OO1

245 19 3
                                    

Wonho dan Hyungwon sudah menjalin hubungan selama bertahun-tahun, bagaikan dua kuas yang mengoles satu kanvas, selalu terdapat banyak warna di dalam kanvas tersebut. Bagaikan sebuah kisah dengan banyak cerita yang mengokohkannya.

Pertemuan pertama mereka hanya sebuah kebetulan. Tanpa rencana ataupun wacana. Hanya sebuah takdir yang telah digariskan semesta.

Pada hari Selasa terakhir di bulan April, hujan turun secara tiba-tiba. Saat itu Wonho, yang notabenenya seorang mahasiswa fakultas bisnis, terpaksa duduk dan berteduh di kantin fakultas kedokteran untuk memberikan sebuah kamera milih temannya yang tertinggal di apartemen Wonho.

Sembari menunggu Kihyun, temannya, datang untuk mengambil kamera, Wonho menggunakan waktunya untuk mengambil beberapa gambar hujan di musim panas itu dengan kamera Kihyun.

Tidak, Wonho bukan tipikal orang yang aesthetic ataupun menyukai keindahan secara sentimental. Dia hanya ingin menghalau kebosanan.

Sampai sebuah momen indah terabadikan dalam kamera tersebut.

Seorang pemuda dengan wajah kecil, tubuh tinggi dan bibir yang berlebihan tertangkap kamera sedang menatap rintik hujan seraya menyesap segelas Ice Americano menggunakan sedotan di bawah sebuah payung berwarna merah jambu.

Cantik.

Hanya itu yang terlintas di pikiran Wonho ketika semesta mempertemukan pandangan mereka dalam empat detik yang berharga. Hanya bertatapan, tanpa berbagi senyuman atau sapaan.

Hari Rabu di siang hari yang cukup terik, Wonho dengan sejuta pertanyaannya duduk manis di kursi pojok kantin itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari Rabu di siang hari yang cukup terik, Wonho dengan sejuta pertanyaannya duduk manis di kursi pojok kantin itu.

Sepasang bola matanya bergerak dengan cermat menatap setiap insane yang berada di sana. Tidak ada satupun yang terlewatkan. Jari telunjuknya tidak bisa berhenti mengetuk sisi meja, rasa penasaran yang teramat besar.

Sepuluh menit, dua puluh menit, tiga puluh menit, bahkan satu jam sudah Wonho duduk di sana. Mie instan di hadapannya telah mendingin, tetapi tidak ada tanda-tanda bahwa pemuda kemarin akan muncul lagi.

Helaan napas lelah sudah berkali-kali terdengar, setelah akhirnya tangan kekar itu mengambil sumpit di hadapannya dan memakan mie instan itu penuh khidmat.

Orang terus berdatangan dan pergi, tetapi tidak dengan Wonho yang masih menunggu sampai akhirnya getaran di ponsel menariknya untuk pulang.

Mungkin besok, pemuda itu muncul.

Dua Kuas Satu KanvasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang