Enam remaja itu akhirnya tiba di Bandara Don Mueang pukul delapan malam tepat waktu tanpa delay. Mereka menggeret koper masing-masing sambil berjalan menyusuri lorong dari gate kedatangan menuju gate pemeriksaan imigrasi.
"Finally, welcome to Thailand!" Dinda berseru girang setelah mengabadikan mengabadikan moment di board yang bertuliskan 'Welcome to Thailand', seketika melupakan rasa lapar dan lelah setelah menempuh penerbangan selama tiga setengah jam. Sayang dia belum bisa langsung mengunggahnya ke sosial media karena ponselnya masih belum terpasang data internet.
"Ayo guys, perjalanan kita masih jauh!" Farhan menarik perhatian para gadis yang masih sibuk mengabadikan gambar dan memikirkan caption hanya untuk sebuah instagram story yang durasinya hanya lima belas detik seolah sedang membuat essay. Farhan mana mengerti esensinya.
"Han-han, gue laper. Apa kita nggak cari makan dulu?" tanya Dinda ketika sudah melewati imigrasi. Farhan dan Dinda adalah dua orang pertama yang selesai, yang lain masih mengantre giliran. Karena musim liburan, wajar gate imigrasi kedatangan turis cukup ramai. Di penerbangan hari ini saja, semua kursi nyaris terisi penuh oleh turis asal Indonesia yang ingin liburan seperti mereka.
"Kalau ngikutin itenerary yang udah gue buat, schedule kita dari bandara tuh langsung ke hotel Din, abis naro barang dan istirahat sebentar baru kita cari makan malem." Farhan mengecek notes di ponselnya yang berisikan daftar itenerary lengkap dengan waktu estimasi yang harus mereka habiskan di satu tempat ke tempat lain. Sepertinya Farhan betul-betul niat jadi travel guide mereka di liburan ini. "Jajan ke sevel aja tuh, atau mau beli roti? Depan counter kartu SIM ada starbucks deh setau gue." Farhan menunjuk ke arah di mana counter yang menjual kartu SIM Thailand berjejer.
"Lo udah laper lagi, Nda?" Bani yang baru selesai dari pemeriksaan langsung nimbrung menghampiri keduanya.
"Kayak nggak tahu cewek lo aja, Ban, badan aja kecil tapi laperan mulu."
Tatapan Bani kembali terarah kepada pacarnya yang hanya bisa mengerucutkan bibir. "Lo kan tadi makan in flight meals, Nda, masa iya belum dua jam udah laper lagi?" tanya Bani takjub dengan kelakuan pacarnya itu.
"Itu nasi sama chicken teriyaki lo kemanain, Din? Nggak mungkin keluar lewat karbondioksida dari hidung lo, kan?" tanya Farhan semakin kompor.
"Bacot, ih!" Dinda mendengus, tidak terima diolok-olok dua lelaki itu. "Udah ah gue mau ke toilet dulu, nitip koper!" Lalu dengan langkah kaki yang dihentak-hentakan secara berlebihan, Dinda berlalu meninggalkan dua lelaki itu.
Farhan hanya tertawa, senang karena berhasil mengusili sahabatnya itu. Tetapi Farhan langsung berhenti tertawa saat melihat Bani sedang menatapnya tajam. Farhan lupa, prinsip Bani adalah hanya dia yang boleh meledek seorang Adinda Rasya, yang lain haram hukumnya. Dasar Mr. Posesif!
Audy, Niken dan Petra menyusul ke tempat mereka setelah selesai dengan urusan pemeriksaan. Audy yang pertama menyadari kalau Dinda tidak ada bersama mereka. "Loh, Dinda mana?"
"Ngambek dia diledekin Bani."
"Lo ya bangsat yang kompor!" Bani tidak terima jadi kambing hitam, tetapi tentu saja lelaki itu tidak benar-benar marah, memang cetakannya sudah galak begitu apalagi tidak ada pawangnya—Dinda—ya sudah siap-siap saja kena semprot. Tetapi meski begitu, Bani sebenarnya orang yang cukup perhatian kok. Termasuk kepada teman-temannya. "Gue mau beli makanan buat Dinda, kalian ada yang mau nitip?"
Benar, kan?
"Nitip roti deh, Ban, sama air paling buat ganjel perut."
"Lo laper juga, Dy?" tanya Farhan menoleh ke arah Audy. "Lo kan juga tadi makan nasi di pesawat..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy [Sequel of Infinity]
Fiksi RemajaSequel of Infinity Ini bukan lagi tentang memaafkan, Ini tentang mereka yang sedang berusaha memperbaiki.