Takuya tak pulang. Bahkan besoknya Arata malah melihat Ai diantar oleh kakaknya. Melihat Ai keluar dari mobil seorang laki-laki membuat beberapa gadis langsung sibuk berbisik. Arata menatap beberapa anak yang menatap Ai sambil berbisik, namun gadis itu tak ambil pusing.
Arata ingin tahu apa yang ada di dalam pikiran Ai sampai bisa secuek ini. Bahkan meski di loker sepatunya banyak sampah, Ai dengan santai memasukkan sampah itu ke dalam kantung plastik yang sudah ia bawa. Sepatunya sudah banyak bekas coretan melihatnya membuat Arata entah kenapa marah.
"Oi," panggilnya sambil menarik kerah belakang Ai. "Takuya ke rumahmu?"
Pertanyaannya sengaja ia bisikkan agar tak ada yang mendengar. Ai mengangguk, "dia tak bilang?"
Ekspresinya lagi-lagi datar. Kenapa tidak memperlihatkan ekspresi yang lembut seperti saat bersama Takuya?
"Kau baik?" Pertanyaan Arata malah membuat dirinya sendiri malu.
Ai menatap Arata kemudian terkekeh pelan. "Pertanyaan apa itu? Kau aneh, Hanada."
Hanada. Kenapa Arata kecewa ya? Iya, kenapa juga Arata bertanya keadaan secara tiba-tiba begitu. Tanpa sadar ia mengusap telinganya, kebiasaan saat gugup. Ai menangkap pergerakan itu dan tersenyum kecil. "Kau mirip Takuya kalau seperti itu. Takuya juga sering mengusap telinganya saat gugup."
Wajah Ai terlihat lebih lembut. Hari ini ia melihat ekspresi Ai yang baru. "Kalau tersenyum, kamu manis." Setelah mengatakan itu Arata berjalan menuju kelas lebih dulu.
Di tempatnya, Ai hanya tersenyum kecil. Mungkin kalau dengan Arata, mereka bisa menjadi teman.
❇❇❇
"Mau makan siang bersama?" Ajak Arata saat melihat Ai mengeluarkan kotak bekalnya. Gadis itu tampak menimang beberapa saat sebelum akhirnya mengangguk. Arata berdiri dan berjalan lebih dulu. Keduanya melangkah menuju taman di atap.
Arata memilih tempat duduk di pojok, dekat pagar pembatas. "Selamat makan." Ujar keduanya bersamaan.
Tak ada yang bicara hingga keduanya selesai makan. Ai menutup kotak bekalnya kemudian menoleh, "jadi, apa yang ingin kau tanya soal hubunganku dan Takuya?"
Arata merasa tertembak tepat di jantung. Ia mengusap telinganya, "apa terlihat jelas?"
Ai mendengus, "kau tak pernah menganggapku sebelum kita bertemu di rumahmu."
Arata jadi merasa bersalah. Padahal mereka sudah lama sekelas, tetapi Arata baru sadar bahwa Ai dirundung separah ini. "Maaf." Kata Arata akhirnya. "Maaf karena aku bersikap buruk padamu selama ini."
Ai menepuk pundak Arata, "tak masalah. Aku tak akan terluka karena hal seperti itu."
"Kau benar-benar tak akan terluka?" Tanya Arata, sangsi. Tak ada manusia yang tidak terluka.
Ai menyampirkan rambutnya ke belakang telinga. Dari jarak ini Arata bisa melihat tato di belakang telinganya. Sebelah sayap, Arata ingin bertanya namun mungkin nanti.
"Tidak ada yang bisa melukaiku." Rambutnya bergerak lembut mengikuti angin. "Aku diselamatkan oleh Takuya berkali-kali. Kami bertemu saat musim dingin, dia menolongku. Memberikan tempat tinggal, membantuku bangkit, bahkan membantuku agar bisa kembali sekolah. Banyak hal terjadi dan saat sadar aku jatuh cinta. Takuya bagiku adalah penyelamat juga cinta pertamaku."
"Kau tahu cinta pertama tak berakhir bahagia." Sahut Arata tanpa menoleh.
Ai mengangguk. Dia tahu. Bahkan meski ia tahu bahwa tak peduli sebesar apapun cinta yang ia miliki, Takuya tak akan pernah benar-benar bersamanya. "Karena itu sampai cinta pertama ini berakhir, aku ingin bersamanya."
Arata berdiri, menepuk puncak kepala Ai. "Kau sudah melalui banyak hal."
"We have deal our own battlefield."
Kalau saja keduanya bertemu lebih awal, apa bisa menjadi teman?
❇❇❇
aku tuh gak tau kenapa suka banget nama arata, takuya, sama ai wkwk
-amel