Humaniora Rumah Tangga

2 1 0
                                    

Suara ketukan yang membangunkanku dari belantara mimpi, kini terdengar seperti gedoran. Nyaris membuat telinga pekak. Malas, aku beranjak bangun dengan mata setengah terpejam. Kulihat bayangannya dari tempatku berdiri, hitam tinggi menjulang di balik jendela. Membelakangi sinar lampu. Hawa kemarahannya sudah mulai terasa. Tinggal menunggunya masuk dan memilih barang apa yang akan dibanting malam ini.

Dan benar saja, ketika masuk serta merta diayunkannya satu per satu kaki jenjang itu ke udara hingga sepasang sepatu safety-nya terlepas bergantian. Salah satunya mengenai lututku.

"Aauw! Kamu sengaja ya? Kalau mau jadi preman, sana ke terminal!" sergahku menggebu. Kuusap lutut kiriku perlahan, meredakan linu yang mulai menjalar.

"Diam kamu! Salah sendiri bukain pintu lama bener! Kamu jalan apa ngesot?" sahutnya ketus seraya membuang muka. Kalau bukan suamiku, sudah kulempar sepatu seberat 600 gram ini ke punggungnya.

"Kamu nggak bisa bicara lembut sama istri!?" Lengkingan kesalku menggema di ruang tamu.

"Lah kamu nggak bisa bicara sopan sama suami?" Kali ini ia berlalu setelah melepas jaket dan meletakkannya sembarangan di atas punggung kursi. Kuhela napas pendek-pendek dengan hidung kembang-kempis. Otot wajahku mulai menegang. Sabar, jangan marah dulu!

Kuikuti punggungnya hingga ke ruang makan, lalu menghilang di kelokan kamar. Melihatnya melewatkan masakan yang sudah kusiapkan di atas meja, tensiku naik lagi. Ditambah langsung rebahan di kasur dengan kemeja  penuh keringat dan kaus kaki bau berceceran di lantai. Setan dalam dadaku sudah bergerak-gerak ingin keluar.

"Makan dulu sana! Habis itu silakan tidur!" Aku meraih botol minyak gosok di atas bufet, berniat menggosok lenganku yang berdenyut nyeri.

"Kamu nggak lihat ini jam berapa?" Suaranya seperti gumaman karena tertahan bantal.

Tidak. Aku tidak lupa kalau saban malam minggu ia pergi ngopi bersama kawan bujangnya, lalu mampir ke rumah ibunya untuk menumpang makan, dan baru tiba di petak kontrakan kami pukul tiga dini hari. Kadang lebih. Aku sudah terlalu capai bertanya ke mana dia menghabiskan malamnya. Sabtu kemarin kulihat pembaruan status Facebook-nya sedang di pemandian air panas lereng gunung. Sabtu kemarinnya lagi teman kerjaku mendapatinya di warung kopi dekat tempat balapan liar. Sabtu depan jika terjadi, aku tak peduli walau ia akan nongkrong di tempat karaoke. Hidupnya jadi acak-acakan setelah gagal ikut audisi ajang pencarian bakat menyanyi.

"Bilang saja kamu sudah makan di rumah ibumu. Tahu begini aku nggak usah payah-payah masak. Kamu kan tahu aku kerja 12 jam. Masih menyempatkan diri masak buat kamu. Tapi selalu begini. Kamu cicipi aja enggak," omelku seraya menghempaskan pantat ke tepian kasur.

"Rahma, aku bosan. Kamu mendingan belajar masak dulu! Kemarin masak sop rasanya kayak air rendaman cucian. Goreng tempe gosong persis pantat kuali. Gimana aku nggak bolak-balik pulang buat makan di rumah ibu?!"

Aku mencebik. Menatap semangkuk sayur sop dan tempe goreng di meja. Tadi sudah kucicipi hingga empat kali, hingga aku bisa memastikan rasanya tidak getir karena terlalu banyak bawang putih. Pun dengan tempe, aku menggorengnya tidak sambil berselancar di Facebook. Warnanya kuning kecoklatan. Setidaknya tidak gosong lagi.

Kenapa dia harus bosan dengan sayur sop dan tempe goreng? Bukankah uang belanja darinya hanya cukup untuk itu? Tidak ingatkah bahwa gajiku sebagai sales marketing hanya cukup untuk cicilan sepeda motor dan kontrakan bulanan? Sedangkan dia cuma penyanyi kafe yang tampil sekali dalam sepekan?

•••

Kaus seragam dengan garis hijau sudah kukenakan seperti biasanya. Rambut sebahu kugerai setelah mengeriting ujungnya dengan catokan. Kukalungkan ID Card di leher, lalu menyambar tas di meja untuk segera berangkat. Mas Fery sudah mengenakan jaket dan memanaskan sepeda motornya. Tumben dia mengerti tugasnya tanpa diingatkan. Biasanya aku harus mengomel pagi-pagi dia kelamaan mandi dan membuatku telat berangkat kerja. Kukunci pintu lalu segera menghampirinya.

A Pinch of Moral ValueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang