Asa yang Terpendam Pusara

15 2 0
                                    

Based on true story

#event_cermin_sayap_sayap_mimpi

Judul : Asa Berpendar dari Pusara

Penulis : Itsaiiu

"Dasar anak durhaka! Kamu lebih memilih Lukman daripada ibumu!" hardik seorang janda tua kepada anak perempuannya.

Sari tidak membantah, tidak juga mengiyakan. Ia masih pada posisinya, terseok di ruang tamu rumah berlantaikan tanah. Tangisnya pecah, gemuruh di dadanya membuncah.

Baginya, ibu dan suami bukanlah pilihan yang salah satunya harus disisihkan. Namun persoalannya menjadi berbeda ketika yang dipertaruhkan adalah keyakinan.

"Saya tidak bermaksud melawan, Bu."

"Apa kamu diajari berbohong oleh suamimu? Katamu dulu masuk agama Lukman hanya untuk mengelabui dan mengajaknya menganut keyakinan kita. Kenapa sekarang kamu berbalik mengikuti Lukman?" cerca wanita itu masih dengan nada tinggi seolah tak peduli pada tetangga yang menguping di kanan-kiri.

"Mas Lukman mengajari saya sholat dan mengaji, Bu. Saya menemukan kedamaian dalam agama saya sekarang."

"Mulai detik ini aku bukan ibumu! Susul Lukman dan pergilah sesuka hati kalian. Aku takkan membiarkan rumahku diinjak oleh penghianat."

🌺

"Maaf ya, Dik. Aku belum bisa membahagiakan kamu dan Putri," ujar Lukman lembut sembari mengelus puncak kepala istrinya.

"Bisa sholat satu shaf di belakangmu aku sudah bahagia, Mas. Aku tidak ingin mati dalam kebutaan, tidak tahu yang kusembah selama ini apa. Pun nanti di alam kubur menjadi gagu ketika malaikat bertanya 'Siapa Rasulmu?'. Bagaimana nasibku setelah mati kalau sekarang aku tidak mengenal Islam? Keluargaku berdoa di depan bunga dan bakaran dupa. Yang lebih aneh, jika Ibu pulang dari perkumpulan selalu membawa makanan yang katanya dari sesepuh," Sari menuturkan. Putri, gadis kecil mereka duduk di pangkuan, menimang boneka mainan.

"Kita doakan saja supaya ibu cepat diberi hidayah," Lukman menimpali.

"Aamiin. Aku titip Putri, Mas. Rawat dia baik-baik. Tanamkan ajaran agama yang kuat agar nanti bisa menjadi penolong kita di akhirat."

"Kamu ini ngomong apa, Dik? Kita besarkan Putri sama-sama. Kita yang akan mengantarnya sekolah di madrasah nanti."

Lukman melihat cairan kental berwarna merah pekat mengalir perlahan dari lubang hidung istrinya. Detik berikutnya Sari limbung, pandangannya kosong. Lukman panik. Ia baru beranjak meraih lengan Sari saat tubuh ringkih itu ambruk ke belakang. Putri yang sedang dalam pangkuan ikut terjengkang.

Paru-paru basah telah menggerogoti  kesehatan Sari semenjak Putri belum lahir. Sari harus memisahkan peralatan makan dan pakaiannya sendiri agar penyakit itu tidak menjangkit Lukman dan Putri. Begitu kejam rodan mendera, dan mungkin inilah puncaknya. Setelah tiga tahun merasakan perihnya batuk berdarah, hangatnya darah segar mengaliri hidung serta sesak yang tak mungkin dapat diredakan oleh obat warung, Tuhan berkehendak bahwa penderitaannya cukup sampai di sini.

Lukman membaringkan Sari ke tempat tidur. Ia lantas bergegas pergi ke rumah juragannya bermaksud menjual sepeda onthel tua miliknya.

Juragan yang murah hati pasti akan iba membayangkan Putri kebingungan melihat ibunya tidur dengan napas tersengal sementara Lukman kesana kemari mencari talangan. Namun kadang keadaan berjalan berlainan arah dengan keinginan. Sang juragan sedang tidak di rumah sehingga Lukman harus lebih memutar otak.

Sementara itu Putri yang sedang bermain di bawah meja tercengang menyaksikan lelaki bertubuh tinggi besar mendobrak pintu kontrakan ayahnya dengan seorang wanita tua mengekori. Wanita tua yang harusnya ia panggil nenek itu tak sedikitpun melempar pandangan ke arahnya.

Lelaki itu membopong tubuh ringkih Sari menuju sebuah becak yang terparkir di depan rumah. Ketiganya berlalu entah kemana tanpa kata, meninggalkan seorang bocah kecil sendirian di bawah meja.

Lukman melihat pintu kontrakannya terbuka. 'Ada tetangga yang menengok Sari,' pikirnya. Namun tak ada suara. Ditepisnya keraguan itu dengan memanggil Sari, berharap istrinya masih kuat bicara.

"Dik, bertahanlah. Mari kita pergi ke rumah sakit!" Tak ada sahutan.

Petak yang hanya seluas 4x5 m² itu belum layak disebut rumah. Mengedarkan pandang ke sekeliling cukup memberi jawaban bahwa Sari tidak ada di tempat tidurnya. Di sudut mata terlihat Putri sedang asyik bermain di bawah meja. Dihampirinya bocah kecil itu.

"Nak, kenapa main disini?"

"Panas, Pak. Payungan."

"Ibu di mana?"

"Di lemali," ujar Putri polos.

Lukman semakin bingung mendengar anaknya bicara melantur. Tiba-tiba sebuah petunjuk berkelebat dalam pikirannya. Ia harus ke rumah sakit tempatnya pertama kali bertemu dengan Sari. Namun semua terlambat. Setibanya di rumah sakit mertuanya sedang meronta tak keruan di dalam ruang UGD. Sari sudah terbujur kaku, kulitnya memucat. Lukman teringat ucapan Putri.

Ia tak tahu bagaimana firasat dan logika berkelindan dalam pikiran bocah berumur dua tahun sehingga bocah mungil itu berimajinasi bahwa ibunya akan dibaringkan dalam peti mati yang disebutnya lemari. Adakah mungkin sesosok malaikat membisikkan pesan kepadanya untuk disampaikan kepada sang Ayah yang terlambat menjemput Ibu karena tertangguh oleh waktu?

Sari telah berpulang. Akhir hayatnya sebagai muallaf digenggam oleh malaikat, diterbangkan ke langit untuk disampaikan kepada Pemilik Semesta. Terlepas dari dengan syariat apa ia dimakamkan, asanya tetap berpendar dari dalam pusara.

Sekian

A Pinch of Moral ValueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang