#Challenge_GA_SKH2_JPM
Penulis : Itsaiiu
Judul : Alarm Tahajjud
Isi : 800 kataMonster itu menggeram lagi, suaranya menusuk lorong-lorong ruang dengar. Monster pengecut yang entah wujudnya seperti apa. Sekitarku gelap, hitam dan kelam. Mundur adalah hal paling masuk akal saat firasat mengatakan bahwa di hadapan adalah ancaman. Perlahan, aku bergeser senti demi senti meraba pijakan yang dingin dengan telapak kaki telanjang. Lembap, berair, dan menempel ketika kakiku diangkat. Apa ini? Belum sempat otak merancang kemungkinan jawaban, kakiku kehilangan pijakan. Tanah lembap yang dingin tadi raib entah ke mana. Tubuhku kehilangan bobotnya, mengambang beberapa saat di udara. Aku terjun bebas. Dengan monster tanpa entitas yang geramannya tertelan oleh teriakanku sendiri. Lalu semua menjadi semakin gelap.
Dan hal paling melegakan setelahnya adalah menyadari kenyataan bahwa itu semua hanya mimpi.
Putih, terang. Dengan pola kotak-kotak dan lampu hemat energi tepat di tengahnya. Ini adalah plafon kamarku sendiri. Lega karena masih bisa bernapas. Meski entah seperti apa rupaku kini. Piyama belakang melekat di punggung karena kegerahan. Seluruh rambut menempel di kulit kepala yang berkeringat, sebagian di dahi. Lengket. Seperti kuas tercelup saus.
Jam dinding menunjuk ke arah tenggara. Setengah lima pagi. Ya Allah, aku melewatkan satu lagi malam tanpa tahajjud. Kuraba kasur untuk menemukan telepon cerdas yang ternyata berada di bawah bantal. Alarm disetel pukul 3 pagi, dan statusnya terlewat dengan 4 snooze. Jadi, seminggu ini, aku hanya shalat tahajjud sebanyak satu kali, sedang beruntung karena Mbak Dzakira membangunkanku. Kakak yang saklek, tegas, tapi cerewet, yang tahu-tahu sudah masuk kamar dan nyelonong untuk membuka jendela. Padahal di luar masih gelap.
"Biar aku tebak. Kamu sudah bangun dan tahajjud, tidur lagi, lalu terbangun saat aku masuk. Betul?" tanyanya sarkas.
"Aku kesiangan, Mbak."
"Kesiangan lagi, tepatnya." Jemarinya yang putih cerah dan kurus-kurus cekatan menyibak tirai, lalu membuka jendela dan membiarkan angin subuh berembus membiarkan dingin menggelitik. Langit masih berwarna nila. "Itu karena kamu nggak tidur di awal malam." Ia melanjutkan.
"Tidur jam sepuluh, kok. Nggak terlalu malam. Lagian aku mimpi buruk."
"Mimpi buruk itu datangnya dari syaithan. Insyaa Allah nggak akan terjadi kalau kamu rutin mengamalkan amalan sebelum tidur."
Perkataan Mbak Rifa bijak, tapi menusuk. Jadi ketahuan kalau aku jarang shalat witir sebelum tidur. Membaca ayat kursi, 3 surah terakhir Al-Qur'an dan doa sebelum tidur pun hanya kalau ingat. Paling banter cuma doa sebelum tidur saja. Wudhu? Boro-boro. Keduluan kantuk.
Aku beranjak, lalu duduk di tepi dipan dengan mengayun kaki. Alih-alih keluar, Mbak Dzakira malah duduk di sebelahku. Ah iya, ibadah subuhnya sudah selesai. Sebentar lagi akan menyiapkan sarapan untuk ayah yang harus berangkat kerja jam 6 pagi. Menyiram tanaman, memberi makan kelinci kecil kami, lalu bersih-bersih rumah dan selesai saat ibu-ibu kompleks baru akan belanja sayur. Benar-benar seperti ibu saat masih hidup. Rajin, rapi dan teratur.
"Kamu ini sudah kelas 12, pengin dimudahkan menghadapi UN, nilai bagus, dapat beasiswa bidik misi, lalu masuk PTN favorit. Tapi tahajjud bolong-bolong, shalat dhuha kalau nggak lupa, shalat fardhu mepet di akhir waktu, puasa sunnah kalau nggak kambuh sakit maag. Kesannya seperti kamu pengin banget sesuatu, tapi nggak serius minta. Dikasih Alhamdulillah, nggak dikasih ya udah."
Aku menunduk. Mbak Dzakira selalu sukses membuatku kehilangan kalimat, dan anehnya itu semua benar. Beda sekali dengannya yang rajin ibadah, baik shalat dan puasa sunnah, serta jadi murid teladan di sekolah hingga bangku kuliah, aku seperti kebalikannya. Ibadah sekenanya saja, shalat tahajjud kalau pas ada keinginan saja. Biasanya kalau sudah kelas enam, sembilan, dan sekarang dua belas. Setelah terkabul, senang bukan main dan janji mau istiqomah. Dan paling banter cuma bertahan dua minggu. Setelah itu kembali kepada 'aku' dalam mode normal. Itu tadi, mode normalku persis seperti yang Mbak Dzakira sebutkan.
"Ibadah itu harus dipaksakan, karena syaithan selalu menghasut. Kalau nggak dipaksakan, ya jadilah kamu nggak ibadah-ibadah."
Aku mengernyit. "Bukannya malah harus ikhlas, Mbak?"
"Maksud mbak, yang dipaksakan itu bangunnya, tahajjudnya harus tetap ikhlas. Mau ke masjid, yang dipaksakan melangkahnya, kalau shalatnya ya tetap harus ikhlas. Tapi, sekalipun awalnya kamu terpaksa, kalau sudah menemukan kenikmatan beribadah, kamu akan mencintai rutinitas ibadahmu sebagai bentuk interaksi dengan Tuhan. Kalau sudah cinta, bolong sekali saja kamu akan merasa menyesaaal banget. Jadinya nggak mau melewatkan barang sekali pun. Ikhlas karena kamu ingin jaga iman dan taqwa karena Allah, bukan karena keinginanmu yang sewaktu-waktu berubah jenis dan intensitasnya. Sekarang pengin banget masuk PTN favorit. Besok cuma pengen lulus. Lulus aja udah Alhamdulillah. Seringnya gitu, 'kan?"
Panjang, lebar, kali tinggi. Dengan bahasa yang ringan buat remaja. Hingga petuah itu terus melekat dalam ingatanku. Membuat gerakku ringan untuk menegakkan shalat witir, lalu tidur di awal malam dalam keadaan bersuci. Meninggalkan remeh-temeh kegiatan remaja yang tidak penting seperti buka sosmed, kecuali mengikuti akun dakwah. Mengibaskan kasur sebelum tidur dengan posisi miring ke kanan menghadap kiblat. Tak lupa ayat kursi dan 3 surah terakhir Al-Qur'an. Mimpi burukku pergi. Alhasil, tanpa alarm aku sudah bangun jam 2 dini hari. Seperti saat ini. Saat Mbak Dzakira masih terlelap dalam belantara mimpi. Alhamdulillah. Apa aku terlalu bersemangat?
Bangil, 26 Agustus 2019
KAMU SEDANG MEMBACA
A Pinch of Moral Value
Ficción GeneralSekadar menceritakan pelajaran hidup yang tidak sempat sekolah ajarkan. Karena belajar adalah proses seumur hidup. Tanpa mengenal tempat dan waktu. Buku ini berisi kumpulan cerita pendek dengan bumbu nilai moral yang akan menggugah nurani.