7. Bukan Sekadar Mimpi

113 20 5
                                    

Menjadi istrinya? Rhaya tak tahu harus senang atau sedih mendengar lamaran secara langsung ini. Sepulang dari pesta, dia tak bisa tidur dan terus memikirkan kata-kata Haris. Setelah menari bersama, mereka kembali bergabung dengan kelompok dan Haris memilih bergabung bersama kelompoknya. Sikapnya jelas merupakan isyarat terang-terangan bahwa dia tertarik pada dirinya. Viskan dan Namari, yang semula bergabung dengan kelompok lain pun, beralih ke kelompok mereka.

Hatinya meragu. Jika menikah dengan Haris, maka kehidupannya sudah jelas seperti apa ke depan. Bagaimana dengan Kazam? Hidupnya akan menjadi seperti apa? Rhaya tak bisa membayangkan. Yang manakah yang harus dia pilih? Akal dan hatinya sama sekali tidak membantu untuk membuat keputusan.

Gadis itu bangun dari tempat tidur sambil menggerutu, lalu beranjak membuka jendela. Udara malam langsung menerpa wajahnya. 

'Carilah tempat yang dipenuhi sinar bulan ketika kau memanggilku, Neia.'

Dia teringat pesan Kazam dalam mimpi sebelumnya. Rhaya mengamati halaman samping rumah. Memang cukup lapang dan sinar bulan bisa sampai, tetapi dia tak ingin mengambil resiko kalau ada orang yang melihatnya dan menganggapnya gila, karena komat-kamit membaca sesuatu yang tidak jelas.

Rhaya mendesah kembali. Kalau tak cepat pergi sekarang, bisa-bisa waktu menginjak pagi dan kabut datang. Dia harus cepat memutuskan untuk mencoba mantera yang diajarkan Kazam. Gadis itu menjaga langkahnya agar tidak menimbulkan suara berarti saat mengambil mantel. Setelah itu, diambilnya belati dan gelang peraknya yang baru dari atas meja rias.

Dia keluar dari jendela dan berjingkat-jingkat saat hendak masuk ke hutan. Namun, langkahnya terhenti. Pandangannya tertuju pada lentera yang menggantung di salah satu sudut rumah. Setelah memastikan tak ada siapa pun yang melihatnya, Rhaya pun mengambil lentera sekaligus tongkat yang menjadi tiang pengaitnya.

Gang rumahnya benar-benar sepi, tidak ada siapa pun yang ada di luar rumah. Tentu mereka lelah setelah seharian menyiapkan pesta sekaligus berpesta, pikir gadis itu. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Rhaya memberanikan diri memasuki hutan yang gelap.

***

Jantung Rhaya berdetak lebih keras. Matanya memanas. Dia ingin menangis, merasa bodoh karena mau-mau saja mengikuti anjuran Kazam, yang notabene berasal dari mimpinya. Dia berhenti melangkah. Ketakutan dalam hati mengalahkan keinginannya bertemu Kazam. Gadis itu berbalik, hendak pulang ke rumah, tapi ada sesuatu yang menariknya kembali menuju danau.

Neia....

Rhaya mematung saat mendengar suara Kazam menggema dalam pikirannya.

Neia..., kemarilah...

Suara itu makin jelas terdengar. Rhaya menoleh ke arah danau, tak percaya dengan apa yang didengarnya barusan. "Kazam?" gumamnya setengah bertanya.

Ya, Neia, ini aku. Kemarilah. Bantu aku supaya bisa bertemu denganmu.

Senyum Rhaya mengembang mendengarnya. Dia memutar tubuh, menghadap ke arah jalan menuju danau. Saat akan melangkah mendekati danau, ada sesuatu yang menariknya kembali ke desa. Hawa dingin menyelubunginya lebih kuat, membuatnya menggigil.

Ada apa? Kazam bertanya saat Rhaya tak juga bergerak.

"Aku kedinginan," Rhaya memeluk tubuhnya sendiri. "Sepertinya ada sesuatu yang menghalangiku menuju danau."

Pikirkan aku, Rhaya. Ingatlah padaku, maka tekanan itu akan berkurang. Aku akan melindungimu, Neia, bisikannya terdengar sangat manis.

Rhaya memejamkan mata dan mulai membayangkan sosok Kazam. Pelan-pelan, tekanan dingin itu berkurang dan udara di sekitarnya menjadi hangat. Tarikan untuk berbalik ke desa pun pelan-pelan lenyap, digantikan keinginan kuat menuju danau.

Berjalanlah, Neia. Jangan khawatir, aku melihatmu.

Dia melangkah, tak lagi merasa berat seperti sebelumnya. Langkahnya ringan dan menyenangkan. Begitu melihat kilauan cahaya tak jauh di depannya, ekspresi Rhaya berubah cerah. 

Jalannya makin cepat menuju danau Amali. Air memantulkan sinar rembulan dengan sempurna sehingga pemandangan di sekitar danau Amali terlihat sangat tidak biasa. Hitam yang beriringan dengan terang, membuat tempat ini tampak eksotis. Pohon-pohon pun tenang, seperti permukaan danau yang tak beriak. Embusan angin serupa bisikan, sangat pelan dan tak terasa. Suasana ini seperti dalam mimpinya.

Rhaya berdiri di tepi danau dan mengingat mantera yang diajarkan Kazam. Dia mengulang beberapa kali mantera itu dalam benaknya, memastikan tak ada yang salah dalam ingatannya. Kemudian, barulah mantera itu terucap dari bibirnya.

Malam telah datang,

waktu untuk para kekasih dimulai

Di antara kesenyapan petang,

mari memulai pertemuan berkasih-sayang

Jawab bila kau mendengarku,

beri aku petunjuk mengenai keberadaanmu

Aku ingin bertemu denganmu,

melepas kasih, berbagi cinta...

Hening. Belum terjadi apa-apa setelah Rhaya mengucapkan mantera itu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya, cemas. Apa dia salah mengucapkan mantera? Saat akan mengulang mantera itu, Rhaya melihat kabut muncul di atas permukaan air danau.

Napas Rhaya tertahan ketika kabut itu semakin tebal. Lalu, bayangan seseorang terlihat di dalam sana. Bayangan itu bergerak mendekatinya, diikuti kabut yang menipis. Ketika kabut benar-benar hilang, orang itu sudah berada tepat di hadapan Rhaya.

"Neia...," Kazam tersenyum ke arahnya. Tangannya terulur, hendak membelai pipi Rhaya. Namun tiba-tiba gerakannya terhenti. Dia menelengkan kepala ke satu sisi, urung untuk memeluk Rhaya hingga gadis itu keheranan.

"Apa?" Rhaya bingung ketika Kazam tak jadi menyentuhnya.

"Apa kau memakai perak?" tanyanya.

"Tentu saja," gadis itu menunjukkan pergelangan tangannya. "Kami selalu disuruh memakai perak saat masuk ke hutan ini."

Kazam terdiam sesaat. Kemudian dengan berat dia berujar, "Aku tak bisa menyentuhmu kalau benda itu ada di tubuhmu, Neia."

Mata Rhaya membulat lebar mendengarnya.

"Kau takut padaku?" senyum Kazam berubah getir melihat sinar mata Rhaya yang kebingungan. "Aku akan kembali kalau kau memang tak menginginkanku." Dia berbalik, hendak berjalan ke tengah danau. Namun, sebelum dia sempat melangkah, Rhaya sudah menarik tangannya yang dingin.

Spontan Kazam menepis tangannya. Mereka sama-sama kaget dengan tindakan masing-masing. Rhaya kaget karena dirinya menahan kepergian Kazam dan Kazam terkejut karena tiba-tiba bersikap kasar pada gadis itu.

"Maaf, Neia, aku tak bermaksud kasar padamu," ucapnya buru-buru. "Tapi... sentuhanmu membakarku begitu kau menggenggam tanganku." Dia menunjukkan tangannya yang memerah seperti melepuh.

Tentu karena perak yang dipakainya. Rhaya menatap gelang di pergelangannya. Gadis itu lalu melepaskan perak barunya lalu melemparnya begitu saja ke tepi danau. Kazam terpaku melihat tindakannya.

"Kau tak harus membuangnya seperti itu," gumam Kazam.

"Kalau aku tidak membuangnya, kau tak akan percaya aku tak takut padamu," tukas Rhaya.

"Neia...," Kazam memandangnya tanpa berkedip. Tangannya terulur lagi dan akhirnya bisa menyentuh Rhaya sepenuhnya. Diusapnya pipi gadis itu dengan lembut. Setelah sekian lama mereka hanya bersua dalam mimpi, akhirnya mereka bisa bertemu di dunia nyata.

Gadis itu tak sanggup berkata apa-apa lagi. Senyumnya mengembang sedih. Rasa dingin dari telapak tangan Kazam sama sekali tak membuatnya takut. Tangannya terulur ke arah lelaki itu, menyentuh wajahnya yang kini benar-benar nyata.

(Jum'at, 19 April 2024)

============

Note:

Jujur saja, saya kadang skip-skip waktu baca ulang dan edit cerita ini. Dulu biasa aja kalau fokus dan nulis cerita tentang Kazam. Sekarang nggak tahu kenapa malah jiper sendiri 🤣🤣

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang