7 - Bully.

1.1K 42 15
                                    

Bel sekolah sudah berbunyi 5 menit lalu. Menandakan waktu pulang. Kelas Fatim diakhiri dengan pelajaran olahraga. “Gue mau ke toilet dulu, ya,” ucap Fatim. Indri mengangguk sambil membereskan buku-bukunya. “Eh, jangan lupa panggil Ulfey di perpustakaan,” kata Indri. Fatim mengangguk.

Fatim keluar dari kelas dan menuju toilet. Butuh waktu kira-kira >3 menit untuk ke sana dari kelas Fatim. Sesampainya di sana, Fatim langsung melakukan kegiatannya lalu mencuci muka. Setelah itu, ia harus ke perpustakaan. Memanggil Ulfa. Belum juga sampai di perpustakaan, Fatim mendengar suara-suara di koridor belakang perpustakaan. Koridor yang kata orang-orang jarang dilalui. Fatim penasaran dan mengintip. Mata Fatim melebar ketika melihat beberapa siswi di situ sambil menindas salah satu siswi lain. Ia langsung terpaku diam ketika melihat siswi yang ditindas itu.

Itu adalah..... Ulfa.

Terlihat cairan merah yang keluar dari hidung dan dahi Ulfa. Ulfa mengelap darah itu menggunakan lengannya, tetapi tetap saja cairan itu keluar kembali.

Fatim langsung berbalik badan kembali. Ia terjatuh duduk. Tidak kuat, tidak tega melihat Ulfa. Namun dirinya merasa sulit untuk bergerak. Fatim tidak tahu harus apa. Ia bisa mendengar suara tawa dari para penindas itu.

Fatim menutup mulutnya, cairan bening keluar dari matanya. Itu hanya berjarak beberapa meter dari tempatnya. Tapi kakinya sulit untuk melangkah ke sana. Ia takut.

De Javu....

.

Gadis itu masih tetap mengeluarkan air mata. Ia bersembunyi di balik pohon. Kakinya rasa membeku. Ia tidak kuat melihat seorang gadis, yang tak lain adalah temannya sedang dipukuli oleh beberapa anak-anak yang lebih tua dari mereka.

Byurr!

Gadis itu mengintip dari balik tembok, melihat temannya yang ditenggelamkan di kolam renang sekolah. Dan anak-anak yang lebih tua itu, langsung pergi begitu saja. Gadis itu keluar dari persembunyiannya dan mendekati kolam renang. Temannya dengan muka memar dan tidak bergeming di kolam tersebut.

.

“Apa yang kalian lakukan di sini? Pergi! Sebelum saya tulis dalam catatan hitam!”

Tangisan Fatim mereda. Ia mendengar suara yang ia kenal. Suara itu menyadarkan Fatim dari kenangannya. Fatim langsung melihat kembali di balik tembok itu.

Mr... Wong?

Wakasek kesiswaan itu berdiri di sana dengan para penindas yang langsung terdiam dan Ulfa yang sudah terkapar lemas di hadapan mereka. Fatim langsung saja ke sana dan membantu Ulfa untuk berdiri. Para penindas itu langsung pergi dari koridor tersebut.

Mr. Wong menatap Fatim dan Ulfa dengan tatapan galaknya itu dan langsung pergi. Fatim membantu Ulfa berdiri. Tak lama, ada deheman seseorang dari arah Mr. Wong pergi, Fatim menoleh. Ia melihat seseorang yang baru ia kenal beberapa jam yang lalu.

Wildan Rendradi.

Wildan menghampiri Fatim dan Ulfa sambil membenarkan dasinya.

“Wildan?” Fatim mengernyitkan alisnya. Wildan berdehem kembali dan mendekati Fatim.

“Ulfa!”

Ketiga orang itu menoleh. Terlihat Indri yang sedang kelelahan sehabis berlarian di ujung koridor. Indri langsung menghampiri Fatim dan Ulfa.

Indri langsung mengambil alih Ulfa dari Fatim. Ia melihat ke Wildan dan Fatim secara bergantian, lalu memberi kode pada Fatim dan pergi mengantar Ulfa ke UKS.

“Gimana tadi ada Mr. Wong? Rame, kan?” Tanya Wildan. “Lu yang manggil Mr. Wong ke sini?” Fatim bertanya balik. Wildan tertawa kecil.

“Bukan, tapi gue yang jadi Mr. Wong,” jawab Wildan. Fatim mengernyitkan alisnya. “M-maksudnya?”

“Itu bakat gue, menyalin orang lain. Lo juga gitu kan, bakatnya telekinesis sama telep--”

Belum juga Wildan menyelesaikan omongannya, ia sudah dibekap Fatim. “Tau dari mana lu?” Fatim melepaskan bekapannya. Wildan terkekeh.

“Ya gue tau, gue pernah liat lu gunain bakat. Abang-abang sama adik-adik lu juga punya. Gue tau,” ucap Wildan. “Jangan bilang ke siapa-siapa!” kata Fatim dengan cepat.

“Iya iya, lu juga jangan kasih tau siapa-siapa tentang bakat gue,” jawab Wildan agak terkekeh. Fatim mengangguk. “Jadi, lu gimana bisa jadi Mr. Wong?” Tanya Fatim. Wildan mengangkat telapak tangannya.

“Gue tadi pagi salaman sama Mr. Wong. Kalau telapak tangan gue saling bersentuhan sama telapak tangan orang lain, gue bisa berubah jadi orang itu. Mulai fisik, suara, sama pakaiannya, tapi ini juga punya batas waktu. Paling lama 5 menit,” jelas Wildan. Fatim hanya tertohok mendengarnya.

“Te...rus, berubahnya gimana?” Tanya Fatim. “Gue gak yakin bisa ngejelasin ini,” jawab Wildan.

“Lah, napa?” Tanya Fatim kembali. Wildan hanya menggeleng. Fatim menghela nafas kasar.

Tiba-tiba Wildan menjulurkan tangannya. “Kita tadi belum kenalan dengan baik. Gue Wildan,” ucap Wildan. Fatim mengangkat sebelah alisnya. Ia pergi melalui Wildan, meninggalkan Wildan yang tangannya masih terjulur. Fatim berbalik sebentar, “btw, makasih, ya!” Teriak Fatim dari ujung koridor ke Wildan. Wildan menoleh dan tersenyum kecil.

Fatim kemudian berpikir. Kenapa... Ia tidak menolong Ulfa menggunakan bakat khususnya itu seperti Wildan? Bodohnya dia.

S u p e r !

Fatim segera berlari menyusul Indri dan Ulfa. Mereka ternyata baru sampai UKS. Fatim dengan sigap membantu Ulfa membuka sepatu.

Fatim dan Indri membantu Ulfa duduk di ranjang UKS. Indri langsung mengambil kotak P3K. Fatim menggulung celana Ulfa dan memperlihatkan luka lecet di lutut Ulfa. Indri kemudian memberikan Ulfa tisu untuk mengelap cairan merah yang keluar dari hidungnya.

“Kenapa bisa gini sih, Fey?” Tanya Indri sambil menyiapkan air. Dengan wajah polosnya, Ulfa hanya mengangkat kedua bahunya. Indri mengelap luka lecet dia lutut Ulfa itu menggunakan kapas yang dibasahi air. Ulfa meringis kecil.

“Lu kok bisa dibully gitu?” Kali ini Fatim yang bertanya. Ulfa menoleh ke Fatim, “mereka nggak nge-bully, kok. Cuman bercandaan doang,” jawab Ulfa. Indri hanya menghela nafas berat, kini ia berpindah mengelap darah yang mulai keluar kembali dari dahi Ulfa.

“Fey, gue tau lu itu polos. Tapi gak sepolos ini lah. Lu juga tau itu termasuk bully!” Ucap Fatim dengan nada agak meninggi, membuat Ulfa menciut.

“Udahlah, Tim.” Lerai Indri. “Ini gak bisa didiemin, Ndri,” ucap Fatim. “Iya, tapi ya tenangin dulu Ulfey-nya.” Lanjut Indri. Fatim mendengus kasar. Ia melihat ke Ulfa yang masih memasang wajah polosnya.

Sebel sih liat muka Ulfa yang watados watados polos gimana gitu. Tapi kasian juga. Tapi ya sebel juga. Fatim kembali mendengus kasar.

Fatim duduk di ranjang sebelah sambil menonton Ulfa yang sedang diobati oleh Indri.
.
.

-(22 September 2019)-

Super Family! •Fatimah Halilintar•Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang