a/n: IYA TAU LAMA BANGET BARU UPDATE LAGI. MAAFKAAAN. Doain aja selama #dirumahaja cerita ini bisa update rutin. Buat yang udah lupa ceritanya silahkan baca ulang aja ya wkwk. Part ini partnya Bani-Dinda jadi silahkan baca part mereka yang terakhir biar nggak lupa. Selamat membaca!
.
.
.Tepat pukul sebelas lewat sebelas malam Dinda menyelesaikan episode terakhir dari serial Kingdom yang ia tonton sejak sore. Dinda pun menutup aplikasi netflix itu masih dengan kondisi misuh-misuh sendiri, gregetan dengan scene terakhir dari serial zombie asal Korea Selatan tersebut yang masih menggantung. "Masa gue harus nunggu setahun lagi buat season tiganya sih!"
Dinda melirik jam di layar ponselnya yang ia letakkan di sebelah tablet yang ia gunakan untuk menonton serial netflix tersebut. Sejak awal Dinda menonton tadi, benda persegi panjang itu sama sekali tidak berkedip, tanda tidak ada satupun notifikasi yang masuk selama ia menghabiskan waktunya menyaksikan aksi heroik Jo Jihoon melawan zombie.
"Bani ke mana sih kok belum ada kabar?" Dinda yang meski sejak tadi serius menonton, tidak memungkiri kalau pikirannya sesekali tertuju kepada pacarnya yang pergi sejak pukul tujuh tadi. Katanya sih mau ikut kumpul dengan teman-teman angkatannya.
Sebetulnya Dinda tidak terlalu setuju jika Bani ikut acara kumpul tersebut sejak awal Bani memberitahunya. Bukan, bukan karena Dinda terlalu posesif, tetapi karena dari info yang beredar bahwa ada beberapa perkumpulan di kampus mereka yang juga diikuti alumni itu digunakan untuk kegiatan mabuk-mabukan. Bahkan katanya sampai ada yang menggunakan obat terlarang. Bagaimana Dinda tidak was-was?
Tetapi seperti kata Bani, lelaki itu yakin bahwa meskipun acara kumpul itu berakhir dengan acara minum-minum, Bani tidak akan ikut serta. Dia hanya datang untuk memenuhi ajakan teman-temannya dan alumni sebagai bentuk solidaritas. Meski sebetulnya Bani lebih senang menghabiskan waktunya untuk main game online atau mengusik Dinda.
Dinda membuka jendela percakapannya dengan Bani yang terakhir sebelum lelaki itu pergi. Betul saja, Bani belum mengirimkan chat apapun lagi sejak terakhir kali mereka bertukar pesan. Dinda pun mengetikkan pesan untuk kekasihnya tersebut.
Pesan itu tidak terbaca meski detik hingga menit terlewati. Dinda menggeram kesal. Bani tidak menepati janjinya untuk pulang tidak lewat dari jam sebelas. Menolak untuk menjadi pacar posesif dan cerewet, Dinda memilih mengunci layar ponselnya dan pergi tidur. Terserah apa yang mau dilakukan Bani, lelaki itu sudah dewasa dan bisa menentukan sendiri mana hal baik dan buruk.Dinda mencoba menarik selimut hingga ke dagunya, matanya terpejam tetapi ia sepenuhnya sadar. Otaknya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana keadaan Bani. Apa yang dilakukannya hingga mengabaikan pesan Dinda tidak seperti biasanya. Apakah lelaki itu masih di luar atau sudah kembali ke kosan. Dinda benar-benar tidak bisa tidur dengan tenang.
"Bani nyebelin! Besok gue jambak rambut lo awas aja." Geram Dinda sambil menendang selimutnya sebagai bentuk kekesalan.
Dinda sudah hampir terlelap ketika ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari Bani dan Dinda tidak menunggu waktu lama untuk langsung mengangkatnya.
"HALO!"
"Buset deh, belum tidur lo ncel? Nyaring amat itu suara tengah malem."
"Nggak usah basa-basi deh, di mana lo?"
Bani terkekeh di sebrang. "Emang lo nggak denger suara mesin motor gue?"
Dinda mengernyit. Ia menjauhkan ponsel itu dari telinganya untuk mencoba menangkap suara dari luar kamar. Benar saja, samar-samar ia bisa mendengar suara mesin motor dari luar. Bani pasti sedang berada di depan kosannya. "Lo ngapain malah ke sini tengah malem?"
"Keluar dulu sebentar."
"Nggak mau, gue udah pake daster."
"Yaelah, gue udah sering lihat lo dasteran. Nggak bakal bikin gue pengen putus kok."
"Bani!"
"Bercanda. Udah makanya keluar sebentar sini, nggak enak takut suara motor gue ganggu warga lain nanti."
Dinda menggeram. Akhirnya ia memutuskan untuk memenuhi permintaan Bani. Dengan tergesa Dinda meraih cardigan hitam untuk menutupi tubuhnya dari udara malam Bandung yang dingin.
Ketika Dinda berhasil membuka pagar kosan, Bani sudah mematikan mesin motornya. Lelaki itu sedang berdiri bersandar di tembok rumah tetangga di sebelah motornya. Kedua tangannya berada di dalam kantung hoodie topman abu-abu yang ia kenakan malam itu.
"Lo baru pulang?" tanya Dinda to the point.
Bani meringis. "Iya. Sori ya gue nggak sempet ngabarin."
Dinda tidak membalas. Tatapannya lalu meneliti wajah Bani, tubuhnya maju mendekati kekasihnya yang jangkung itu untuk mengendus jejak dosa di sana jika ada.
"Gue nggak minum, Nda." Bani berkata seolah tahu apa yang Dinda khawatirkan.
"Seret dong nggak minum," cibir Dinda seolah membalikkan kata-kata Bani tadi siang.
Bani terkekeh, ia mencubit gemas hidung mungil gadis yang sudah dipacarinya sejak SMA itu. "Khawatir ya kamu?"
Dinda mendelik. Meski sudah berpacaran lama, keduanya jarang sekali menggunakan aku-kamu. Hanya di beberapa saat tertentu, itu kalau lagi khilaf. "Menurut lo aja."
"Sori ya udah bikin lo khawatir. Nggak bakal lagi, kok."
Dinda mengernyit. "Maksudnya lo nggak akan ikut nongkrong lagi?"
Bani mengangguk. "Iya, males. Lebih enak rebahan."
"Yakin?" tanya Dinda mencoba meyakinkan. "Gue nggak ngelarang kok, asal lo bisa jaga diri. Emangnya acaranya benaran ada minum-minum? Enggak, kan?"
Bani tidak menjawab. Meski begitu, Dinda tahu jawabannya. Gadis itu hanya menghela napas.
"Iya maaf tadi gue minum, dikit, dipaksa."
Dinda tidak terkejut. Tetapi meski begitu ia tidak bisa menutupi gurat kecewa di wajahnya. Dia sudah tahu akan begini. "Udah malem, besok kan lo ada kelas pagi."
Bani tahu ia sudah membuat Dinda-nya kecewa. "Nda..."
Dinda mengulas senyum, yang terlalu dipaksakan. Gadis itu ekspresif dan mereka juga sudah mengenal sangat cukup baik satu sama lain sehingga sulit untuk menyembunyikan sesuatu satu sama lain. Jadi Bani jelas tahu mood Dinda memburuk karena ulahnya.
Dinda berbalik, berniat meninggalkan Bani sebelum dirinya betul-betul marah dan menampakkan kekesalannya. Dinda tidak ingin bertengkar tengah malam di jalanan seperti ini.
Sebelum Dinda benar-benar beranjak, Bani memberanikan diri mendekap Dinda dari belakang meski hanya untuk sebentar. Tubuh tingginya seolah menelan tubuh Dinda yang mungil dalam rengkuhannya. Sebelum Dinda protes, Bani buru-buru berbisik, "Selamat tanggal dua puluh yang ke sekian, Nda. By the way tadi gue emang minum, tapi minum coca cola." Lalu Bani bersendawa tepat di telinga Dinda setelahnya.
Dinda pun benar-benar menjambak rambut Bani sesuai rencananya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Remedy [Sequel of Infinity]
Teen FictionSequel of Infinity Ini bukan lagi tentang memaafkan, Ini tentang mereka yang sedang berusaha memperbaiki.