Labuan Bajo.

462 19 14
                                    

"Kamu kok gitu sih?!"

"DIAM! AKU MAU PERGI! GAK TAU LAGI SAMA KAMU! GAK ADA PEKA-PEKANYA SAMA SEKALI!"

Denias menghela nafasnya berulang kali. Mencoba sabar menghadapi sikap kekanakan Ricis yang sekarang mengumpulkan bajunya lalu memasukkannya kedalam koper.

"Mau kemana?"

"Gak tau!"

Ricis menjawab ketus. Denias akhirnya menampilkan wajah lelah. Capek membujuk calon istrinya tersebut.

"Gak mau rayain ultah kamu sama-sama...?"

Denias bertanya lirih,Ricis terdiam lama.

"Mba...? Kamu gak mau rayain ulang tahun kamu sama saya,Hm? Maunya hanya sama tim gitu?"

Dan Ricis akhirnya luluh. Menaruh kopernya dan berlari untuk memeluk Denias.

"Aku mau! Tapi aku udah janji ke anak-anak harus rayain disana...maaf.."

Ricis memeluk Denias erat. Denias mengusap kepala Ricis dan balas memeluknya.

"Yaudah..."

"Terakhir kali aku mohon Mas Rama. Ikut aku,kamu janji sama aku,ibu,ayah,mba Oki,mba shindy kalau mau jaga aku kan? Please?..."

Ricis mengusap pipi Denias dengan mata berkaca-kaca. Denias tersenyum lalu menggeleng.

"Saya ga pernah janji sama keluarga mba..."

Ricis seperti ditampar oleh kenyataan. Kembali menunduk. Ya,dia harus mengingatnya. Sekarang dia bersama Mas Rama,dan bukan Denias.

"Gak bisa,mba. Saya mau wisuda bentar lagi...nanti saya suruh semua tim kamu jaga mba. Baik-baik disana...jaga hati..."

"Kan bisa dibatalkan wisudanya...?"

Ricis membantah. Tidak rela melepas Denias.

"Gak bisa,mba. Jangan egois."

Denias melepas pelukannya. Menatap kearah lain.

"Oh jadi kamu bilang aku egois?!"

"Saya hanya mengatakan apa yang dalam pikiranku,mba. Daripada harus pura-pura bilang kamu apa segala macam. Kamu masih kekanak-kekanak. Gatau juga kenapa saya mau nikah sama kamu."

Ricis kembali terdiam—lebih tepatnya harus terdiam. Melihat air muka Denias yang gelap serta lelah membuatnya berpikir harus diam saja.

"Yaudah terserah lah! Gak urus! Aku pamit!"

Ricis menghembuskan nafas kasar,menarik paksa kopernya. Denias juga sepertinya tidak berniat sama sekali mengejar Ricis. Hanya menunjukkan tatapan seolah mengatakan 'oke,fine'.

Selang beberapa waktu hanya hening melanda mereka,sama sekali tidak memerdulikan satu sama lain bahkan Denias sekarang tiduran di kasur Ricis sambil memainkan ponselnya. Tapi tiba-tiba suara Ricis menggelegar di depan pintu kamar.

"Mas Rama!"

Ricis sekarang berdiri didepan pintu sambil mengacak pinggang. Menatap tajam Denias.

"Hm?"

"Kok gak ngejar sih?!"

Denias kembali duduk,mengenggam tangannya sendiri. Menahan amarahnya.

"Yakan kamu mau pergi?"

"Tapi setidaknya ngejar kek,apa kek."

"Kan kamu bilang tadi,aku gak ada peka-pekanya. Jadi aku gak peka lah."

Ricis terdiam,Denias juga terdiam. Haduh,sudah ada masalah antara Denias dan Ricis,sekarang masalah Mas Rama dan Ricis.

"Ah terserah. Aku pamit."

Spring.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang