Ya.

444 16 12
                                    

Ria Ricis.
Terakhir diliat 00.01...

Assalamualaikum Mba Ricis.
Udah lama yah? Kita gak saling ngabarin.
Udah sibuk dengan urusan masing" hehe.
Kabarnya gimana? Baik" aja kan? Gak sakit?
Maaf gak bisa jagain sekarang...
Maaf malam" chat....
00.10
Read

Ria Ricis typing...

A' deni....
Darimana aja? Kok baru ngabarin?
Aku baik" aja a'...
00.39

Syukur Alhamdulillah...
Gimana kabar kamu?
Sama Wildan? Jadi gak? Hehe...
00.40
Read

A' deni..
Jangan gitu.....
00.40

Maaf mba...
Aku gak bisa jadi yang terbaik buat kamu.
00.40
Read

Gak a'.
Kamu udah jadi yang terbaik dalam hidupku kok.
00.40

Jangan gitu mba...
Wildan nanti baca marah loh.
00.40
Read

Aku gak peduli a'.
A',aku gak ada apa" sama Wildan.
Wildan hanya adik aku. Editor aku. Tim aku.
00.40

Dan sekarang kita udah gaada hubungan apa" lgi cis.
Kamu gak usah panjang lebar jelasin ke aku ttg hubungan kamu dan Wildan. Aku udah gaada hak untuk tau.
00.40
Read

Kita...
bisa perbaikan semuanya kan,a'?
00.45

——

"Aku gatau harus ngapain lagi.."

Denias menghela nafas panjang se panjang-panjangnya. Helaan nafas penuh ke-putus asaan. Entah apa yang akan terjadi nantinya,dia mulai berhenti mengharapkan perempuan cantik yang berdiri lima meter jauh disampingnya sekarang.

"Segitu cepatnya kamu menyerah yah,a'?"

Perempuan tersebut tersenyum kecil—oh,bukan. Bahkan terlihat seperti senyum kekecewaan. Menyerah terhadap keadaan.

Angin kembali kencang berhembusan,membuat keadaan menjadi lebih dingin dari sebelumnya.

Oh bagaimana tidak? Setelah berbulan-bulan menghilang,lost contact,tidak berkomunikasi ataupun bertemu dan sekarang muncul dengan ekspresi penuh kesedihan? Tidak,tidak. Ricis tidak menerimanya. Tidak akan mau menerimanya.

"Segitu jahatnya kamu ingkar janji sama aku,mba oky,mba shindy dan orang tua ku a'?"

Ricis tersenyum,mulai meneteskan satu persatu air matanya. Denias yang melihatnya langsung panik,mencari tisu namun Ricis menggeleng. Tidak perlu. Denias dengan salah tingkah memperbaiki letak tangannya yang seperti ingin memeluk Ricis,kembali berdiri tegak di samping Ricis. Kembali menghela nafas.

"Aku bukannya mau nyerah cis. Bukan,bukan maksudku mau ingkar janji. Tapi udah gak ada harapan lagi..."

Denias menatap Ricis,gerimis mulai turun secara perlahan,sedikit...sedikit...bertambah keras..bertambah deras...menjadi sebuah hujan.

"Wildan? Lagi?"

"Aku maunya Denias,Deni Faisal Ismail. Dan bukan dia."

Denias tertegun,menatap langit yang dihiasi hujan malam yang 'seharusnya' indah. Membuka jaketnya dengan cepat.

Denias berlari kecil menuju Ricis yang berada 5 meter disampingnya,mengusap pundak Ricis dan memakaikan-nya. Namun Ricis menepisnya.

"Gak usah—"

"Kali ini izinkan lah aku cis. Biarkanlah!"

Denias mengusap lembut pipi Ricis yang di penuhi rintisan hujan yang semakin lama semakin deras. Denias kembali menahan tangisnya.

Oh lihatlah! Tidak ada yang berubah darinya. Pipinya masih lembut seperti beberapa bulan yang lalu. Hatinya masih selembut beberapa bulan yang lalu. Kulitnya masih sehalus beberapa bulan yang lalu. Dan—cintanya masih sama besarnya seperti beberapa bulan yang lalu.

"A' deni..."

Ricis kembali menangis,lebih kencang dari sebelumnya. Tak dapat menahan sakit yang dirasakannya.

Denias berpikir cepat,tidak ada jalan lain untuk menghentikan tangisan Ricis,kecuali....

Memeluknya.

Ya,dia memeluknya. Biarkanlah,siapa marah? Wildan? Lupakan. Lupakan sejenak. Kali ini biarkanlah mereka yang menjadi tokoh utama di drama yang tak tahu kapan selesai-nya ini.

"Cis...maaf."
"Maaf...."
"Sekali lagi maaf...."

Ucap Denias,menggumamkan beribu-ribu maaf pada Ricis yang semakin lama semakin mengeratkan pelukannya. Biarkanlah! Biarkanlah sakit ini turun bersamaan dengan derasnya hujan. Biarkanlah.

"A'..."
"Kita bisa perbaikin semua-nya,kan?"

——

"Umi? Umi kok basah? Kok kehujanan? Bukannya tadi naik mobil yah?"

Rio yang belum tidur karena menunggu Ricis menatap Ricis dari atas sampai bawah. Terkejut melihat Ricis yang sangat basah.

Ricis hanya diam,wajahnya terlihat —sangat sangat—bahagia. Bibirnya menyunggingkan senyum lebar dan matanya terlihat sangat bercahaya,seperti bintang.

"Rio..."

"Ya umi?"

"Kamu...bisa kan jadi MC nanti kalau aku sama a' deni nikah?"

——

"Umi,aku kan udah bilang. Aku suka sama umi! Aku serius sama umi! Kok malah jadi sama a' deni..."

Wildan menundukkan kepalanya. Matanya berkaca-kaca.

"Harus gue bilang berapa kali,Wildan. Lo hanya adek gue. Dan a' deni lebih pertama dekat dengan gue daripada lo. Se lama-lamanya a' deni lamar gue,gue tetap akan pilih a' deni. Karena GUE CINTA SAMA A' DENI! Titik."

Ricis melempar tasnya. Sangat emosi. Ya Allah,siapa yang tidak emosi jika pagi-pagi sudah di tanya-tanya macam-macam? Oleh orang yang tidak ingin ditemui-nya lagi.

"Sudahlah!"

Rio menatap Ricis dengan tatapan seram. Astaga,Ricis jarang sekali marah,namun sekali marah? Seramnya minta ampun.

"Gue udah bilang wildan,Umi cintanya ama a' deni. Bukan lo. Jadi lo sebaiknya menyerah aja sebelum sakit sendiri."

Aryesh memberi saran,menepuk pundak Wildan lembut.

Rio mengangguk. Masih sedikit shock karena pertanyaan yang di keluarkan Ricis tadi malam. Ya,dia bahagia tentunya. Tapi dia juga shock. Pastilah shock,orang mereka sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi,tiba-tiba mau nikah?

Wow,sungguh. Kejutan Tuhan tidak kenal waktu,tempat,dan keadaan.

——🌷——

Hi!
Maaf baru muncul hmmm.
Tugas numpuk PAKE BANGET—
So baru sempat nulis sekarang,maaf.
Dan tenang,aku masih DecisTeam kok;)
Dan terimakasih yang masih tetap menunggu cerita ini❤️
I love u!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 27, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Spring.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang