0.1 Ngantuk

28 3 0
                                    

Alfian menghela napas gusar. Cowok itu menatap buku di pelukannya dan pintu cokelat secara bergantian, sebelum akhirnya kembali menghela napas. Hari Minggu seharusnya menjadi hari sejahtera baginya, karena hanya hari itu dia dapat menghabiskan waktu dengan membaca buku tanpa diganggu oleh siapapun. Tapi ternyata presepsinya tentang hari Minggu runtuh begitu saja. Bisa-bisanya Ibu Caramel memintanya untuk menjaga Caramel di Rumah. Dan lagi, Bundanya justru menyetujui sarang konyol tersebut. Padahal jelas kentara sekali dari wajah Alfian bahwa lelaki itu enggan. Tapi apa daya, Alfian tidak memiliki nyali untuk menolak. Jadi, ia iyakan saja.

Dan berakhirlah dia di depan pintu cokelat besar ini. Rumah Caramel memang terlalu besar, hingga membuat Alfian kewalahan hanya untuk datang kemari. Padahal mereka hanya terpisahkan oleh tiga rumah, namun halaman luas rumah Caramel lah yang membuat Alfian kelelahan. Halaman yang lebih mirip lapangan bola daripada halaman rumah, menurut Alfian.

Setelah menarik napas panjang-panjang, Alfian mengetuk pintu. Cowok itu sudah siap lahir batin untuk menghadapi kenyataan yang menyakitkan. Dan nerakanya akan dimulai dalam hitungan ...

Cklek!

"Iaaaaaaaaann!!!!" sembur Caramel begitu pintu cokelat terbuka. Cewek berambut dicepol dua itu memakai baju yang menurut Alfian sedikit kebesaran karena bagian lehernya longgar hingga ke bahu. Caramel segera menarik Alfian masuk ke dalam rumahnya, "Gue kira lo nggak bakalan dateng! Gue seneng dong!"

"Hm," Alfian menjawab sekenanya. "Gue juga nggak mau dateng."

"Jujur banget, deh," mata Caramel menyorot buku tebal bak kamus bahasa indonesia di genggaman sahabatnya itu. "Lo lagi belajar?"

Alfian mengangguk, "Buat ujian masuk Universitas."

"Ya Allah Ian, masih lama banget. Kita baru masuk semester dua."

"Waktu terus berjalan, Mel."

Caramel mengerucutkan bibirnya. "Emangnya lo mau masuk jurusan apa?"

"Matematika terapan."

"Gue up gan," Caramel mengangkat kedua tangannya, seperti pencuri yang ditodong pistol oleh polisi. "By the way, temenin gue ke Mall yuk! Gue bosen nih, Ian."

"Gue ngantuk, Mel."

"Tch, alesan," Caramel menyeret--dalam artian sebenarnya--Alfian menuju ruang ganti. Itu ruang yang dikhususkan untuk menyimpan pakaian milik Caramel karena memang pakaiannya menggunung sehingga tidak muat jika disatukan di Kamar Caramel.

Caramel membuka pintu ruang ganti, dan segera disambut dengan jejeran lemari berisi baju, celana, rok, tas, sepatu, bahkan kain. Cewek itu memaksa Alfian masuk ke dalam ruangan, dan segera mengunci pintunya.

Alfian meneguk air liurnya. Inilah mengapa ia benci berkunjung ke rumah Caramel. Cewek itu selalu saja memaksanya untuk make over.

Caramel membuka lemari pakaian yang berisi penuh dengan baju laki-laki. Itu lemari yang sengaja ia khususkan untuk Alfian. Alfian selalu menolak jika Caramel belikan baju, makanya disimpan di sini. Cewek itu segera meraih sebuah baju santai berlengan pendek berwarna putih, jaket hitam tipis, dan jeans yang sedikit robek-robek di bagian lutut. Ia segera memberikannya kepada Alfian, kemudian menunjuk sebuah ruangan lain di dalam ruang ganti. "Cepet ganti baju, atau lo nggak bakal bisa keluar dari sini seumur hidup."

"Ya Allah, apa salah hambamu ini?" Alfian melengos kesal. "Lagian kok ngasih celana robek-robek. Kurang bahan, nggak modal banget deh." Cowok itu meletakan bukunya di atas meja konsol, sebelum akhirnya memasuki ruangan yang ditunjuk Caramel untuk berganti baju.

Caramel itu tipe cewek yang keinginannya harus dituruti. Dan jika tidak bisa, maka dia akan berusaha agar kemauannya terkabul. Bagi Caramel, tidak ada yang tidak mungkin. Meski kadang keras kepala, Caramel itu sebenarnya baik hati. Buktinya, dia sampai mau repot-repot membuatkan lemari berisi baju khusus untuk Alfian. Caramel tahu, dibalik bingkai kacamata tebal milik Alfian, lelaki itu menyimpan wajah yang luar biasa tampan. Wajah yang bisa dibilang ...

"Udah nih, Mel."

Rasanya, Caramel akan mimisan saat ini juga saat melihat penampilan Alfian. Cowok dengan tampang blasteran itu tampak sedang membersihkan lensa kacamatanya, dan membiarkan Caramel terbuai dengan wajah tampan miliknya. Sesaat Alfian kembali memakai kacamatanya, dan hal itu membuat Caramel geram.

Kening Alfian terlipat begitu mendapati sahabat sejak kecilnya itu berusaha merebut kacamata miliknya. "Kenapa sih?"

"Siniin kacamata lo!"

"Gue minus, Mel."

"Gue nggak peduli!"

"Sumpah Mel, gue minus empat!"

Caramel mendengus kesal. "Yaudah pake contack lens aja!"

Alfian menggeleng histeris. "Gue nggak mau mata gue dicongkel terus diganti mata lain!"

Cewek bersurai hitam legam itu mengerjapkan matanya beberapa saat, menatap sang sahabat dengan tatapan tak percaya. "Lo dapet kesimpulan itu dari mana?"

"Dari elo!" Alfian berkilah, "Kan dulu lo pernah make. Pas lo lepas, itu mata lo dicongkel pake pinset kan?!"

Setelah otak Caramel pending untuk mencerna perkataan Alfian, cewek itu sontak terbahak. "Lo pinter-pinter bego, ya? Yang gue cabut itu lensa, bukan nyongkel bola mata. Ogah sih gue kalo bola mata gue harus dicongkel."

"Bodo amat, intinya gue nggak mau!"

"Yaudah," Caramel mengalah. "Ayo ke Mall, gue udah pesen tiket."

"Tapi Tante minta gue jaga elo di rumah ...."

"Gue udah minta izin ke Mama," perkataan Caramel membuat Alfian skakmat. "Jangan alesan deh lo. Ayo cepetan!" Cewek itu melemparkan kunci mobilnya kepada Alfian, dan langsung ditangkap dengan sigap.

"Mel, gue ngantuk. Beneran deh."

Caramel memutar bola matanya, kemudian merebut kembali kunci mobilnya dari tangan Alfian. "Yaudah, gue yang nyetir."

"Tapi ..."

"Gue nggak terima alasan!" Caramel meraih tangan Alfian, kemudian menggenggamnya erat. "Ayo kita nonton Avengar Last Game!!"

***

Alfian menatap layar di hadapannya yang mulai membesar. Lampu sudah diredupkan, menyisakan layar silau yang menyakitkan mata. Bagi Alfian, menonton bioskop sama saja membuang-buang uang. Mana mungkin puluhan orang itu rela membayar mahal demi duduk di sebuah ruangan kosong sembari menatap dinding selama berjam-jam?! Oke, mungkin ada film di sana. Tapi bagi Alfian, tetap saja itu kegiatan yang tidak berfaedah.

Kini, mata Alfian terfokus pada pertempuran manusia berkostum robot yang tengah menggenggam batu bercahaya. Menurut logika, sekembang-kembangnya teknologi, belum ada di kenyataan batu memiliki kekuatan yang bisa membunuh manusia. Apalagi manusia berkostum robot yang bisa mengeluarkan sinar laser.

Ada juga manusia dengan palu sakti. Alfian melotot, mereka kira mereka ingin membangun rumah atau apa?!

Ini benar-benar tidak dapat dicerna akal sehat.

Alfian jengah dengan film tidak masuk akal itu. Matanya perlahan menjadi berat. Caramel yang duduk di sebelahnya justru tampak bersemangat dengan film di hadapannya.

"Kok Kapten Indonesia bisa ngangkat palunya si Toro sih?!" Caramel berseru semangat. "Gila, pertarungannya epic banget!"

"Hm," mata Alfian tersisa lima watt. Lelaki itu tampak mengantuk berat. Saat mengatakan bahwa ia sedang mengantuk kepada Caramel saat di rumahnya itu bukanlah kebohongan. Dia memang mengantuk, dan sekarang rasa kantuknya tambah menjadi-jadi.

Alfian tertidur, dan tersisalah Caramel yang sedang seru berbicara sendiri.

Hingga detik di mana film berakhir, dan Caramel baru menyadari bahwa sedari tadi Alfian tertidur. Cewek itu menatap sahabatnya dengan pandangan histeris.

Dia ... bisa tertidur pulas di tengah kegaduhan seperti ini?!

Caramel menggeleng, tak habis pikir.

Di saat orang lain tertidur karena bosan membaca buku, cowok di sampingnya justru tertidur karena menonton film action.

Dasar Alfian.

***TBC***
Published 020719

Masih baru di bidang teenlit hehe. Butuh kritik dan sarannya.

Jangan lupa vote and comment ya!

Makasih.

Just Be FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang