Dinda tidak bisa lagi menahan tangisnya. Bani tidak bereaksi, tidak berusaha juga menenangkan Dinda dan mengatakan kalau Dinda hanya salah paham membuat Dinda semakin putus asa akan kisah cintanya.
"Lo yang bilang lo mau gue terus ada di sisi lo, Bani! Gue udah di sini, gue terus ada di sisi lo, tapi kenapa lo nyerah? Kenapa lo yang milih buat pergi!"
Dinda merasakan pelukan Bani melingkupinya. Dinda menangis di dada Bani. "Gue nggak mau putus, Bani..., gue nggak mau, gue nggak bisa," lirih Dinda. Dinda mencengkram ujung kaos yang Bani kenakan. Dia merasakan pelukan Bani di tubuhnya mengerat. Ya, pelukannya mengerat tapi kata-kata yang ingin Dinda dengar dari mulut Bani tidak kunjung terdengar. Kata-kata yang memberi tau Dinda kalau ini bukanlah akhir cerita mereka.
Setelah tangis Dinda sedikit merada, Dinda merasakan pelukan Bani melonggar. Bani membekap kedua pipinya, matanya menatap lurus menusuk manik milik Dinda.
"Lo yang paling tau, Nda, seberapa butuhnya gue akan kehadiran lo. Gue nggak mungkin bisa ninggalin lo atau pun ditinggal sama lo, nggak akan pernah bisa." Bani menarik nafas dan menghembuskannya perlahan. Tadi dia hanya diam saja bukan karena tidak ingin menenangkan Dinda sama sekali dan membuat gadis itu membuat kesimpulannya sendiri. Bani hanya ingin menunggu sampai Dinda lebih tenang, karena Bani tau, menyela seorang perempuan yang sedang menangis atau marah hanya akan menambah masalah baru.
Dinda sesegukan. "Tap--tapi kenapa lo tiba-tiba nyalahin diri lo sendiri? Bukannya itu karena lo mau putus?"
Bani membekap pipi Dinda dan menarik wajah itu lebih dekat ke arahnya. "Karena gue emang merasa itu kesalahan gue, Nda. Seharusnya gue bisa ngehindarin lo dari hal mengerikan kayak gitu."
Dinda sudah akan membuka mulut tetapi Bani langsung membungkam Dinda dengan sebuah ciuman.
Ciuman pertama mereka!
"Dengerin gue dulu, Nda, oke? Itu emang kesalahan gue dan dengan bejalar dari kesalahan, gue akan lebih menjaga lo dan nggak akan membiarkan kejadian kayak gitu terjadi lagi sama lo."
Dinda mengedipkan matanya masih terkejut dengan ciuman mendadak dari Bani tadi.
"Gue tau, jodoh nggak bisa diatur. Tapi kalau bisa, gue pasti minta sama Allah supaya lo lah yang jadi jodoh gue. Dan gue akan berusaha untuk mempertahankan lo dan hubungan kita, sampai nanti Allah yang nunjukkin sendiri sama kita apa kita berjodoh atau enggak." Bani tersenyum, "Jadi lo nggak usah raguin perasaan gue ya, Nda. Kita akhiri ini sama seperti waktu kita memulainya. Yaitu sama-sama. Lo dan gue, kita. Kita jalanin apa yang ada dan biar Allah yang menentukan akhir untuk kita. Dan sampai kita bertemu 'akhir' itu, kita jalaninnya berdua."
Dinda terperangah. Bani, laki-laki yang dia kenal di hari pertamanya pindah sekolah ke SMA Angkasa sebagai ketua sebuah geng pembully yang menjadikannya korban bully selama satu semester penuh, yang kemudian ia temui lagi saat liburan dengan sisinya yang lain sebagai Ian, laki-laki penuh luka terpendam yang perlahan mulai bergantung padanya dan menjadikannya sandaran, laki-laki yang tidak pernah disangkanya akan menjadi laki-laki yang begitu berpengaruh dalam hidupnya.
Laki-laki yang membuat Dinda belajar arti cinta dan kepedulian terhadap luka orang lain.
"Shit, Nda, look what you've been done to me! I'm turning from cold hearted boy to cheesy dramatic boy. Lo emang cewek bogel ter-rese yang pernah gue temuin. Sekaligus cewek bogel rese yang paling gue cinta," ucap Bani sambil menyatukan dahinya dan Dinda.
"Peran lo dalam hidup gue tuh terkesan infinity, Nda, tanpa batas. Sometimes you could be my friend, lover, enemy and even my mom. Gue bisa jadi siapa aja di depan lo begitu pun lo di depan gue. Gue nggak takut lagi untuk membuka luka-luka gue dan mengobatinya sejak ada lo." Bani mengecup lembut dahi Dinda.
"Terima kasih, Nda, terima kasih karena udah dateng di hidup gue. Lo bukan pengganti bunda, tapi lo melanjutkan tugas bunda yang nggak sempet dia terusin. Jadi penjaga gue. Yang menjaga gue untuk selalu berjalan di jalan yang benar."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy [Sequel of Infinity]
Teen FictionSequel of Infinity Ini bukan lagi tentang memaafkan, Ini tentang mereka yang sedang berusaha memperbaiki.