Usiamu baru menginjak tujuh belas tahun waktu itu. Darah mudamu seolah sedang menggelegak penuh gejolak nafsu. Nuranimu seakan dibuat buta oleh cinta.
Mungkin dalam benakmu cinta tak pernah salah, tetapi orangnya. Namun, ternyata norma kesusilaan kau tampik juga. Hingga terkesan kau ikut membenarkan bahwa barang curian terasa lebih nikmat.
Kau menyaksikan sendiri bahwa lima tahun lalu, pria itu mengucap ijab kabul untuk mempersunting saudarimu. Kau bahkan ikut bersorak riang saat dokter menyatakan bahwa ia telah menanamkan zuriatnya di rahim saudarimu. Pasangan itu akan segera dikaruniai momongan. Namun, sepertinya itu tak membuatmu urung.
Cantik memang. Setidaknya itu kata saudarimu, orang tuamu, kawan-kawanmu, juga puluhan lelaki yang mengagumi pesonamu. Pipi ranum dan bibir merekah dibingkai wajah oval. Matamu bulat, membuat siapa pun yang memandang terpikat. Dan lagi, rambut hitam legam yang kontras dengan kulitmu yang putih langsat. Saudarimu tidak ada apa-apanya.
Beberapa pekan berikutnya, kau mulai bermain api. Awalnya hanya seperti remaja memantik percikan suka. Tak puas, layaknya wanita dewasa yang dibuai asmara, kau berani meniupnya hingga kini menjadi kobaran gairah.
Dengan lancang kau goda dia saat saudarimu tak ada. Kau belai cuping telinga pria itu dengan cumbu rayu. Kau datangi dia dengan rengekan manja haus kasih sayang. Sesekali kau sibakkan rambut hingga tertumbuk pandangan ceruk lehermu yang beraroma vanila. Dengan pakaian tak pantas yang berleher rendah, kau tak ubahnya sundal yang sedang membangkitkan berahi hidung belangnya.
Tidak! Nyatanya kau lebih rendah. Bahkan sundal punya harga.
Bukan setan namanya jikalau hadir tanpa hasutan. Kau terus melakukan siasat untuk menciptakan kelenaan. Bertingkah seperti putri kecantikan yang mengalahkan saingannya. Memamerkan fisik lebih indah dari apa yang saudarimu punya.
Hingga saat kesempatan yang sudah kaupersiapkan itu tiba. Manusia tetaplah manusia. Makhluk lemah penuh dosa. Terus menerus dicecar godaan yang memanjakan mata, iman iparmu sepeti habis terkikis hawa nafsu. Kalian berdua, terjerembap dalam kelamnya dosa. Kalian berdua, laksana gula dan kopi yang minta dilarutkan dalam gelegak air mendidih.
Rumah orang tua yang menjadi saksi kedurjanaan perbuatan kalian seolah pongah tertawa, beserta setan-setan penghasutnya. Mereka yang terbaring dibawah pusara, tentu menangis menyaksikan ulah putri bungsu dan menantunya.
Lalu sejenak kau mengangkat dagu seolah bangga telah menjadi nomor dua dengan prioritas utama. Cinta kasih dan perhatian kau curi dari mereka. Seorang wanita yang tak lain terikat hubungan darah denganmu. Kemudian kau meminta lebih. Seperti wanita tak tahu diri lainnya, kau terus berusaha supaya agama mengakuimu sebagai istri pria tegap yang kehilangan sikap itu.
Ia mengiyakan. Dengan segala cara.
Seorang yang mengaku ahli agama mengajukan diri, pura-pura menjadi wali. Lembaran rupiah darimu membungkam mulutnya. Lalu, kau dan pria itu bersatu di belakang punggung saudarimu. Entah hubungan itu kalian hukumi apa.
Dua belas Senin berlalu. Bangkai yang ingin kalian sembunyikan dalam sepetak kontrakan di pinggir kota, mulai menguarkan baunya. Tercium hingga ke rumah orang tua. Kau masih terlena dalam kemenanganmu yang semu. Bertingkah seolah hidupmu telah normal dan bahagia, hingga suatu ketika kobaran gairahmu terpaksa harus padam.
Rembulan berangsur lesap di tepian kaki horison. Kehidupan membuka episode baru seiring kokok ayam dan dentuman lesung bertalu-talu. Burung pipit beterbangan ke luar sarang, menagih janji Tuhan atas rezeki setiap makhluknya.
Tibalah saat wanita yang dinistai telinganya tergelitik desas-desus tetangga. Mendengar rentetan gosip murahan tentang suami dan saudarinya. Bersama angin subuh, ia ketuk pintu rumah kecilmu dengan wajah kuyu, seolah masih dengan harapan bahwa prasangkanya keliru.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pinch of Moral Value
Fiksi UmumSekadar menceritakan pelajaran hidup yang tidak sempat sekolah ajarkan. Karena belajar adalah proses seumur hidup. Tanpa mengenal tempat dan waktu. Buku ini berisi kumpulan cerita pendek dengan bumbu nilai moral yang akan menggugah nurani.