Takdir 2

11 4 0
                                    

"Raldiiiii!!!!" Indah berdiri didepan pintu bercat putih dengan tempelan stiker berbagai macam club sepak bola. Ia memanggil adik kesayangannya itu yang sejak tadi mendekam didalam kamar. Sesekali tangan Indah menggedor pintu kamar adiknya itu.

"Iya, kak. Raldi lagi ganti baju." Raldi menyahut tanpa membuka pintu.

Indah mengembuskan napas pelan, dalam hati ia menggerutu kesal pada adiknya yang sedari tadi tidak menyahut, "Charger laptop punya kakak nanti bawa ke kamar kakak ya" ucap Indah kemudian berjalan menuju kamarnya yang berada di sebelah kamar Raldi.

Indah duduk diatas ranjang kemudian menatap layar laptopnya yang sudah menyala. Sore ini ia berencana mengunggah cerita pendeknya di blog miliknya.

Saat ia akan membuka akun blog miliknya, sebuah notifikasi e-mail masuk. Ia segera membukanya. Berharap itu adalah kabar baik, berhubung beberapa minggu lalu ia mengirimkan naskah novel karyanya kepada sebuah penerbit.

Namun, harapan itu hilang seketika saat ia telah membuka e-mail miliknya. Ia terdiam seketika. Matanya menatap tak percaya layar laptopnya.

"Kak Indah," suara Raldi membuat Indah tersadar dari lamunannya.

Indah segera meraih charger laptop miliknya yang dibawa oleh Raldi dan segera menyambungkannya.

"Kakak, kenapa?" tanya Raldi hati-hati, ia sempat melihat sorot kecewa dalam mata Indah.

Indah menggeleng. Namun karena Raldi yang memang sudah terlalu kepo, ia mengintip layar laptop milik Indah. Matanya menyipit membaca nama pengirim e-mail tersebut.

"He's back?!" Indah menutup laptopnya begitu saja. Keinginannya untuk mengunggah cerita lenyap begitu saja.

Raldi duduk disamping kakaknya. Ia memeluk Indah dengan erat. Raldi cukup tahu apa yang sedang dirasakan kakaknya. Raldi sangat memahami Indah. Bahkan lebih baik daripada Indah sendiri.

Indah memang cukup tertutup. Ia tak mudah menceritakan semua masalahnya kepada orang lain, kecuali orang-orang terdekatnya dan yang sudah ia kenal cukup lama. Dan Raldi adalah satu-satunya orang yang mengetahui segalanya. Entah bagaimana caranya, tapi Raldi selalu mengetahui apapun tentang Indah. Bahkan terkadang, sebelum Indah bercerita apapun padanya.

"Mungkin ada yang harus dia selesaikan, kak" Raldi masih memeluk Indah. Sedangkan Indah terdiam. Pikirannya menerawang jauh. Ia tak bisa memikirkan apapun saat ini kecuali pengirim e-mail tersebut.

***

Pagi ini Indah sedang menonton film kartun Doraemon kesukaannya saat tiba-tiba Bunda meneriaki namanya karena belum sarapan.

"Iya, Bun. Aku sarapan" Indah berjalan menuju dapur dan duduk di salah satu kursi kayu.

"Kamu itu kebiasaan kalo kuliah lagi libur, pasti sarapannya telat" Bunda memberikan sepiring nasi goreng dan segelas jus jeruk kepada Indah.

"Ya kan Indah bangunnya telat"

"Udah tau bangun telat, habis beres-beres kamar sama mandi itu langsung sarapan. Bukannya nonton kartun, Ndah" Bunda masih mengomel saat Indah sudah memakan nasi gorengnya.

"Bunda kenapa gak ke kantor sama Ayah?" Indah memilih mengalihkan omelan Bunda daripada harus berdebat dengan Bunda hanya karena sarapan.

"Bentar lagi berangkat. Ayah tadi emang berangkat duluan" jawab Bunda.

Indah hanya manggut-manggut sambil memakan nasi gorengnya. Setelah selesai makan, ia segera mencuci piring dan gelas kotor yang tadi ia gunakan.

"Ndah, Bunda berangkat ya. Kalo mau main, jangan lupa kunci pintu. Mbok Inem lagi gak ada. Kuncinya bawa aja, tadi Raldi udah bawa kunci sendiri kok"

Catatan TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang