0.4 Modus

6 1 0
                                    

"Halo, Alfian!"

Alfian menengadahkan kepalanya, menyorot sang sumber suara, sebelum akhirnya kembali mengarahkan pandangannya ke buku yang ia baca. Tidak berniat menanggapi gadis yang baru saja menyapanya barang seujung kuku.

Pantang menyerah, gadis itu―Santi―menarik kursi kosong dan duduk di hadapan Alfian. Kebetulan tempat duduk Alfian berada di paling depan pojok kiri, tepat di depan meja guru. Pagi ini seharusnya jam pelajaran Fisika. Namun guru yang bersangkutan berhalangan hadir. Jadilah tersisa kelas yang berisik nan liar bagaikan rimba Sumatra. "Alfian sibuk baca apaan sih?"

Tak ada jawaban dari Alfian.

"Alfian sombong deh," Santi mengerucutkan bibirnya sok imut, mencoba merajuk. "Baca apaan sih? Aku penasaran banget~"

Alfian menghela napas gusar, menatap malas sosok Santi yang kini tersenyum sok polos. "Menurut lo?"

"Ih gitu," gadis itu meraih buku yang tengah Alfian baca, lalu melihat sampulnya. Keningnya berkerut saat melihat sampul buku yang terlihat sangat asing. "101 cara menyelesaikan perkalian dengan mudah ...?"

"Balikin."

"Alfian rajin banget deh. Boleh nggak aku―"

"Balikin." Kali ini nada suara Alfian sedikit ditekan.

Santi mendesis sebal sembari mengembalikan buku itu kepada Alfian. "Galak banget sih," cibirnya. Gadis itu memangku wajahnya menggunakan kedua telapak tangan. Menatap lurus ke arah Alfian yang kini kembali fokus membaca buku. Otaknya berputar cepat. Mencoba mencari cara untuk menarik perhatian lelaki itu barang sejenak. Sebuah bola lampu seakan bersinar di benaknya. Bibir merah gadis itu menyunggingkan senyum lebar. "Alfian!"

Yang bersangkutan berdecak kesal. "Apaan lagi?"

"Ajarin aku cara hitung perkalian yang gampang dong!"

Sebelah alis tebal Alfian dinaikkan. "Hah? Lo sakit?"

"Alfian perhatian deh, ehe ..."

Tidak. Tentu saja bukan karena perhatian. Melainkan karena Alfian sendiri tidak percaya bahwa seorang murid yang menduduki peringkat pertengahan dengan nilai yang relatif rendah memintanya mengajari pelajaran. Ah sudahlah. Mungkin ini yang namanya reinkarnasi aspek kepribadian? "Lo mau tau cara gampangnya?"

Santi mengangguk semangat. Senang karena akhirnya Alfian mau merespon. "Kalo bisa, yang lama ya!" Detik setelah mengatakan hal itu, Santi segera merutuki kebodohannya. "T-Tenang aja! Aku bukan modus kok!" tambahnya cepat.

"Modus?" Hal pertama yang muncul di benak Alfian adalah deretan soal-soal yang bersangkutan. "Modus itu ... nilai yang sering muncul, 'kan?"

Santi melongo, mengerjapkan matanya beberapa kali. Dia menggeleng cepat sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Ahaha ... forget it. Bisa kita mulai?"

Alfian mengangguk samar. "Menurut gue, untuk pemula kayak lo mungkin bisa dimulai dari perkalian dua bilangan." Lelaki itu membuka tasnya, lantas mengeluarkan tiga buku catatan yang lumayan tebal. Di sisi setiap buku terdapat pembatas buku yang berjejer rapi. Baru melihat buku-buku yang Alfian genggam, rasanya kepala Santi sudah pening saja.

Alfian membuka buku pertama, tepat di halaman pertama pula. Di sana berjejer angka-angka yang kian membuat Santi mual. Alfian menunjuk deretan angka pertama menggunakan ujung pulpen. Soal yang tertera di sana adalah 13x12. "Pertama, pencarian angka terakhir dari jawaban, yaitu dengan mengalikan angka satuannya. 3×2 sama dengan 6, simpan angka 6 sebagai akhir dari jawaban.

"Pencarian untuk angka yang di tengah, untuk itu lo harus mengalikan secara silang puluhan lawan satuannya. 1×2 ditambah 1×3 sama dengan 5, masukan angka 5 sebagai jawaban tengah.

"Pencarian angka jawaban terakhir, yaitu dengan mengalikan puluhannya. 1×1 sama dengan 1. Masukan angka satu sebagai jawaban terakhir. Jadi hasilnya sama dengan 156. Nah, gampang 'kan? Kalo lo udah ngerti, gue lanjut ke perkalian tiga bilangan."

"T-Tunggu Al ..." Santi beranjak berdiri, memegangi kepalanya yang hendak pecah. "Gu-gue mau ke Toilet dulu. Mau muntah."

"Yaudah silakan," Alfian mengangguk takzim. "Kalau lo masih mau belajar, gue bakal ajarin."

"Kayaknya nggak deh," gumam Santi, terlalu lirih. Gadis itu berjalan sempoyongan ke luar Kelas. Rasa pening di kepalanya terlalu luar biasa. Seakan kini, di atas kepalanya berterbangan angka-angka. Ah, benar. Santi mabuk angka.

"Napa lo San?" tanya Lita setelah Santi kembali dari Toilet.

Santi menatap sayu. Wajahnya begitu pucat, seakan tidak ada nyawa di raganya. "Gue ... gagal."

"Hah?"

"Gue gagal PDKT sama Alfian."

Lita melirik Alfian sekilas, lalu mengangguk-angguk mengerti. Cewek itu mengusap kepala Santi pelan. "San, sabar ya. Sebagai temen lo, hanya ada satu kata yang akan gue ucapkan."

"Apa?"

"MAMPUS! AHAHAHAHAHAHA."

Santi mendengus kasar. Menyorot sang teman dengan pandangan sebal. "Bacot!" ketusnya.

Lita menepuk-nepuk bahu Santi. "Lagian, cowok kaku macam kawat kayak gitu masih mau diembat. Nggak habis pikir gue," ujarnya disela tawa.

"Caramel aja bisa, masa gue nggak?"

"Caramel itu bintang sekolah, San. Nggak ada tandingannya sama elo."

"Cih," Santi melirik sinis sosok cowok yang tadi gagal ia dekati. "Liat aja sih. Nanti Alfian bakal ada di tangan gue."

Lita tersenyum miring. "Better luck next time."

***

Sumpah, demi chapter ini saya rela buka-buka buku bimbel saya haha.

Semoga dapat menghibur ya!

Jangan lupa vote dan komennya. Kalo nggak keberatan, kalian bisa follow saya hehe.

Im still new here.

Have a nice day~

Just Be FriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang