12. Pandangan Yang Tertutup Kabut

85 18 0
                                    

Inarha kembali ke rumah diantar Viskan dan Namari. Setelah melihat kedua pemuda itu menjauhi rumah, barulah dia masuk dan menaruh tas selempangnya di atas tikar lebar yang ada di tengah-tengah ruangan. Rumahnya sepi, gelap, dan dingin. Ketika istrinya masih hidup, suasana tidak sesepi ini. Biasanya lentera maupun hidangan ringan terhidang di atas tikar di tenga ruangan dan sang istri duduk menunggu di sana sambil terkantuk-kantuk. Namun begitu Amaria meninggal, Inarha merasakan kehampaan di dalam rumah kecilnya.

Seandainya ada satu atau dua anaknya yang masih hidup, mungkin dia tidak akan merasakan kesepian ini. Namun, apa yang bisa diubah pada takdir Nua yang telah terjadi? Yang bisa dilakukan Inarha hanya berdamai dengan keadaan dan tetap mensyukuri kesendiriannya.

Secara keseluruhan, rumah Inarha hanya terbagi menjadi tiga ruangan yaitu, ruang tamu, kamar, serta dapur. Ruang tamu digunakan untuk penyimpanan tanaman obat. Kamar sebagai ruang tidurnya, sedangkan dapur... yah, hanya sesekali dia memasak di sana. Selebihnya, selalu ada tetangga yang mengiriminya makanan semenjak istrinya meninggal. Awalnya dia merasa sungkan, tetapi makanan-makanan itu kemudian dia tukar dengan ramuan-ramuan yang dibuatnya.

Lelaki itu masuk ke kamar yang ada di sudut belakang ruang tamu. Kamar itu sebenarnya bagian ruang tamu, tetapi dibatasi papan-papan kayu yang membentuknya menjadi ruangan sendiri. Hanya ada selembar kain tebal yang menutupi ambang pintu kamar dengan ruangan lain. Di dalam, ada sebuah dipan lebar yang dialasi kain bertumpuk, tempat Inarha tidur. Ada sebuah meja panjang berkaki pendek di sudut lain kamar. Di atasnya terdapat berbagai macam mangkuk dan gelas berisi bubuk ataupun bunga-bunga kering dan segar. Dua lemari kayu berukuran sedang merapat di dinding kamar. Yang satu berisi buku, sedangkan yang lain berisi pakaian.

Dia menaruh topi bersulam benang warna-warni di atas lemari pakaian. Rompinya dilepas dan diletakkan sembarangan di dipan, kemudian diambilnya sebuah pot kecil yang berisi arang di atas meja panjang. Setelah menyalakan api di arang, dia mengambil sejumput bubuk dari salah satu mangkuk dan menaburkannya di atas bara api sampai wewangian memenuhi kamar. Pria itu kemudian duduk bersila di atas lantai kayu kamar dan mulai menyenandungkan puji-pujian untuk Tadakhua sambil memejamkan mata.

Suaranya lemah lembut, mengalun merdu seperti kicauan burung-burung penyanyi di pagi hari. Siapa pun yang mendengar lantunan bait yang didendangkan Inarha, pasti akan trenyuh dan berhenti menjalankan aktivitas yang sedang dilakukan lalu ikut berdoa bersamanya. Namun, bisa juga lantunan doa Inarha mengundang kehadiran dari makhluk-makhluk lain yang juga sesama ciptaan Tadakhua, tetapi hidup di dunia yang berbeda.

Tanpa memedulikan waktu yang mulai menginjak dini hari, Inarha masih terus melantunkan doanya, hingga suasana di sekitarnya berubah menjadi dingin menggigit. Wangi bunga yang semula samar-samar berubah makin tajam yang diikuti kemunculan kabut putih yang menutupi lantai kamar. Bayangan samar muncul di hadapan lelaki tua itu, yang kemudian membentuk sosok burung besar bersurai panjang dengan bulu-bulu perak cemerlang. Matanya birunya yang sewarna langit menatap ke arah Inarha dengan tatapan tajam.

Inarha, panggilan itu menghentikan lantunan doa Inarha.

Pria tua itu membuka mata dan menatap ke arah makhluk di hadapannya. "Anshok," sapanya sambil tersenyum lebar. "Lama tak berjumpa, Kawanku."

Baru tiga bulan lalu aku menemuimu, makhluk itu mendengkus mendengar sapaan Inarha.

"Apa yang membuatmu datang menemuiku, Akara?" tanyanya.

Ini tentang gadis bernama Rhaya, jawab sang Anshok dalam benak Inarha. Kau sudah tahu kalau dia berhubungan dengan Humakin?

"Ya, aku tahu," Inarha menghela napas sedih. "Aku bisa melihat benang ikatan antara dirinya dan Humakin itu. Tapi aku tidak bisa memutuskannya tanpa kesadaran dari anak itu sendiri."

Blooming SoulTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang