a/n: Yang sayang Bani dan Dinda WAJIB ninggalin komentarnya, ya! Ayo, beri dukungan ya buat authornya biar rajin update dan lancar idenya. Hal yang paling aku kangenin dari nulis kisah Bani dan Dinda tuh bukan cuma 'nulis'nya tapi juga bacain komentar kalian yang misuh-misuh dan kadang gemes sendiri sama Bani atau Dinda. Jadi, ramaikan ya kolom komentar cerita ini seperti dulu kalian ngeramein lapak infinity. Aku sayang kalian! Selamat naik roller coaster bareng Bani dan Dinda!
Gadis berpakain hitam putih itu setengah berlari sambil sibuk membenarkan tali kuncirannya yang melorot, membuat ikatan rambutnya mengendur dan berantakan dengan sempurna begitu dirinya berhasil masuk ke dalam barisan.
Di depannya sudah berbaris para mahasiswa baru sama seperti dirinya yang juga memakai kemeja putih dan celana atau rok hitam. Gadis itu, Dinda, melirik ke kanan dan kiri lalu berjinjit di atas pentofel hitamnya. Para senior bagian tim disiplin keamanan atau TDK berada di depan, baru saja mulai memerika atribut kelengkapan. Dinda menghela nafas lega. Untung saja dirinya kini sudah berada di barisan karena kalau terlambat semenit saja, dirinya pasti akan bergabung dengan para maba yang sedang dihukum di depan sana.
Ini sudah hari ke lima orientasi. Hari terakhir dari masa-masa penuh penderitaannya sebagai mahasiswa baru. Satu hari lagi maka Dinda akan terlepas dari neraka ini. Dinda mencolek gadis yang berdiri di sebelahnya, entah siapa, Dinda belum sempat kenalan. "Hai! Boleh minta tolong pegangin ini?" Dinda mengangkat tasnya yang terbuat dari kardus. "Aku mau benerin iketan rambut."
Gadis berkacamata itu mengangguk dan menerima uluran tas Dinda. Dinda buru-buru mengencangkan ikat rambutnya saat tiba-tiba saja bahunya ditepuk. "Oy, maba!"
Dinda terlonjak, nyaris saja mengumpat yang tidak-tidak kalau saja dirinya tidak berhasil mengontrol diri. Dinda menoleh, menatap seorang senior yang sudah tidak asing lagi di matanya karena kegiatan orientasi ini. "Iya, kak?"
"Telat lagi?" tanyanya sok akrab. Mungkin karena selama dua hari terakhir ini Dinda berada di barisan paling belakang yang mengindikasikan dirinya datang di detik-detik terakhir sebelum waktu kumpul. "Dihukum nih harusnya."
Dinda nyaris memutar mata. "Kalau saya telat saya berdiri di depan, kak." Dinda mencoba menjawab tanpa mengeluarkan nada sinis. Terima kasih kepada seseorang yang menulari Dinda dengan kemampuan tersebut.
Seseorang yang...
"Baniansyah, kamu lagi? Bukannya kemarin kamu juga telat?"
Dinda mengerjap begitu mendengar suara teriakan senior di depan. Lebih tepatnya karena nama yang disebut oleh senior tersebut. Dinda menepuk jidat. Senior di sebelah Dinda ternyata memperhatikan reaksi Dinda. "Kenapa? Pacar lo, ya, dek?" tanyanya kepo. Dinda langsung merubah ekspresi wajahnya, berusaha terlihat biasa saja.
Senior bername tag Edwin tampak belum puas mengisengi Dinda. Sebetulnya sejak awal masa orientasi berlangsung, perhatiannya sudah tertuju pada Dinda. Si maba bertubuh mungil di jurusannya. Wajahnya yang selalu ekspresif membuatnya terlihat lucu karena ekspresinya selalu berganti-ganti sesuai dengan reaksinya. Gadis itu juga tampak tangguh saat masuk masa tes mental, kebanyakan maba lain terutama perempuan menangis ketika dibentak-bentak TDK, tetapi gadis itu hanya diam mendengarkan meskipun Edwin bisa melihat beberapa kali tangan gadis itu mengepal. Bukannya menahan tangis, tapi sedang berusaha untuk tidak menonjok orang lain.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy [Sequel of Infinity]
Teen FictionSequel of Infinity Ini bukan lagi tentang memaafkan, Ini tentang mereka yang sedang berusaha memperbaiki.