Part 6 - Lie

121 26 2
                                    

"Kakak!!" Suara dari kegelapan kamarku sangat mengejutkan. Kalau saja aku tidak mengenali suara yang memanggilku tadi, mungkin saja aku sudah langsung berteriak karena mengira ia adalah maling atau bahkan hantu.

"Ya, Tuhan. Rena! Apa yang kau lakukan di kamarku tanpa menghidupkan lampu? Aku rasa Halloween sudah lewat," ujarku sambil meraba tembok mencari saklar lampu kemudian menyalakannya. Setelah lampu menyala terang, aku melihat Rena sedang asyik duduk di atas ranjang sambil memainkan bantal.

"Aku tadi ketiduran di kamarmu, Kak. Bukannya sedang merayakan Halloween." Rena memberikan cengiran khasnya yang membuatku ikut tersenyum. Anak ini memang suka sekali bermain-main di kamarku, apalagi jika ia sudah mempunyai kebutuhan mendesak yang membutuhkan bantuanku untuk menyelesaikannya.

"Kenapa kau tidak tidur saja di kamarmu? Pasti kau ingin menanyakan sesuatu padaku," karena lelah aku pun ikut merebahkan tubuhku di kasur, tepat di sebelah Rena yang saat ini sedang menatapku.

"Kau selalu tahu apa yang kuinginkan, Kak." Kemudian Rena menarik lenganku untuk bangkit dan ikut duduk bersamanya. Mau tidak mau aku harus mengikutinya dan menanti pertanyaannya dengan mata yang mulai terasa berat, padahal sekarang masih pukul Sembilan malam. Berkonfrontasi dengan Deka memang melelahkan hingga aku merasa ingin langsung tidur ketika sampai di rumah.

"Aku dengar dari Ibu kau tadi pergi berkencan. Benar begitu, Kak? Jadi kakak sudah benar-benar putus dari Kak Erlangga?"

"Kenapa kau membahas orang itu lagi, sih? Aku kan sudah putus darinya sejak tahun lalu," gerutuku sedikit kesal karena mantan kekasihku kembali disebut-sebut oleh Rena.

Dia pasti merasa sangat penasaran dengan keputusanku untuk berpisah dengan Erlangga. Rena sangat menyukai pria itu sebagai kekasihku. Menurutnya Erlangga sangat tepat untuk menjadi suamiku kelak. Tapi kurasa, aku dan Erlangga memang tidak berjodoh. Ada begitu banyak hal yang membuat kami sulit untuk menyatukan visi dan misi dalam hubungan ini. Jadi jika perpisahan itu terjadi bukan menjadi suatu hal yang aneh lagi.

"Tapi bagaimana dengan perasaanmu padanya? Kakak, masih mencintai Kak Erlangga, kan?" Rena terkesan mendesakku untuk berbicara panjang lebar dengannya mengenai hal ini. Aku mendorong kepala Rena pelan, lebih karena aku tidak ingin mengungkit masa lalu.

"Tahu apa kau soal cinta?" Oh, ayolah Rena baru berumur 17 tahun dan dia sudah ingin menguliahiku soal cinta. "Sayangnya, kurasa terlalu begitu banyak halangan untuk aku bisa bersama dengan Erlangga."

Termasuk soal ketidak jujurannya. Entahlah, aku merasa Erlangga tidak sepenuhnya menunjukkan kepadaku tentang siapa dirinya. Erlangga Dimitria seperti menyembunyikan sesuatu yang tidak ingin aku mengetahuinya. Berawal dari kisah ketidak beruntungan itulah aku menutup buku tentang asmara dengannya. Sekarang hanya ada Dekananda Satria Pratama yang akan menjadi masa depanku, meski sulit bagiku untuk membayangkan seperti apa nantinya kisahku akan berjalan dengannya.

Suara helaan napas panjang terdengar dari mulut Rena. "Kalau memang begitu akupun tidak bisa memaksa. Lagi pula kemarin Kak Rama bercerita padaku bahwa ia melihat Kak Erlangga bersama wanita lain. Walaupun sedikit kecewa tapi tetap saja aku tidak bisa protes."

"Baguslah kalau begitu. Itu artinya aku dan Erlangga sama-sama sudah menemukan jalannya masing-masing!" Sahutku dengan antusias yang sedikit dibuat-buat. Aku kembali berbaring dan menarik bantal yang ada di dekapan Rena.

"Lalu siapa kekasih barumu? Apa aku mengenalnya?"

Ya Tuhan, tidak bisakah anak ini berhenti untuk menginterogasiku? Aku sudah pusing dengan urusan Deka selama makan malam tadi. Jika ia ingin informasi lebih banyak, nanti akan ada saatnya Rena akan terkejut ketika aku mengenalkan Deka sebagai calon suamiku.

"Kau tidak mengenalnya. Nanti kau juga akan tahu," jawabku dengan mata terpejam. Biar saja Rena menjadi kesal karena aku menggantungkan keingin tahuannya tentang pria itu.

*****

Ponselku berdering sesaat menandakan ada satu pesan singkat yang masuk. Tatapanku langsung beralih dari layar komputer menuju layar ponselku. Isi pesannya berhasil membuatku mengerutkan kening karena menurutku agak aneh dan membuatku penasaran.

'Jika ayah menanyaimu sesuatu, kau hanya perlu menjawab seperlunya saja.'

Pesan itu dikirim oleh Deka, namun tidak dijelaskan mengapa ia mengirimiku pesan seperti itu. Apa yang dia maksud bahwa aku harus menjawab seperlunya pada Pak Dirgantara? Apa yang sedang direncanakan Deka untuk menghadapi ayahnya yang sangat ambisius terhadap pernikahan ini?

Semalam ia sempat menyebutku sebagai 'partner' yang diharapkan bisa dipercaya. Mungkin saja Deka memerlukan bantuanku untuk mencapai tujuan pribadi yang telah direncanakan dan masih disembunyikannya itu? Lalu bagaimana dengan aku sendiri, aku mempunyai rahasia berupa misi berjangka lima tahun yang diberikan Pak Dirgantara dan ini berkaitan dengan bagaimana aku akan menjalani hidup dengan Deka. Aku merasa sudah berada di gerbang pintu dilema.

"Kinara, Pak Dirgantara menunggumu di ruangannya," sekretaris pribadi Pak Dirgantara menghampiri meja kerjaku hanya untuk menyampaikan bahwa Pak Dirgantara menunggu kehadiranku di ruangannya. Kebetulan sekali, mungkin saja Deka sudah memperkirakan bahwa aku akan bertemu dengan ayahnya. Sudah bisa ditebak bahwa Pak Dirgantara pasti ingin tahu banyak soal kencan kami semalam.

Harus seperi apa aku bersikap? Aku akan mengikuti keinginan Pak Dirgantara atau aku akan beralih pada keinginan Deka, menjadi 'partner' yang dipercayanya?

_To be continue_

Erlangga Dimitria Satria Pratama

Erlangga Dimitria Satria Pratama

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
UNEXPECTED LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang