Seharusnya Kau yang Mati, Papa!

0 0 0
                                    

Pernahkah kau berada dalam posisi di antaranya, tapi tidak mendapat apa-apa kecuali penolakan oleh keduanya?

•••

"Anka perlu perhatian khusus, Ma. Kemarin dia gunting rambut adiknya sampai botak sebelah. Hari ini dia nyebarin jangkrik di toilet putri sekolahnya sampai para siswi jejeritan. Besok apa lagi? Kalau malu dan kesal itu dibayar, mungkin aku sudah jadi miliarder."

Papa menyemburkan napas kasar setelah menepuk amplop panjang berlogo sekolahku di atas meja. Surat panggilan orang tua. Ia menelengkan kepala ke arahku, membuatku menunduk semakin dalam. Uti terlihat tidak terganggu dengan ocehan Papa barusan. Masih asyik dengan rajutan tas setengah jadinya yang dikerjakan sejak pagi tadi.

Mulai besok aku di-skors ... lagi, karena membuat kegaduhan di toilet putri. Apa yang aneh? Itu seperti ucapan selamat datang dan aku sebagai kakak kelas wajib memberikannya. Tapi reaksi yang terjadi sungguh di luar dugaanku. Para siswi baru kelas 10 yang akan berganti kaus olah raga jejeritan tak karuan, bahkan ada yang sampai keluar toilet hanya mengenakan singlet. Lalu menabrak Mak Cik penjaga kantin yang sedang membawa sepanci kuah seblak panas.

Lalu, voilá! Lengan siswi yang agak centil dengan rambut kuncir dua itu segera memerah karena tumpahan kuah seblak yang memang berwarna merah. Mungkin langsung melepuh kalau tidak segera diolesi minyak tawon yang baunya apek itu. Seharusnya mereka yang malu, bukan Papa. Memang kadang orang dewasa suka membesar-besarkan masalah.

Dan soal rambut Leandra yang kugunting sampai botak sebelah itu, ah namanya juga bocah TK. Wajar saja kalau makan permen karet belepotan sampai kepala. Istri papa yang baru hanya melongo antara takjub atau tak percaya. Kalau bukan aku yang menggunting, toh barber akan memotongnya juga. Memang kalau permen karet menggumpal di rambut bisa kembali seperti semula?

"Ma, aku bicara serius." Papa beranjak menghampiri Uti. Hanya dibalas dengan dehaman kecil hingga leher Uti yang menggelambir itu sedikit bergetar.

"Anka tinggal di sini saja biar ada yang mengurus. Jenina tidak sanggup lagi melihat tingkah polah Anka yang selalu bikin Leandra nangis."

Istri baru papa namanya Jenina? Oh iya kami dulu tidak kenalan. Dia centil, cerewet dan tidak ada hormat-hormatnya sama Mama. Jadi aku juga tidak perlu terlalu hormat padanya.

"Sudah coba hubungi Kamila?" Uti menyahut. Papa hanya melirik sekilas pada Uti yang menatapnya dalam, lalu membuang pandangan ke langit-langit ruang tamu.

"Kalian ini bikin anak berdua, tapi merawatnya lempar-lemparan seperti main pingpong." Uti mendesah panjang.

Aku sudah kelas sebelas SMA. Sedikit-sedikit mengerti yang dimaksud Uti 'bikin anak' itu apa. Beberapa teman sekelas yang sudah mendapat fasilitas ponsel android sering menunjukkannya padaku. Tidak usah kujelaskan isinya apa, pokoknya kami akan dihukum kalau sampai ketahuan menonton meski itu di belakang kantin di luar jam sekolah. Dan bisa dipastikan kalau aku jadi tinggal di rumah Uti, aku akan lebih sering menontonnya, dengan mengajak temanku main ke sini. Uti bakal sangat senang karena aku dapat teman main. Padahal kami lagi nobar.

Pembicaraan Papa dan Uti terhenti pada bagian di mana nama Mama disebut. Aku ingat sekali apa yang bikin Papa sampai memecah pintu kaca depan dengan kedua kepalan tangannya.

Mama pulang, dini hari, bau alkohol, dan membawa laki-laki. Menurutku itu bau alkohol yang seperti untuk kompres luka. Kurang tahu juga. Mencium sebentar aku sudah pusing. Tidak lucu kalau pingsan di kolong meja dan ketahuan mengintip mereka.

Omong-omong, laki-laki yang sering dibawa Mama lebih sopan, kok. Tidak menghina Papa seperti Jenina menghina Mama. Cenderung ramah padaku, dan sering mengajakku main basket di halaman belakang rumah Mama.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 09, 2021 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

A Pinch of Moral ValueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang