Maaf untuk Mama

104 9 6
                                    

"Assalamualaikum."

Suara bariton itu membuatku seketika melonjak dari ranjang. Menyedot atensiku untuk segera menemuinya. Sepertinya Bunda Sofia sudah mempersilakannya masuk, karena ucapan salamnya hanya terdengar sekali.

Seperti biasa, aku mengintip malu-malu dari balik gorden kala ia tiba. Walau akhirnya dia tetap dapat melihat sebelah kakiku, karena gorden panjangnya hanya satu jengkal lebih tinggi dari lantai.

"Nah, ketemu!" serunya riang seraya menyingkap gorden dan mendapati pipiku bersemu merah.

"Ish, Bang Angga. Memang siapa yang mau main petak umpet?" tanyaku jengah. Bunda Sofia tersenyum simpul melihat kami berkelakar.

"Kamu lah. Mau ketemu Abang ganteng malah nempel di gorden seperti cicak." Kutinju lengan kokohnya. Jurus terakhir kalau aku kehabisan kalimat atas candaannya.

Beruntung, di depan mereka aku tak perlu menjadi kura-kura pemalu yang sembunyi di balik tempurung. Berjalan terseok dan lambat saat ada ancaman mendekat.

Ya. Kuanggap manusia di sekitar yang menatapku jijik adalah ancaman. Namun yang paling kubenci sebenarnya adalah tatapan kasihan.

Kalian tidak perlu belebihan. Beberapa jariku memang tumbuh tak utuh. Kedua jari manis hanya tumbuh satu ruas. Kedua kelingking malah tidak sampai satu ruas. Jari tengah kiri dua ruas, kanan lengkap.

Jemari kakiku yang dihitung normal hanyalah ibu jari. Lainnya nyaris buntung. Telapak kaki kiri tak ada. Iya, tak ada. Kalian tak salah membaca. Namun aku masih bisa berjalan tanpa tongkat. Meski sedikit pincang.

Dan kalian tak perlu khawatir aku akan menabrakmu hanya karena mataku buta sebelah kiri. Sudah kucoba membukanya, tapi tetap tak bisa. Jika melihatku sekilas mungkin kalian akan mengira aku sedang mengerling. Baiklah, coba beri aku alasan masuk akal, kenapa ada orang mengerling dengan sebelah mata 20 menit tanpa jeda?

Aku pernah menanyakan perihal kecacatan fisikku ini pada Bunda Sofia. Beliau tak memberi jawaban dari pertanyaanku. Hanya segenang oasis melegakan agar aku tidak terus bertanya siapa dan mengapa.

"Bunda, kenapa aku berbeda?" tanyaku waktu itu. Bunda Sofia tak langsung menjawab. Memperbaiki posisi duduknya sesekali menghirup napas dalam.

"Ayu, kamu adalah anugerah untuk yayasan ini. Kelak kamu akan mengerti siapa orang tua kandungmu dan mengapa mereka menitipkanmu di sini. Satu pesan Bunda, hormati mereka seakan mereka yang merawatmu sejak kecil. Mereka pasti punya alasan," titahnya seraya mengusap puncak kepalaku.

Hati kecilku berontak waktu itu. Wajar jika pikiran anak berumur tiga belas tahun disesaki oleh seonggok pertanyaan tentang jati diri. Di saat banyak anak cacat lain dicurahi kasih sayang penuh oleh orang tuanya. Berbeda denganku yang merasa dadaku justru ditanami bom waktu oleh orang tua yang tak pernah kutahu.

Kini usiaku beranjak tujuh belas tahun. Namun berdamai dengan keadaan bukanlah keahlianku. Ingin sekali aku mencari satu lembaran hidup yang hilang tentang identitas orang tuaku, untuk kujilid bersama buku kehidupan yang coretannya mulai menjamah halaman tengah. Meski nyatanya perasaan sesak itu hadir tatkala menyadari bahwa akulah sebenarnya lembaran yang terbuang.

Lembaran yang sengaja disobek, diremas dan dibuang ke tempat daur ulang kertas. Tidak. Aku tidak akan menyebut asrama yayasan sebagai tong sampah. Terlalu indah. Umi Sofia dan mata teduhnya, serta teman-teman yang menemaniku menjejaki relung waktu, mereka adalah energi.

Omong-omong, orang tuaku pernah menilik kembali bekas sobekan lembaran tentangku tidak, ya?

"Ayu? Kok diam? Pasti melamun lagi." Bang Angga mendapati aku terdiam dengan tatapan menerawang ke udara.

A Pinch of Moral ValueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang