Part 8 - Debate

143 24 0
                                    

Jeda jam makan siangku jadi lebih lama karena pertemuan dengan keluarga Satria Pratama tadi. Setelahnya aku kembali ke kantor dan mengerjakan tugas-tugas yang sekiranya bisa aku kerjakan. Setidaknya aku merasa cukup senang karena masih bisa bersikap layaknya karyawan biasa meski sebenarnya aku tak benar-benar bekerja untuk kantor Satria Pratama ini.

Maya mengatakan bahwa Deka juga belum kembali sejak terakhir ia melihat pria itu pergi keluar. Aku tidak tahu sepenting apa client yang ditemuinya sehingga menjelang sore seperti ini ia belum juga muncul kembali di kantor.

Maya juga sempat bertanya mengenai diriku yang menghilang ketika jam makan siang bersamaan dengan Pak Dirgantara. Dengan pemikiran seadanya aku sedikit berbohong padanya bahwa aku sudah meminta izin untuk menemui calon mertuaku dan tidak ada hubungannya dengan Pak Dirgantara.

Aku tidak peduli Maya akan percaya atau tidak. Walaupun aku sempat melihat kerutan di dahinya yang menandakan bahwa otaknya sedang mencerna semua perkataanku, kemudian ia mengangguk paham.

Jam berwarna silver di pergelangan tanganku menunjukkan pukul 8 malam dan aku baru saja sampai di depan gerbang rumah. Hari ini cukup melelahkan, selain karena pekerjaan juga karena pikiranku yang masih tertuju pada pertemuanku dengan Erlangga dan juga ibunya. Menurutku masih banyak hal yang tak kumengerti dalam kondisi ini.

Sebuah mobil sedan hitam terparkir rapi di halaman rumah. Sepertinya aku tidak asing dengan mobil ini. Seorang tamu mungkin datang untuk menemui Paman Indra. Tapi setahuku Paman dan Bibi sedang berkunjung ke Makassar dan baru akan pulang besok siang. Lalu, siapa yang datang?

Perlahan langkahku masuk ke dalam ruang tamu dan melihat sosok yang tengah duduk di sofa. Seorang pria dengan ponsel yang menyala di tangannya. Dia adalah pria menyebalkan yang sejak tadi ingin sekali kuhujani dengan cacian.

"Deka? Kau di sini?" Sapaku tanpa memandang penuh ke arahnya. Aku ingin menunjukkan betapa kesalnya aku karena dia sama sekali tidak berniat bekerja sama untuk menghadapi orang tuanya.

"Ya, aku di sini menunggumu pulang sejak 45 menit yang lalu. Kenapa kau lama sekali? Bukankah seharusnya kau sudah ada di rumah sejak dua jam yang lalu?"

"Ck! Aku rasa bukun urusanmu aku pulang jam berapapun," jawabku sinis.

Deka menyeringai, kemudian ia berdiri dan berjalan mendekatiku yang kini menatapnya dengan angkuh. "Tentu saja itu menjadi urusanku. Kau adalah calon istriku, jadi aku pikir aku punya hak untuk tahu."

"Oh, jadi kau sudah mulai mengungkit masalah hak dan kewajiban. Kalau begitu aku juga punya hak untuk menanyakan ketidak hadiranmu dalam pertemuan keluarga tadi. Kau pergi kemana, Deka?" Nada bicaraku terdengar tajam.

"Kau pernah bilang kalau kau ingin aku menjadi partnermu. Tapi kau tega sekali membiarkanku pergi sendirian menghadapi keluargamu. Apa itu yang kau sebut dengan partner yang baik?"

Deka menghela napas dan mengalihkan pandangannya ke arah lain, menghindari kedua mataku yang masih setia memandangi wajah tampannya. "Aku kan sudah bilang kalau aku tidak akan datang."

"Dan kenapa kau tidak ingin datang? Kau ini sebanarnya orang macam apa yang tak mau menyapa ibu dan adikmu sendiri?" Semburku kesal karena Deka tetap bersikap apatis.

"Kau tidak tahu apa-apa, Kinara. Berhentilah berkomentar sinis untuk hal yang kau tidak ketahui dengan pasti." Deka berbalik dan kembali ke sofa.

Aku tidak ingin kalah dalam perdebatan ini, apalagi ini membahas soal bungkamnya ia tentang pertemuan keluarga. Aku menyusulnya dan memberanikan diri duduk di sebelahnya, menatapnya tajam berusaha agar ia memperhatikanku.

"Karena itu beri tahu aku apa yang aku tidak ketahui. Aku tidak ingin nantinya menjadi satu-satunya orang dungu di tengah keluargamu."

"Dia bukan ibuku."

UNEXPECTED LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang