"Kak Kinara. Kau sudah rapi sekali pagi-pagi begini. Apa kau mau langsung berangkat kerja?"
Pagi itu aku tak tahu hal apa yang membuat sepupuku, Rena sudah muncul di dalam kamarku dan memperhatikanku yang sedang berias setelah aku mandi.
"Kak, aku dengar Rinjani akan bangkrut. Apa itu benar?" Pertanyaannya kali menghentikan kegiatanku yang sibuk merapikan file yang dimasukkan ke dalam map. Aku kemudian menoleh padanya, dari ekspresinya ia masih menunggu jawaban dariku.
Apakah aku harus berbohong pada anak seorang remaja yang masa depannya juga bergantung pada nasib Rinjani? Tidak. Aku terlalu menyayangi Rena, rasa sayangku terhadapnya sudah seperti seorang kakak terhadap adik kandungnya sendiri.
"Tidak. Rinjani akan baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir, Rena." Jawabku pada akhirnya. Ya, aku memang akan berusaha untuk membawa Rinjani kembali bangkit seperti sedia kala. Aku akan berjuang untuk mengamankan kehidupan keluarga ini walau pada akhirnya aku yang akan mengalami kehancuran.
Hari ini aku akan mulai bekerja kembali di Satria Pratama. Segera setelah aku menyetujui kesepakatan yang diajukan oleh Pak Dirgantara, aku pun mendapat posisi bagus di perusahaan itu. Tentu saja ini sebagai kamuflase yang diatur sebelum kedatangan sang putra mahkota ke Surabaya.
Selama beberapa hari pertama aku merasa tidak nyaman dengan segala keiistimewaan yang diberikan oleh Pak Dirgantara. Tatapan-tatapan penuh pertanyaan dan kecurigaan yang dilayangkan para pegawai kepadaku seakan selalu menjadi peringatan bahwa aku harus menjaga sikap dan berakting sebaik mungkin agar semuanya berjalan lancar.
Pak Dirgantara memberikan begitu banyak informasi mengenai putranya. Dekananda Satria Pratama, berusia 29 tahun. Merupakan salah satu lulusan terbaik dari University of Cambridge, dan saat ini sedang berdomisili di Kanada sekaligus mengelola perusahaan yang dibangun olehnya sendiri dengan susah payah. Membanggakan memang, namun yang disayangkan oleh Pak Dirgantara adalah hubungan complicated yang terjadi antara mereka. Dekananda yang biasa dipanggil Deka oleh Pak Dirgantara itu tak pernah sepaham dengannya, selalu berdebat dan adu urat ketika mereka sedang bersama. Meskipun demikian, Pak Dirgantara masih mengapresiasi sikap hormat yang ditunjukkan oleh putranya itu, walau terkadang Deka akan bersikap menyebalkan jika ada sesuatu yang tidak mengena di hatinya.
"Deka adalah pria yang tampan, wanita manapun pasti akan tergoda dengannya. Tak hanya pada fisik namun juga dari segi finansialnya. Namun tugas beratmu adalah menghadapi kekerasan hatinya. Ia pria dingin dan terkesan bermulut tajam. Pintar-pintarlah melatih mentalmu untuk berkonfrontasi dengannya."
Aku sedikit mengangkat sebelah alisku setelah mendengar penjelasan Pak Dirgantara mengenai putranya itu. Seburuk itukah seorang Dekananda Satria Pratama? Apakah ia seorang pria yang tak punya hati, yang akan dengan mudahnya menyakiti perasaan orang lain dengan kalimat-kalimat tajam dari mulutnya?
"Anda tak perlu menakut-nakuti saya. Saya sudah siap jika memang harus bertemu dengannya sekarang," ujarku asal karena tak ingin disudutkan olehnya.
"Hei, berhentilah kau berbicara formal seperti itu padaku. Mulai sekarang kau bisa berlatih untuk berbicara santai denganku,"
Aku hanya memutar bola mataku. Mengubah pandangan dan sikap pada seseorang yang baru dikenal kurang lebih hampir 2 minggu ini bukanlah sesuatu yang mudah untukku.
*****
Aku sudah membuat kebohongan besar jika aku mengatakan bahwa aku sudah siap untuk bertemu dengan Dekananda. Sekarang saja aku berdiri dalam keadaan gugup di depan cermin toilet kantor Satria Pratama. Mereka bilang jadwal kepulangan Deka dipercepat dan aku pun semakin ingin untuk tidak pernah bertemu dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED LOVE
Hayran KurguDemi menyelamatkan perusahaan yang diwariskan ayahnya, Kinara terpaksa berkrompromi dengan "iblis" berwujud pria setengah baya yang sangat menyebalkan. Pilihannya hanya ada satu, menikahi putra dari sang "iblis" atau membiarkan perusahaannya bangkru...