5 - Mall.

1K 41 2
                                    

Part tergaje. v:

Tapi,

ENJOYYYY.
~~~~~~~~''~~~''''~~~

“Mmm... Yummy,”
Ucap Ulfa saat memasukkan sesendok es krim coklat ke mulutnya. Kini mereka bertiga sedang berada di food court es krim.

“Ih, kenapa ya cowok kelas kita gaada yang ganteng-ganteng?”
Tanya Indri sambil scroll-scroll di handphonenya.

“Udah takdirnya kali. Lagian ngapain sih pengen cowok ganteng? Kalau mau pacaran ya pacaran aja, noh pacaran sama si Virgo,”
Ucap Fatim menyebutkan salah satu teman mereka yang menjadi musuh utama Indri yang menjabat juga sebagai ketua kelas.

“Ih, ogah. Selera gue itu tinggi-tinggi,”
Jawab Indri.

“Katanya gak mau suka-sukaan lagi... Gara-gara si itu tuh, siapa namanya?”
Fatim menoleh pada Ulfa.

“Ghufran,”
Jawab Ulfa singkat. Indri melotot pada kedua temannya itu.

“Itu kan dulu, waktu kelas 8 SMP.”
Kata Indri sambil memain-mainkan sendok es krimnya.

“Gue gak tahan jadi jomblo,”
Lanjut Indri.

“Yaelah, lu jadi jomblo lagi baru 2 tahun udah ngeluh. Gue sama Ulfey aja yang dari lahir biasa aja,”
Ucap Fatim.

“Yaudah, lu pacaran sana. Kita tuh udah SMA. Kata orang-orang, SMA itu masa-masa paling bahagia, harus kita nikmatin--”

Cuih,”
Ucap Fatim membuang muka seolah-olah membuang ludah.

Cuih,”
Ulfa—yang entah kenapa—malah mengikuti Fatim sambil tertawa geli. Indri merenggut kesal.

Lalu melanjutkan omongannya,
“Lo tuh ya, napa sih anti banget sama makhluk yang bernama COWOK atau laki-laki atau pria atau ya semacamnya?”
Tanya Indri.

“Di hidup gue, udah ada cowok-cowok yang gak waras. Gue gak mau nambah lagi, please, gue udah kapok sama abang-abang gue ditambah adik-adik gue, gue mending mati aja,”
Fatim menopang wajahnya. Indri langsung melotot.

“Ya makanya cari pacarnya yang kalem,”

Fatim mendecih.

“Ulfey juga belum pacaran kok,”
Fatim menunjuk Ulfa. Ulfa yang awalnya sibuk dengan es krimnya menoleh.

“Ulfey itu masih polos, gak pantes pacaran. Dia beda sama lo,”
Jelas Indri. Cih, mamah pilih kasih, batin Fatim menyebut Indri dengan panggilan ‘Mamah’.

“Bukannya gue pilih kasih, tapi emang kenyataannya gitu,”
Kata Indri—seolah-olah membaca pikiran Fatim. Fatim melengos pelan. Ulfa yang merasa namanya disebut-sebut dalam obrolan hanya mengangkat alis, bingung.

“Lagipula emang penting banget pacaran? Lagian di kelas kita gak ada cowok yang kalem, kelas lain juga gak ada yang sesuai selera gue,”
Ucap Fatim.

“Kalau misalnya besok bakal ada cowok baru yang kalem, ganteng, dan selera kamu. Kalau beneran ada anak baru di kelas yang kayak gitu gimana?”
Ulfa yang menyimak mulai berbicara kembali. Indri setuju dengan perkataan Ulfa. Sedangkan Fatim hanya memalingkan wajahnya.

“Ayo ah, pergi ke tempat lain”
Fatim meraih tas kecilnya dan berdiri.

S u p e r !

“Hey, semuanya! Ayo, makan siang dulu!”
Teriak Thariq dari lantai bawah sambil menepuk-nepuk tangannya. Atta yang dari halaman belakang langsung masuk dan Saaih langsung turun dari lantai atas diekori Fateh, Muntaz, dan Qahtan.

Semua langsung duduk di kursi makan dan mengambil piring dan makanan masing-masing.

“Lho, Fatim mana?”
Atta bertanya pada Thariq. Thariq mengedikkan kedua bahunya.

“Masih di kamar kali,”
Ucap Thariq lanjut mengambil lauk pauk.

“FATIM!!!”
Teriak Atta memanggil Fatim.

“Gak ada, tadi Muntaz sama Qahtan dari kamar,”
Jelas Muntaz.

“Di kamar mandi kali,”
Ucap Saaih.

“Lah, tadi sebelumnya gue ke kamar mandi dulu dan gaada siapa-siapa lagi yang masuk situ,”
Kali ini Thariq yang menjelaskan.

“Di garasi kali,”
Fateh mulai berbicara. Semua yang ada di situ langsung menatap Fateh.

“Apa?”
Tanya Fateh polos merasa diberi tatapan aneh oleh saudara-saudaranya.

Saaih menoyor kepala Fateh, “ngapain juga Fatim di garasi?”
Semuanya langsung berpikir.

Hening.

Lalu rusuh saling debat tentang keberadaan Fatim.

“Jangan-jangan Fatim diculik!”

“Jangan-jangan Fatim punya kekuatan kayak Muntaz! Bisa berpindah tempat!”

“Jangan-jangan kak Fatim kebawa ke dimensi lain!”

“Jangan-jangan Fatim berubah menjadi ksatria baja hitam untuk menyelamatkan bumi dari makhluk raksasa yang siap menyerang,”
Celetuk Thariq asal.

Ya begitulah, makin lama makin aneh pemikiran mereka. Hingga pada akhirnya,

“STOP IT!”
Muntaz mulai angkat bicara.

“WhatsApp atau telepon aja kak Fatim, tanya dia lagi di mana”
Ucap Muntaz memberi saran. Semua mengangguk-anggukkan kepala setuju. Atta langsung mengambil handphonenya dan mulai menelepon Fatim.

“Ah, nggak diangkat,”
Ucap Atta.

Atta mencoba menelepon Fatim kembali.

“Gak aktif,”
Ucap Atta kembali. Ia menyimpan handphonenya.

“WA juga ceklis satu,”
Ucap Thariq. Semua langsung menghela nafas panjang.

“Yaudah ayo makan dulu,”
Atta mengambil sendok. Semuanya pun akhirnya mulai makan siang.

S u p e r !

Malam yang tenang, Fatim membuka pintu depan secara perlahan. Sebenarnya ia sudah pulang dari mall jam 5 sore. Tapi Fatim ke suatu tempat dulu sehingga baru pulang jam setengah 9 malam. Rumahnya sepi, gelap. Sepertinya sudah pada tidur. Ia menutup kembali pintu depan dengan perlahan.

Cklik.

Lampu menyala. Fatim langsung menoleh ke depan. Terlihat ketiga abangnya berdiri di depan—yang satu menyilang tangan di depan dada, yang satu memasukkan tangan ke saku celana, yang satu lagi memegang sarung yang menyelimuti badannya. Fatim menelan ludah.

“Ke mana aja kamu?” Tanya Atta. “Kamu tau kan sekarang jam berapa?”

“Tadi abis jalan-jalan doang ke mall,” jawab Fatim.

“Ke mall gak izin dulu?” Kini giliran Thariq. Fatim menghela nafas, “Emang kenapa? Tadi Fatim udah minta ke bang Atta tapi gak dibolehin. Kemarin aja kalian pada ke mall gak bareng Fatim,” jelas Fatim.

Ketiga abangnya langsung berdehem. Atta mengusap belakang lehernya. Saaih menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal itu.

“Yaudah, sekarang sana tidur. Besok sekolah,” ucap Atta. Dari memutar bola matanya sambil melewati ketiga abangnya itu menuju lantai atas.

-(25 Agustus 2019)-

Super Family! •Fatimah Halilintar•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang