Davier sibuk memilah komik yang akan dibacanya di kamar Sandi, teman semasa SD nya. Davier, Sandi, dan Reyhan adalah sahabat sejak dahulu.
"Gimana? Lo udah nemuin petunjuk dari Rania?" Tanya Sandi yang membuat Davier terdiam sejenak.
"Gue takut," Ujar Davier lalu duduk di sebelah Sandi.
"Takut apa?"
"Gue takut suka sama dia."
"Lo gila ya? Gimana bisa?"
Davier menggigit bibir bawahnya lalu mengacak rambutnya frustasi. "Gue rasa nggak mungkin kalau dia penyebab Reyhan pergi."
Sandi membuang nafasnya kasar, "jangan sampe rasa suka lo ngehalangin rencana kita, Dav."
"Lo tau sendiri, Reyhan suka banget sama si Rania itu sampai-sampai dia harus pergi gini."
"Bukan itu. Rasanya nggak mungkin banget dia yang bikin Reyhan pergi. Cewek selemah dia? Nggak mungkin."
"Terus lo ada perkiraan lain?"
"Untuk saat ini gue bakal cari siapa dalangnya, mungkin Rania punya informasi tentang itu. Kayaknya dia masih nutupin sesuatu. Tapi kalau menurut gue, bukan dia penyebabnya."
Sandi mengangguk. "Tahan perasaan lo sampai kita nemu kebenarannya."
***
"Hai, Devi," Sapa Davier ketika Ia dan Rania bertemu di parkiran sekolah.
Rania hanya tersenyum canggung.
"Emang ya kalau jodoh itu nggak kemana, berangkat aja bisa barengan gini."
Rania memutar malas bola matanya. "Lo nggak liat ya bukan kita doang yang udah dateng? Berarti lo juga jodoh tuh sama yang lain."
"Maunya sama lo."
Wajah Rania memerah, gadis itu buru-buru pergi dari hadapan Davier yang terus saja menggodanya.
"Cowok sinting."
"Lo kelamaan sih, tembak aja napa." Ujar Roni yang tiba-tiba menghampiri Davier.
"Lo tuh ya nggak punya teknik deketin cewe Ron, Davier baru bisa nembak kalau si Rania udah nunjukin ketertarikan juga," Sahut Bara yang sudah ada disebelah Roni.
"Oh, Rania belum suka sama lo ya Dav?" Ledek Roni.
"Diem lo pada."
🌈🌈🌈
Bel istirahat berbunyi, Rania berjalan menuju halaman belakang sekolah karena Davier memintanya untuk bertemu di sana.
"Lo mau ngomong apa?" Tanya Rania.
"Lo inget kan gue masih ada dua permintaan lagi. Dan sekarang gue mau pakai satu permintaan itu," Ujar Davier.
Rania menaikkan sebelah alisnya.
"Lo nggak usah bawa motor ke sekolah, mulai besok lo berangkat dan pulang bareng gue." Rania dibuat melongo dengan permintaan konyol Davier.
"Kenapa lo ngatur-ngatur gue?"
"Gue nggak ngatur. Ini perintah."
Rania semakin kesal dengan tingkah cowok itu yang seenaknya.
"Dan alasan gue manggil lo kesini bukan karena itu. Lo ingetkan kita udah jadi sahabat? Gue mau kita saling curhat."
Rania membuang nafasnya kasar lalu segera duduk dibangku yang tersedia.
"Lo satu SMP sama Rayhan?" Tanya Davier hati-hati.
"Iya."
"Lo beneran nggak tau kenapa dia bisa meninggal?"
Pertanyaan itu lagi. Pertanyaan yang membuat lidah Rania kelu. Ia hanya meremas ujung rok abu-abunya.
"Maaf, tapi gue lagi nggak mood buat ngobrol sama lo." Rania kemudian meninggalkan Davier yang kini curiga terhadap dirinya.
***
"Kak, Lara main ya sama temen Lara." Ujar Adik Davier sambil memakai jaket Hijaunya.
"Kemana?"
"Nonton Toy Story."
"Jangan pulang malem," Ujar Davier sambil menatap layar handphonenya.
"Jangan pulang malem gimana sih? Ini aja udah jam lima sore."
"Yaudah jangan pergi kalau gitu."
"Bodo, mumpung mama pergi gue bisa pulang malem," ucap Lara ketus lalu bergegas keluar rumah.
Davier hanya geleng kepala. Ia lalu mengirim pesan pada Rania.
Davier: jangan lupa, besok gue jemput ya princess.
"Jijik banget!" Umpat Rania.
"Kenapa? Makanan mama nggak enak?" Tanya mamanya heran.
"Eh enggak mah bukan itu maksud Devi."
"Terus?"
"Temen Devi maksa buat anter jemput Devi ke sekolah," Jelas Devi.
"Wah baik banget temen kamu. Bagus deh, jadi motor kamu bisa mama pakai. Irit ongkos mama jadi nggak harus naik angkot kalau ke pasar."
"Mama, tapi... "
***
"Asalamualaikum, Tante. Saya Davier, kakak kelasnya Devi. Maaf sebelumnya Apa saya boleh antar jemput Devi ke sekolah Tan?" Rania terkejut ketika Ia baru saja menuruni anak tangga dan mendapati Davier sudah ada di dalam rumahnya.
"Davier? Tunggu, tunggu. Davier ini kamu bukan nak? Anaknya Rani?"
"Eh iya benar Tan, kok tante tahu?"
Mama Devi tersenyum sumringah lalu langsung memeluk Davier. "Ya ampun si jabrik udah besar gini."
"Ini tante Dea. Sahabat mama mu, dulu kan pas kamu masih kecil suka main sama tante, sama Devi juga," Ujar Dea seraya melepaskan pelukannya.
"Eh? Ohiya halo, apa kabar tante maaf ya Davi nggak ngenalin, udah lama banget."
"Iya wajar kamu nggak ngenalin, dulu kamu masih empat tahun, Devi tiga tahun." Sementara itu Rania masih terdiam di tempatnya.
"Devi, sini. Ingat nggak kamu? Ini yang suka main sama kamu loh waktu kecil, waktu kamu masih botak."
Davier tertawa kecil mendengar kata botak. Ingatannya tentang Devi teringat kembali.
"Devi nggak inget, Ma."
"Jadi kamu seniornya Devi ya?"
"Iya, Tan."
"Tante titip Devi ya di sekolah. Kamu boleh banget anter jemput dia, ajak jalan sekalian."
"Ma!" Rania menyikut mamanya.
"Sering-sering mampir ya kesini, tante pengen ngobrol banyak sama kamu."
"Iya tante, makasih. Kami berangkat dulu ya, Tan."
"Si Botak." Ujar Davier tertawa puas sambil mengendarai ninja hitamnya.
"Apasih!" Rania tak tahan dengan Davier yang terus menggodanya.
"Lagian udah tiga tahun rambut masih botak aja, padahal cewe."
"Lo sendiri nggak denger apa? Katanya lo itu jabrik!" Balas Rania tak mau kalah.
"Ya mending gitu lah daripada nggak ada Rambutnya." Davier kembali tertawa meledek.
"Kak Davi!!" Seru Rania sambil mencubit pinggang cowo di depannya itu.
Sementara Davier masih tertawa dengan puas.
***
#TBC
Don't forget to vote and comment.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Di Langit September
Ficção AdolescenteDavier Adrian. Iblis dengan perawakan tampan ala boyband Korea yang membuat siapa saja langsung terpana dibuatnya. Namun itu semua tidak berlaku bagi Rania Sadevi, ketampanan Davier lenyap begitu saja ketika cowok itu mulai menganggu kehidupan Rania...