the invitation.

1.1K 11 0
                                    

"Kamu serius mau undang aku ke acara pernikahan kalian?"
"Serius! Gak boleh nolak! Harus datang dan harus mau! Aku maksa!"
"Kamu kayak Dimar aja suka maksa."
"Cie, inget Dimar nih? Ya waja sih mbak, aku kan berpasangan sama Theo yang notabene nya masih sedarah sama Dimar. Eh mbak, kabarnya Dimar sekarang gimana ya? Masih di Manila?"
"Gak salah kamu nanya sama aku? Aku ya gak tau apa-apa lah Naz! But, seriously? You want me to attend on your wedding? Thamrin's family? You sure about that? Because I can't."
"Aku harus bilang serius gimana lagi sih mbak? Pokoknya aku gak mau tau. I need my best friends on my big day!"
"Hmm, aku usahakan."
"Promise? Kalo gak datang, aku gak mau berkunjung lagi nanti!" aku meng-iya-kan apa yang Anaz katakan. Setelah menghabiskan dimsum yang dipesannya, Anaz pamit karena masih ada pertemuan di tempat lain. Kulepaskan celemekku saat kembali ke rumah. Dimar yang melihatku langsung menuangkan es teh yang kutebak baru saja dibuatnya.
"Kenapa manyun? Kenapa mukanya bete gitu? Ada pelanggan yang rese' lagi?"
"Gak ada."
"Terus?"
"Anaz dan Theo akan menikah."
"Ooh. Bukannya ini berita bahagia? Atau kamu kesel karena gak jadi nikah sama aku dan malah diduluin sama mereka? Ya udah, nanti kita nikahnya nebeng mereka aja. Biar hemat."
"Sembarangan kalo ngomong! Anaz itu nyuruh aku datang dan jadi pengiring pengantin."
"Terus? Yang ngebuat muka kamu sampe begitu apa?"
"Should I come?"
"Do what you want. If you want to go, just go. As simple as that."
"Dim, how about your family? Especially your father."
"You worry with my family? It doesn't matter. You come to Anaz's wedding."
"Did you come with me?"
"Of course! Where you go I will follow you."
"Theo udah tau kalo kamu udah balik?"
"Nggak ada yang tau. Cuma kamu dan Ally. Yah, palingan bentar lagi si Theo datang."
"Datang? Maksudnya? Datang ke sini?" terdengar suara langkah kaki menaiki anak tangga dengan tergesa-gesa.
"Theo?"
"Feli?" secara serentak saling menyebutkan nama.
"Sudah kubilang kan?" Dimar tersenyum dan melihat ke arah Theo. Tanpa basa basi Theo langsung melayangkan pukulan di pipi kanan Dimar. Pipinya langsung memerah.
"Theo!"
"Biar aja Fel! Satu pukulan itu belum cukup buat ngasih pelajaran sama ini anak."
"Gak mesti main kekerasan, Theo! Kalo kalian berdua mau ribut, silahkan cari tempat lain."
"Enggak kok, Fel. Ributnya gak bakal berlanjut kok. Maaf ya?" aku mengangguk dan mengambil celemekku.
"Aku ke kedai. Kalo urusan kalian udah beres, kamu bawa Theo ke sana. Kasian anak orang jauh-jauh ke sini gak dikasih makan. Mukulin kamu kan nguras tenaga." aku sengaja meninggalkan mereka berdua untuk membahas apa yang seharusnya dibahas. Kesalahpahaman, kekacauan yang telah dilakukan Dimar setelah melarikan diri. Perusahaan Pak Thamrin yang hampir bangkrut. Semua masalah Dimar menjadi tanggung jawab Theo. Aku mendengar ceritanya dari Dimar setelah Theo pamit pulang.

Siap tidak siap, aku pasti akan bertemu kembali dengan Pak Thamrin beserta keluarga besar Thamrin. Malam ini seperti biasanya, kuhidupkan lilin aroma terapi berbau lavender untuk membuatku lebih rileks. 
"I'm ready."

the difference between us [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang