Akhir-akhir ini, Caramel merasa diikuti.
Awalnya dia kira hanya kebetulan saja, tapi setelah hampir seminggu penuh selalu bertemu di tempat yang sama, tentu saja Caramel curiga.
"Ian, kayaknya ada stalker yang buntutin gue, deh," adu Caramel suatu saat di rumah Alfian.
Alfian menoleh, memalingkan wajah dari buku yang tengah ia baca. Cowok itu menatap sosok Caramel yang tengah rebahan di atas ranjangnya sembari menyeruput sekotak susu dingin. "Talker? Maksudnya pembicara?"
Caramel memutar bola matanya, kemudian menggeleng, "Stalker, Ian. Bukan talker. Stalker itu kayak semacam penguntit gitu."
"Oh, tinggal bilang penguntit aja perlu pake istilah aneh segala," Alfian mencibir, "Yaudah. Terus gimana?"
Caramel mengendikkan bahunya, "Nggak tau. Gue risih banget dia ngikutin gue terus. Bahkan ke Toilet juga."
Aktivitas membaca Alfian terhenti, ia lalu menaikan sebelah alisnya, menatap sang sahabat lekat-lekat. "Dia cewek?"
"Bukan, cowok."
"Kok ngikut sampe Toilet?"
"Dia nunggu di depan pintu."
"Oh, kirain ikut masuk."
Caramel melotot, "Ya enggak lah! Sampe berani ikut masuk, gue sendiri yang bakal ngebunuh dia."
Cowok itu mendelik, tak percaya dengan sifat kejam Caramel. Alfian tak habis pikir, cewek yang paling disegani dan ditaksir oleh satu sekolah mempunyai sifat sekejam itu. Mungkin jika tahu, semua orang akan menunduk patuh begitu Caramel lewat, dan mungkin saja dia akan mendapat julukan ratu sadis.
"Ian, Ian!" Entah sejak kapan Caramel sudah berdiri di jendela kamar Alfian. Cewek itu mengibas-ngibaskan tangannya, mengisyaratkan Alfian untuk mendekat.
Dengan malas, Alfian berjalan mendekati jendela dan berdiri di samping Caramel. Seketika, mata cowok itu terfokus pada sosok seseorang yang memakai hoodie berwarna hitam dan masker tengah berdiri di depan pagar rumah Alfian, memperhatikan rumah cowok itu. Seketika Alfian merasa kesal. Mungkin saja Alfian akan diam saja jika dibully, atau tidak akan pernah marah jika disakiti. Namun, ada tiga hal yang akan membuat seorang Alfian marah. Pertama, ada yang mengganggu Bundanya. Kedua, ada yang membuat Caramel menangis. Dan ketiga, ada yang mengganggu privasinya. Secara teknis si stalker Caramel itu telah melanggar yang ke tiga, dan Alfian tidak akan diam diri saja.
Alfian menutup kasar bukunya, kemudian membenarkan letak kacamatanya. "Mel, mau diselesain secara gampang atau susah?"
Caramel tampak berpikir sejenak. "Kalau susah, kasian dianya. Gue masih punya hati hingga nggak tega jika aib dia disebar semuanya sama elo." Cewek itu menyengir lebar.
Alfian itu tipe cowok yang jenius. Caramel tahu dengan pasti bahwa sejak berumur sepuluh tahun, Alfian sudah pandai meretas sesuatu. Caramel dulu sering memaksa Alfian untuk meng-hack akun gamenya agar uang di gamenya banyak. Dan pernah sekali Caramel meminta Alfian untuk meretas ponsel musuh Caramel dan menyebarkan foto aibnya.
Bukan perkara sulit bagi seorang Askara Alfian untuk mendapatkan aib seseorang. Hanya dari nomor ponsel atau nama akun medsos, tak ada satupun target Alfian lolos. Dan tentang opsi pilihan gampang atau susah, itu memiliki arti berbeda. Secara gampang maksudnya diselesaikan dengan diberikan sedikit pelajaran―yang sebenarnya tidak mudah. Dan secara susah berarti diselesaikan dengan membuka aib, atau diteror. Alfian bukanlah tipe cowok yang baik hati. Dibalik tampang culunnya itu, dia memiliki sifat tanpa belas kasih. Mungkin lebih kejam dari Caramel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Just Be Friend
Teen Fiction"Karena kita memang tidak ditakdirkan untuk bersama." Kisah tentang Caramel, si cewek yang cuek bebek dan hits abis. Meski begitu, dia tidak suka sembarangan bergaul, apalagi berteman dengan banyak orang. Satu-satunya teman laki-lakinya hanyalah Alf...