#Arti_Kebebasan
Jabatan Tertinggi
Oleh : ItsaiiuKupandangi lamat-lamat sepeda yang terparkir di bahu jalan. Sepeda bekas yang kubeli di pasar loak kendaraan seminggu yang lalu. Hampir seluruh bagian besinya sudah karatan. Membentuk corak seperti bulu macan.
Kedua rodanya dilingkari oleh ban kempes yang teramat tipis. Tidak terlihat alurnya lagi. Keranjangnya sudah bolong di sana-sini. Sadel berbahan spons yang dibalut kulit sintetis itu pun separuh bagiannya koyak. Kadang aku mencubit-cubit spons yang menyembul itu untuk menghilangkan bosan.
Mentari mulai meninggi, merangkak naik dari kaki horison. Namun, setumpuk koran yang kuikat di atas boncengan baru laku tiga. Berapalah untungnya? Hanya cukup untuk dibelikan es teh dibungkus plastik sebagai penghilang dahaga.
Beberapa pengemudi melongokkan kepala dari jendela roda empatnya. Mungkin maksud mereka hendak membeli. Namun, urung. Karena melihat penjualnya masih muda sepertiku. Berkali-kali begitu. Mereka beralih pada penjual koran, majalah, dan kalender yang lain di emperan toko. Tentu saja mencari yang lebih tua. Kasihan. Mungkin begitu pikir mereka.
Kuseka peluh di pelipis. Tak apa. Setiap langkah kakiku keluar rumah dengan niat ikhlas mencari rezeki, tentu akan dimudahkan oleh Sang Khalik. Buktinya masih ada juragan yang mempercayakan dagangannya untuk kubawa, meski tanpa jaminan.
Setidaknya aku telah terbebas dari pekerjaan lamaku. Pekerjaan yang membuat makanku tak enak, dan tidurku tak nyenyak. Mungkin bagi sebagian orang, bekerja di dunia perbankan adalah cita-cita. Seperti aku dulu ketika masih muda. Membayangkan diri ini berpenampilan perlente dengan kemeja licin, celana rapi dan sepatu mengilat.
Beragam raut muka nasabah kutemui setiap hari. Mulai dari wajah bahagia nasabah yang baru saja diterima pengajuan kreditnya, air muka ketar-ketir nasabah yang telat membayar cicilan, hingga mimik nelangsa dari nasabah KPR yang rumahnya disita karena tersandung kredit macet. Dalam hati aku merasa iba, karena sebagian rezeki yang masuk ke perutku adalah hasil keringat mereka berupa bunga.
Dulu wajahku selalu berseri karena bekerja dalam ruangan ber-AC. Menatap layar komputer dan mesin penghitung uang. Tebar senyum pada nasabah, juga kerling nakal pada teller cantik partner bekerja. Tidak seperti sekarang, menggelap karena paparan sinar matahari dan polusi.
Namun, aku bangga dengan pekerjaanku saat ini. Aku telah terlepas dari lingkaran setan bernama riba. Dosa yang dalam agamaku dinilai lebih besar dari pada 36 kali zina. Beberapa rekan menertawakan, kenapa aku rela melepas jabatan yang lumayan di sebuah Bank BUMN di Indonesia.
Ah, mereka tidak tahu rasanya. Aku mundur dengan tetap bermartabat dan dagu terangkat. Meskipun harus menjual kendaraan dan aset yanh kudapat selama bekerja di sana. Tak ada lagi sepeda motor keluaran terbaru yang biasa kukendarai saat berangkat bekerja. Semua tabungan di rekening telah kutarik dan kusumbangkan untuk pembangunan musala. Aku berniat membebaskan diriku dari riba dan segala bekas-bekasnya.
Kini, aku telah mencapai jabatan tertinggi. Bagiku, jabatan tertinggi karyawan perbankan adalah resign. Aku bebas.
Tamat
BGL 260719
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pinch of Moral Value
Ficción GeneralSekadar menceritakan pelajaran hidup yang tidak sempat sekolah ajarkan. Karena belajar adalah proses seumur hidup. Tanpa mengenal tempat dan waktu. Buku ini berisi kumpulan cerita pendek dengan bumbu nilai moral yang akan menggugah nurani.