Prolog

217 26 0
                                    

Jangan memasuki hutan tanpa teman.

Jangan memasuki hutan tanpa membawa perhiasan yang telah disucikan.

Jangan memasuki hutan tanpa membawa senjata.

Setelah memasuki hutan, jaga perilaku, jaga perkataan, dan jangan bicara sembarangan. Selalu pusatkan perhatian pada apa yang dicari dan jangan terjebak dalam lamunan walau sesaat. Masuklah ke hutan setelah matahari naik dan keluarlah sebelum matahari terbenam.

Larangan dan peringatan tersebut merupakan aturan umum untuk memasuki hutan yang diketahui seluruh penduduk desa Anshosa. Namun, tanpa mengindahkan semua larangan tersebut, gadis itu justru mengendap-endap memasuki hutan hanya dengan penerangan sinar rembulan. Dia menyusuri jalan setapak yang telah dihafalnya di luar kepala, ditemani rasa sepi yang tidak mengenakkan serta suara angin yang menggerakkan ranting-ranting pohon.

Sesekali suara gesekan ranting mengagetkannya, begitu pula suara dengkuran burung hantu yang membuat bulu kuduknya berdiri, tetapi demi bertemu kekasihnya, gadis itu mengabaikan semua kengerian di sekitarnya maupun tatapan-tatapan penuh ketertarikan dari bayangan-bayangan yang bersembunyi di balik pepohonan. Dia mencoba memantapkan diri, meski hatinya berkata sebaliknya.

Tanpa teman, tanpa perhiasan yang telah disucikan, tanpa senjata, dan masuk ketika waktu hampir mendekati tengah malam, gadis itu melanggar semua aturan umum yang ditetapkan Iksook desanya. Seharusnya dia mengalami kejadian mengerikan, tetapi kenyataannya, sampai saat ini dia masih baik-baik saja.

Ini bukan pertama kalinya gadis itu menyelinap keluar rumah setelah malam menginjak larut. Dia sudah beberapa kali melakukannya dan itu bermula dari pertemuan mereka di danau ini.

Gadis itu tersenyum gembira di pinggir danau Amali yang memantulkan cahaya bulan purnama secara sempurna. Keadaan di sekitar mereka sedikit lebih terang dari biasanya, tetapi itu tidak cukup untuk mengikis kesan menyeramkan yang terbentuk dari pohon-pohon besar yang berdiri tidak jauh di sekitar danau tersebut. Setelah mengatur napas agar lebih tenang, gadis berkepang satu itu lalu menyenandungkan sebuah lagu yang diajarkan sang kekasih kepadanya.

Malam telah datang,

waktu untuk para kekasih dimulai

Di antara kesenyapan petang,

mari memulai pertemuan berkasih-sayang

Jawab bila kau mendengarku,

beri aku petunjuk mengenai keberadaanmu

Aku ingin bertemu denganmu,

melepas kasih, berbagi cinta...

Selesai menyenandungkan lagu tersebut, udara di sekitarnya semakin bertambah dingin, hingga membuatnya menggigil dan mengetatkan jubah yang dipakainya. Kabut perlahan-lahan muncul, bersamaan dengan kedatangan lelaki berambut perak pendek di seberang danau yang gelap. Lelaki itu berjalan di atas air danau, seakan-akan air tersebut adalah tanah yang solid. Si gadis tidak tampak ketakutan atau pun terkejut melihat kemampuannya berjalan di atas air.

Manusia biasa memang tidak memiliki kemampuan seperti itu, tetapi makhluk lainnya punya kemampuan itu. Dari awal mengenalnya, gadis itu tahu bahwa kekasihnya bukanlah manusia, melainkan Jugook—makhluk yang hidup berdampingan dengan manusia tetapi tinggal di alam lain.

"Aku bertanya-tanya, kapan kau akan memanggilku lagi," kata lelaki itu ketika sampai di hadapan gadis tersebut. Tangannya terulur untuk menyentuh wajah gadis itu.

Sentuhan dingin yang dirasakan si gadis dari tangan lelaki itu membuatnya mengernyit tipis, tetapi kernyitan itu hilang saat hawa dingin itu berganti menjadi kehangatan yang mengalir ke seluruh tubuhnya.

"Maaf karena baru memanggilmu sekarang," ucapnya. "Aku tidak bisa pergi ke mana-mana, karena keluargaku mengawasiku. Sekarang pun aku bisa keluar karena berhasil mengakali mereka."

"Aku mengerti." Lelaki itu lantas memeluknya. Mata kelabunya menajam, membalas tatapan-tatapan penuh ketertarikan dari Jugook-jugook lain yang penasaran terhadap pasangannya. Ada kekelaman serta ketidaksenangan dalam tatapannya, yang membuat makhluk-makhluk di sekitar mereka mundur, kemudian pergi.

"Mungkin ini saatnya bagimu untuk memberi jawaban, Rhaya," kata lelaki itu.

Rhaya—nama si gadis—tertegun mendengar bisikannya. Jawaban yang dimaksud, tentunya jawaban dari lamaran Kazam beberapa waktu yang lain. Kesediannya untuk pergi dari dunia ini dan bersatu dengan Kazam di alam lain.

"Aku... masih belum bisa," katanya lirih. Ia memang belum sanggup berpisah dengan keluarganya. Sekalipun sekarang orangtua dan saudara-saudaranya bersikap menjengkelkan, tetapi Rhaya masih menyayangi mereka. Membayangkan berpisah dari mereka saja sudah membuat Rhaya tidak nyaman, apalagi hidup di dunia yang terpisah dari keluarganya.

"Kau harus segera memutuskannya, Neia," Kazam melepas pelukannya dan menatap Rhaya lekat-lekat. "Kalau kau terus terombang-ambing dengan perasaanmu, justru itu berbahaya bagimu."

Bibir Rhaya terkatup. Ia memahami maksud Kazam, tetapi seperti sebelumnya, ia masih belum siap berpisah dari keluarganya. Kalau pun ia meminta ijin pada keluarganya untuk menikah dengan Kazam, mereka pasti tidak akan pernah merestuinya, bahkan Iksook Inarha dan Tetua desa akan menentang pilihannya. Karena... manusia dan Jugook tak seharusnya bersama.

(Jum'at, 19 Januari 2024)

=====================

Note:

Upload ulang cerita ini, semoga pada suka yaaa

Jangan lupa vote dan komen cerita ini. Untuk cerita utuhnya, bisa dilihat di karyakarsa ^^

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang