Ai menatap Arata yang malah sibuk berbicara dengan temannya. Saat rapat kelas tadi, keduanya dipilih sebagai penanggungjawab belanja. Kedua tangan Ai penuh dengan perlengkapan kelas. "Hanada! Cepat ke sini!" Teriaknya karena lelah menunggu.
Arata akhirnya pamit kepada temannya dan menghampiri Ai. "Sorry. Jadi, apalagi yang harus kita beli?"
Ai mengeluarkan daftar yang harus mereka beli. "Pembersih lantai, sapu, dan pel. Hanya itu."
Arata mengangguk dan meraih bawaan di tangan kiri Ai. "Biar aku yang bawa."
Ai tak menolak karena tangannya pun sakit. "Oh, setelah ini biar aku traktir." Arata berujar sambil melangkah masuk ke toko yang mereka tuju.
Setelah selesai akhirnya mereka kembali ke sekolah. "Kami kembali." Ujar Arata sambil menaruh kantung belanjaan mereka di atas meja guru.
Ketua kelas masih di sana. "Terima kasih. Kalian bisa pulang. Nanti biar aku dan Nanami yang merapikan."
Ai mengangguk dan meraih tasnya. "Kalau begitu aku pulang duluan."
"Hati-hati." Ujar ketua kelas.
Arata mengikuti Ai dari belakang. Dengan ringan ia meraih pundak Ai, merangkulnya. "Ayo, aku akan traktir!"
"Tak-"
"Aku tidak menerima penolakan. Ayo pergi." Ajak Arata. Ia masih merangkul Ai dan membawanya ke salah satu pusat perbelanjaan. "Di sini ada penjual crepes yang luar biasa lezat!"
Ai hanya mengangguk. Keduanya masuk ke pusat perbelanjaan dan mulai mengantri di depan toko crepes. Aromanya manis. "Aromanya saja enak 'kan?"
"Tolong satu crepes dengan es krim stroberi dan satu es krim vanila." Kata Arata kemudian menoleh ke Ai. "Tak masalah 'kan?"
Ai mengangguk, "tentu."
Keduanya hanya diam saat menunggu pesanan. Arata menghela napas, "aku lapar sekali. Setelah ini ayo pergi ke DCM."
Saat pesanan mereka tiba, Arata langsung merangkul Ai menuju restoran cepat saji. "Aku ingin double cheeseburger."
Ai hanya diam sambil memakan crepes dengan es krim vanila. "Aku baru kali ini melihat laki-laki makan es krim stroberi."
Arata menoleh, menaikkan alisnya bingung. "Kenapa? Es krim stroberi itu enak. Aku juga suka susu stroberi. Aku juga suka buah stroberi."
Ai menoleh, menatap Arata yang masih terus berbicara. "Baiklah."
"Eiy, aku serius!" Balas Arata seolah Ai tak percaya dengan perkataannya. "Stroberi itu enak dan menyegarkan. Apalagi kalau di atas parfait!"
Ah, Ai jadi ingat kalau Arata memesan ekstra stoberi di parfaitnya. "Oh, Arata! Ai!" Seruan itu datang dari Miwaki.
Tatapan mata Ai langsung tertuju pada Takuya. Dari sekian tempat dan waktu, kenapa mereka harus bertemu di sini? Terlebih dengan Takuya yang menggandeng tangan Miwaki erat.
"Kalian sedang kencan?" Tanya Miwaki, senyumnya lebar.
Ai langsung menggeleng dan menyingkirkan tangan Arata. Arata menatap gadis di sampingnya dan mendecih. "Kakak yang sedang kencan, bukan kami." Jawabnya sambil menatap Miwaki. "Kalau begitu kami pergi dulu."
Miwaki dengan cepat meraih tangan Arata, "kenapa kita tidak makan malam bersama? Sudah lama aku tidak bertemu kalian."
Ai langsung membungkuk, "maaf tapi aku harus kerja. Kalau begitu selamat malam."
Arata melepaskan tangannya dari Miwaki. "Aku pergi dulu. Aku akan mengantar Ai, maksudku Takamiya."
Setelah itu Arata berlari, mengejar Ai. Nyatanya gadis itu tak pergi ke tempat kerja dan melangkah menuju taman. Dari belakang, Arata mengenali sosok Ai. Lelaki itu mempercepat langkahnya dan menyentuh pundak Ai. Saat berbalik, Arata dapat melihat wajah Ai dengan air mata yang mengalir.
"Kau-" Arata berhenti bicara. Ia meraih kepala Ai dan memeluknya. "Tak apa. Sekarang kau aman."
Ai menangis dan kali ini di depan seseorang yang bahkan baru mengenalnya beberapa hari. "Aku bohong."
Arata tak paham, namun kemudian teringat pada pembicaraan mereka di atap. Ai masih menangis, kali ini lebih kencang. "Tak ada yang bisa melukaiku karena satu-satunya orang yang bisa melukaiku hanya Takuya."
Arata mengeratkan pelukannya pada tubuh Ai. "Aku tahu." Ujarnya. "Sekarang kamu bisa menangis. Tak masalah. Ada aku."
Air mata Ai kembali mengalir, ia mencengkram baju Arata kencang. Sakit sekali ketika melihat Takuya bersama Miwaki. Sakit sekali meski ia sudah pernah mengalaminya berkali-kali. Nyatanya masih menyakitkan meski ia mencoba terbiasa.
❇❇❇
kamu gak akan bisa terbiasa dengan luka, ai. keculi kamu pura-pura lupa
-amel