🌊 Prolog || Heal to Kill Me

2.3K 373 321
                                    

Halo! Assalamualaikum! Nggak nyangka bisa nyapa dreamer lagi dengan cerita baru 😙

Udah siap patah hati?
Eh, maksudnya udah siap baca cerita ini?

Kalau sudah, tarik napas banyak-banyak dulu, ya! Takutnya sesek napas di akhir 😌

Seperti biasa, jangan lupa vote dan komen, ya sebagai bentuk apresiasi terhadap penulis! Terima kasih❤

Happy Reading(?)

🌊

Ada beragam cara menunjukkan luka; berteriak kencang, meringis kesakitan, atau diam seribu bahasa dengan tatapan datar--menolak untuk dibaca.

Gadis itu bisa memilih salah satunya atau melakukan semuanya. Namun, dia memilih cara yang paling sederhana--menumpahkan air mata hingga habis tak tersisa.

Aroma telur busuk masih menusuk-nusuk indera penciumannya meskipun sudah dibersihkan. Gadis itu tak mau mengingat bagaimana ceritanya telur-telur itu melayang, menghantam tubuhnya, lalu hancur--menghancurkan harga dirinya menjadi bagian yang terkecil.

Napasnya terhela sesak. Pandangannya terjatuh pada kain rok biru gelap yang bercorak abstrak. Saksi bisu di mana kejadian itu terekam ke dalam memori dan mungkin akan selalu terpanggil setiap dia melihat telur atau rok biru.

Seribu kali pun gadis itu mengingatnya, kejadian itu tidak akan berubah nama. Tetap bernama luka.

Ada jeda panjang yang dia beri setelah tangisnya mereda. Di bawah pohon mangga, gadis itu duduk menunduk, mencengkeram kuat udara seolah hal itu mampu memperbaiki apa yang sudah terjadi. Tapi selain perih di kulit, gadis itu tidak merasakan apa pun lagi.

Akhirnya, gadis itu mendongak, melonggarkan saluran pernapasan, meraup udara banyak-banyak. Mata kecilnya sesekali menyipit pada celah dedaunan yang disiram matahari. Bulatan-bulatan cahaya tampak di sana. Mungkin mustahil bila bintang menyala di siang hari. Tapi gadis itu melihatnya begitu dan siapa pun yang memercayainya akan melihat hal yang sama.

Dia tak pernah mencoba menyembunyikan diri karena dia tahu teman-teman di sekolahnya pun tidak ada yang peduli. Terbukti dengan tatapan iba segelintir anak yang tak sengaja melewatinya. Mereka hanya melakukan itu, lalu melupakan apa yang mereka lihat. Mungkin menyembunyikan nuraninya ke bagian terdalam hingga mereka kesulitan meraihnya kembali.

Gadis itu tahu mereka tahu apa yang terjadi. Tapi mereka memilih bungkam--dengan kejamnya.

"Hari kayak gini bakal berakhir, Nai."

Kalimat yang terbungkus intonasi lelah itu meluncur dari bibirnya. Sejumput harap turut melekat di sana. Harapan agar segalanya benar-benar berakhir. Namun sayang, Tuhan berkehendak lain. Tanpa gadis itu tahu, itu hanya permulaan.

Tepat gadis itu menunduk, dia terkesiap melihat sosok yang tahu-tahu berada di sampingnya, salah satu Si Pemilik Tatapan Iba. Tapi bedanya, dia tidak pergi, melainkan menghampirinya.

"Rinai, 'kan?"

Sudut bibir Rinai terangkat kecil. Mencoba sopan pada kakak kelas yang baru saja menyumbang piala olimpiade matematika tingkat SMP Se-Jakarta. Rinai tak terlalu mengenalnya walaupun teman sekelasnya sering mengelu-elukan namanya.

Rinai menggangguk kecil. Dia bertanya kenapa lewat sorot mata, tetapi yang ditatap tampaknya tak paham. Cowok itu malah meminta izin mengisi kosong di kursi kayu yang Rinai duduki.

"Saya sering liat kamu. Anak-anak juga sering cerita tentang kamu."

Rinai mendengkus kecil. Entah harus bangga atau kecewa karena Rinai yakin apa yang dikabarkan tentangnya bukan lagi hal yang baik.

Kinda Fly to the SeaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang