang menemani Rhaya di rumah, berseru senang melihat kedatangan kakak sepupunya.

"Cepat sekali kau pulang, kupikir kau akan berlama-lama di Unamaris," Rhaya berhenti memasak. Dahinya mengernyit melihat kedatangan Namari. "Kapan kau sampai?"

"Subuh tadi kami tiba di rumah. Kami sengaja pulang cepat, supaya tidak melewatkan pesta panen besar," Namari menyeringai. Tatapannya beralih pada si bungsu yang mengamat karanjang yang dibawanya. "Kemarilah, Shan, aku membawa pesananmu," dia meletakkan keranjang itu lalu mengaduk-aduk isinya. Diambilnya sepasang gaun berwarna cerah dan bersulam warna-warni. "Ini gaunmu."

Shanaya meninggalkan sayur-sayur yang sedang dicucinya.

"Eits! Keringkan dulu tanganmu. Aku tidak mau baju barumu kotor kena lumpur," Namari mengangkat tangannya saat Shanaya hendak meraih gaunnya.

Gadis kecil itu cemberut. Dilapnya kedua tangannya dengan celemek yang melingkari pinggangnya, kemudian diambilnya kedua gaun itu dari tangan Namari. Dia melepas sepatunya dan buru-buru masuk ke kamar untuk mencoba gaun barunya. Pemuda itu tertawa melihat semangat adik Rhaya.

"Kurasa, dia akan memakai gaun barunya malam nanti," cetusnya.

"Sepertinya begitu," Rhaya kembali pada pekerjaannya, memotong sayuran.

"Tumben tidak ikut persiapan pesta? Aku tadi mencarimu di sana, kupikir kau jadi pembuat kudapan lagi," Namari menyeringai jail sambil mengambil dua buah buku dari saku dalam rompinya. "Maaf, aku cuma bisa membelikan dua buku saja. Kapan-kapan, akan kubelikan lebih banyak dari ini."

"Dua sudah termasuk banyak, Nam," Rhaya menerimanya, lalu meletakkan buku itu di sudut dipan. "Terima kasih."

Namari cuma mengangguk. Dia lalu duduk di sisi Rhaya. Dipan bambu ini terlalu luas bila hanya dipakai Rhaya seorang untuk bekerja. "Omong-omong, aku dengar gosip tentangmu," ucapnya.

Rhaya menghentikan gerakan memotongnya. Dia menatap Namari dengan pandangan malas. "Apa ada kaitannya dengan Haris?"

"Bahkan kau sudah tahu gosip yang mau kubicarakan?" pemuda itu pura-pura terkejut.

"Akhir-akhir ini penduduk desa sering membicarakan kami, beberapa gadis juga terang-terangan menanyakan hubunganku dengannya," jawab Rhaya.

"Oh, aku bisa membayangkan, kau kerepotan meladeni mereka. Tapi, apa kau benar-benar punya hubungan dengannya?"

"Tidak!" Rhaya menatapnya tajam. "Kami sama sekali tidak ada hubungan apa-apa."

"Ya, ya, aku paham," Namari meringis. "Menjawabnya tak perlu seperti orang marah."

Bagaimana dia tidak marah? Gara-gara gosip itu, gadis-gadis tengil yang dari dulu sudah mempersiapkan diri untuk dipinang Haris jadi suka mencibirnya tanpa tahu tempat. Mereka marah, karena menganggap dirinya mengabaikan seseorang yang tak pernah memperhatikan mereka. Siapa yang minta diperhatikan Haris? Tidak ada!

"Kau pasti kesal menanggapi mereka," komentar Namari.

"Siapa pun akan kesal kalau terus-menerus dicibir," gerutu Rhaya.

"Tapi Haris sangat mapan, kau benar-benar tak tertarik padanya?"

"Apa dia benar-benar tertarik padaku?" Rhaya melemparkan senyum setengah hati. "Haris tak pernah mengatakan apa-apa padaku, Nam. Maka dari itu, aku juga tidak akan bersikap kelewat batas. Di mana aku menaruh mukaku, kalau ternyata perhatiannya selama ini memang karena dia baik?"

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang