BALLERINA

15 2 0
                                    

"Selamat, Salsa. Kamu terpilih untuk mewakili sekolah ini," Miss Anna menjabat tangan Salsa dengan lembut, dan aku dapat mendengar ucapan selamat itu dari sini.

"Wakil apa ya, Miss?" Salsa masih belum mengerti.

"Kamu mewakili sekolah ini di Kompetisi Balet antar Sekolah Seni se-Indonesia," jawab Miss Anna dengan mata berbinar. Jadi itu alasan kenapa Salsa dipanggil ke ruang Miss Anna setelah latihan. Aku seperti orang bodoh mencuri dengar dari balik pintu.

Hatiku berontak tak terima. Baru dua bulan anak itu pindah ke sekolah ini tapi sudah bisa mencuri hati Miss Anna.

Padahal sebelumnya akulah anak emas di kelas tari. Dan sejak itu pelatih kami, Miss Anna seolah terpesona melihat bakat Salsa.

Ia memang menguasai beberapa jenis tari, tapi untuk Balet ia tak lebih mahir dariku.

"Tapi, Miss, bagaimana dengan Willy?"

Kenapa ia jadi membawa-bawa namaku? Sudah merasa menang lalu ingin membuatku semakin terlihat kalah dimata Miss Anna?

"Ini sudah menjadi keputusan saya. Yang terpilih kamu, Salsa. Bukan Willy Berlatihlah dengan keras!" senyum terulas dari bibir Miss Anna.

Aku semakin kacau. Sudah dua tahun aku menimba ilmu di sekolah seni untuk mengasah bakatku menari. Orang tuaku yang tidak seberapa kaya bersusah payah mencari uang untuk membiayai pendidikanku yang tidak murah, membelikanku kostum dan membayar uang lomba sejak aku pertama masuk. Kini kompetisi menari paling bergengsi seantero Sekolah Seni akan digelar, dan Miss Anna memilih Salsa sebagai wakilnya.

Salsa anak orang kaya. Papa dan Mamanya sanggup membayar beberapa pelatih pribadi untuk melatihnya menari di rumah. Ia tak perlu bekerja paruh waktu di kedai waralaba untuk meringankan biaya sekolah sepertiku. Mobil mewah mengantar-jemputnya sekolah tiap hari. Berbeda denganku yang saban hari harus naik metromini. Kenapa Tuhan sungguh tidak adil?

💃💃💃

Aku terduduk lesu di tepi studio tari. Menatap bayanganku sendiri di cermin yang bersebrangan. Kompetisi yang tinggal seminggu lagi semakin menambah kalut pikiranku. Salsa menghampiriku, duduk dan melepas sepatu baletnya di hadapanku.

"Hai, Willy!" sapanya ramah.

"Kamu kenapa deketin aku? Kamu belum puas mempengaruhi seisi kelas tari?" jawabku ketus. Raut mukanya seketika berubah.

"Maksud kamu apa, Willy?" anak itu berlagak seperti tidak bersalah. Aku semakin jijik.

"Kamu pengin buat semua orang kagum sama kamu. Kamu sok kaya dan sok hebat, bisa beliin mereka sepatu balet mahal seperti punyamu. Kamu terlalu nempel ke Miss Anna. Jangan-jangan kamu juga nyogok biar dipilih ikut kompetisi, kan?"

Segera aku berdiri dan mengeluarkan sepasang sepatu balet berwarna rose gold yang tempo hari Salsa berikan untukku.  Mungkin itu semacam selebrasi untuk merayakan keberhasilannya menguasai kelas tari. Kuletakkan benda itu dengan kasar di hadapannya.

"Aku nggak butuh pemberianmu. Sepatu jelek yang kubeli dengan keringatku jauh lebih baik."

Aku tidak akan pernah ingin beramah-tamah dengan anak itu lagi. Cukup sudah dia merebut kebahagiaanku di sekolah, mengambil kesempatanku dan membuatku tersisih.

Kakiku baru menapaki turunan anak tangga yang pertama ketika ide gila itu muncul. Sebentar lagi Salsa juga akan pulang lewat sini karena ini anak tangga paling dekat dengan studio.

Kukeluarkan sebotol body lotion dari tasku setelah memastikan tidak ada orang yang melihatku disini. Jika kutumpahkan di anak tangga kedua tidak akan kelihatan karena tertutup bayangan anak tangga paling atas. Cairannya yang kental berwarna hampir sama dengan warna keramik.

"Salsa, kamu harus hati-hati dengan kakimu!" gumamku sambil menumpahkan sebagian isinya.

Kupastikan anak itu masih ada di dalam studio sebelum bergegas pergi. Kutapaki anak tangga dengan hati-hati, takut jebakanku mencelakai diriku sendiri.
Aku baru sampai di depan pagar ketika kudengar teriakan disusul suara benda jatuh dengan keras dari arah tangga studio. Satpam dan penjaga sekolah segera menghampiri arah suara. Beberapa murid mengikuti.

Kebetulan sebuah metromini melintas, aku langsung menaikinya. Sepanjang jalan terus kuyakinkan diriku sendiri bahwa aku tidak jahat. Aku hanya merebut kembali apa yang seharusnya menjadi milikku. Pasti besok Miss Anna akan kebingungan karena ujung tombaknya sedang cedera. Tak ada pilihan lain selain menunjukku sebagai pengganti.
Sia-sia saja mengharap keadilan dari Tuhan, aku ciptakan keadilanku sendiri.

Tuhan lebih suka aku bertindak gila daripada membiarkan orang biasa sepertiku berbagi dengan Salsa sebagian kecil dari kemuliaan-Nya. Dia memberiku hasrat untuk mengasah bakat, tapi hanya mengizinkanku mengenali penjelmaan sempurna dari bakat itu.

💃💃💃

Rekaman CCTV yang diputar di ruangan Miss Anna membuatku tercekat. Rupanya beliau ingin aku memberi kesaksian gambar diriku yang sedang menumpahkan cairan lotion di tangga sebelum Salsa terpeleset jatuh. Namun otak dan bibirku tak bisa mengelak.

"Saya kecewa sama kamu, Willy," ujar Miss Anna singkat.

Beliau menyodorkan sebuah amplop putih besar kepadaku, dengan logo sekolah ini tercetak di bagian depan. Kubuka perlahan. Kristal bening bergulir dari ujung mataku melihat tulisan yang tertera.
WILLY ANASTASHA RESMI DIKELUARKAN DARI SEKOLAH SENI STRADIVARIUS.

A Pinch of Moral ValueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang