Arata hanya mengantar Ai sampai ke stasiun karena gadis itu menolak diantar sampai rumah. Namun, itu yang Ai tahu. Diam-diam Arata mengantar Ai hingga mencapai gedung apartemennya. Di halaman parkir terdapat mobil yang Arata kenal, itu milik Takuya. Saat Ai melewati mobil itu, pintunya terbuka dan Takuya keluar.
Arata tak tahu apa yang mereka katakan, namun ia tahu jika Ai menangis. Arata ingin mendekat, namun kakinya tak dapat bergerak.
"Aku tak ingin bertemu dengan Takuya." Ujar Ai, menunduk. Masih terlalu menyakitkan untuk melihat Takuya. Ketika melihat Takuya, bayangan Miwaki selalu muncul. "Pulang saja, aku ingin sendiri."
Takuya belum melepaskan genggaman tangannya pada Ai. "Aku tahu kamu terluka, itu alasan aku ada di sini. Aku ingin menemanimu."
Ai menggeleng, melepaskan tangan Takuya. "Aku baik-baik saja sendirian. Jadi, sekarang pulang saja."
Ai tak pernah menolak Takuya sebelumnya. Ego Takuya terlalu besar hingga ia meraih tubuh Ai dan memeluknya erat. Takuya takut jika ia tak melakukan sesuatu, Ai akan pergi. "Maaf. Maafkan aku."
Ai memukul dada Takuya disela tangisannya. "Pergi saja, pergi bersama Miwaki. Ai baik-baik saja sendirian. Takuya tak perlu khawatir."
Takuya menggeleng, mengeratkan pelukannya. "Tidak ada yang baik-baik saja jika sendirian. Takuya tak akan pergi."
Ai kembali menangis, "bohong. Takuya bohong."
"Tidak. Kali ini aku tak akan meninggalkan Ai." Kata Takuya.
Ai tahu jika omongan Takuya tak akan pernah menjadi nyata, namun ia tetap percaya. Mungkin malam ini akan jadi yang terakhir untuk mereka. "Takuya, setelah malam ini mari kita akhiri. Mari kembali seperti sebelum kita memulai."
Takuya menatap Ai, tak percaya. Bahkan ketika gadis itu menjauh dari pelukannya. Ai mendongak, menatap Takuya lurus. "Aku sudah memikirkannya. Takuya, baik aku dan kamu pantas bahagia. Dan cara bahagia kita hanya akan menyakiti orang lain, juga diri sendiri. Jadi, kita akhiri saja."
Jika Ai sudah bicara seperti ini, Takuya bisa apa? Keduanya terdiam cukup lama hingga Ai meraih tangan Takuya, "malam ini, tolong jangan pergi. Temani aku, kali ini untuk yang terakhir."
Dan malam itu keduanya berpelukan. Berkali-kali Takuya menyatakan cintanya dan Ai pun demikian. Malam itu rasanya percintaan mereka begitu menyakitkan. Ego Ai terus berharap agar pagi tak akan datang, namun tentu saja itu sia-sia.
"Aku mencintaimu." Takuya berbisik sambil mencium kening Ai. Ia kemudian menyentuh kening Ai untuk beberapa saat sebelum pergi. Ketika pintu tertutup, Ai kembali menangis. Meski ia sudah berkata akan melepaskan Takuya, namun sakitnya masih membekas. Menyakitkan.
Melepaskan ternyata tak semudah perkataannya. Sementara Takuya berkali-kali memukul setir mobilnya, air matanya mengalir.
❇❇❇
Arata menatap bangku di sampingnya, sudah jam pelajaran ke lima dan Ai belum datang. Lelaki itu menghela napas, saat berangkat tadi kakaknya juga belum pulang. Apa yang terjadi? Arata penasaran. Mungkin ia akan ke rumah Ai setelah pulang sekolah.
Arata menatap keluar jendela, kelas lain sedang olahraga. Lelaki itu akhirnya malah tidur hingga bel pulang berbunyi. Arata langsung merapikan barangnya dan menarik tasnya. Langkahnya cepat menyusuri koridor dan keluar dari gedung sekolah. Arata ingin cepat bertemu Ai.
Saat sampai, ia melihat Miwaki berada di depan kamar apartmen Ai. Arata tak tahu apa yang mereka bicarakan, namun ia dapat melihat Miwaki menampar pipi Ai. Lelaki itu hanya diam di tempatnya dan memilih bersembunyi saat Miwaki melewatinya. Setelah Miwaki keluar dari apartemen barulah Arata melangkah menuju kamar Ai.
Ai belum masuk ke kamarnya saat Arata tiba. Gadis itu mendongak dan bekas merah di pipinya dapat terlihat jelas. Arata berjongkok, menyentuh pipi Ai lembut. "Apa sakit?"
Ai menggeleng. "Tidak. Aku pantas mendapatkannya."
Arata mengusap bekas merah tersebut. "Tidak ada yang pantas untuk ditampar. Kalau pipimu baik-baik saja, bagaimana dengan perasaanmu?"
Ai tersenyum dan air mata yang ditahannya kembali luruh. "Sakit. Sakit sekali hingga rasanya sesak."
Arata langsung meraih kepala Ai dan memeluknya dengan satu tangan. "Menangis saja. Suatu hari lukamu akan menjadi kekuatan. Sekarang menangis saja dan nanti kamu akan lebih baik dari hari ini."
Ai tak tahu jika menangis dalam pelukan seseorang akan terasa seaman ini. Gadis itu kembali menangis. Mungkin benar kata Arata, suatu hari tangisnya dapat menjadi kekuatan untuknya. Ai akan menangis hari ini dan akan tersenyum besok.
"Syu syu syu, air mata berhenti, luka menghilang." Nyanyi Arata hingg Ai berhenti menangis. Lelaki itu menepuk kepala Ai beberapa kali dan menatap gadis di hadapannya. "Anak baik harus tersenyum manis setelah menangis."
Ai tak bisa menahan senyumnya saat mendengar ucapan aneh Arata. Gadis itu berdiri dan mengulurkan tangannya pad Arata. "Ayo, aku bantu bangun."
Arata menggaruk keningnya, bingung. "Ai, kakiku keram."
Setelah Arata mengatakan itu Ai tertawa kencang. Arata akhirnya mengaduh kesakitan dan jatuh terduduk. "Aduh-aduh, kakiku."
Ai masih tertawa sambil membantu Arata. Hari ini emosi Ai naik turun. Ia menangis, kecewa, marah, dan akhirnya tertawa lepas. Setelah Arata bisa berdiri, gadis itu memeluknya erat. "Terima kasih."
Mendengar ucapan itu membuat Arata tersenyum. "Sama-sama."
❇❇❇
Aaak
bentar lagi bentar lagi
-amel