#MDI (Mbak Dosen Imut)
Part 4 Inikah cinta?
Letupan amarah masih menyelimuti hati. Bahkan ketika mereka berhasil menangkis tinju dariku. Aku marah. Benar-benar marah, saat mereka menertawakan sekaligus mengejekku idiot, hanya karena aku mengulang adegan menjatuhkan motor saat kecelakaan kecil ini terjadi.
Jalanan yang licin membuat ban motorku tergelincir. Aku terjatuh, untung posisi kendaraan tidak sedang mengebut. Konyolnya, si penderita OCD tak lantas bangun, malah menjatuhkan motornya berkali-kali. Sontak hal ini dijadikan hiburan mengasyikan oleh orang di sekitar. Bukannya menolong malah menertawai dan mengejek.
"Joddy, hentikan!" Sekar masih memeluk tubuhku dari belakang. Badan kecilnya yang tidak seberapa berusaha menahanku dalam melawan mereka yang tak henti menghina diri ini.
"Diam, Mbak! Mereka menghina saya. Apa saya harus diam?"
Sekar menatap nyalang ke sekitar, ke barisan lelaki yang masih berdiri menatapku penuh ejek. "Lo semua masih ledek temen gue, gue lempar pake sepatu. Mao?!"
Satu per satu dari mereka pergi meninggalkanku—penderita OCD—yang menjadi korban kecelakaan tunggal. Untungnya ada Sekar yang tiba-tiba datang. Dirinya sungguh bagaikan penolong.
Dadaku masih turun naik, menahan amarah yang belum sepenuhnya reda. Di saat yang bersamaan, Sekar mengeratkan tubuh kami, hingga membuat tubuh ini mematung. Sentuhan halus Sekar yang membelai rambutku betul-betul menenangkan. Aku terenyuh, dan semakin menyandarkan kepala ke bahunya.
"Aku nggak mau melihatmu seperti ini, Jod," ucapnya sambil terisak.
Kami bertatapan sebentar. Dua bola mata bening itu amat memikat hati. Kemudian sama-sama tersadar, dan saling menepis pandang.
"Lukamu gimana, Jod?"
Aku hanya nyengir kuda, dan ia membalas dengan menamparku pelan.
"Ditanya malah nyengir!" ucap Sekar ketus, dan aku masih nyengir.
"Udah nggak sakit, Mbak. Enak malah," jawabku nyengir. "Gimana nggak enak, dielus-elus gini kakinya sama cewek imut," timpalku lagi.
Sekar segera menarik tangannya dari kakiku. Wajah kuning langsatnya kini bersemu merah.
"Aku beli air mineral sebentar, Jod. Di seberang jalan."
"Mbak Sekar, awas!" Sebuah motor berkecepatan tinggi hampir saja menghantam tubuh Sekar, jika ia tak menyelamatkan diri secepat mungkin. Sayangya, saat hendak memutar balik tubuh, kaki Sekar tersangkut pada lubang kecil di aspal.
Sekar menggeliat kesakitan, saat kaki jenjang tersebut kupijat lembut. Ia terus meringis dan meracau. Matanya mengerjap-ngerjap menahan nyeri, hingga tak sadar bahwa aku tengah memandangnya sejak tadi.
"Sakit, Jod. Malah diulang-ulang nepoknya. Dih!"
"Mbak Sekar imut ini kenapa? Nyeberang kok ragu-ragu. Untung nggak ketabrak."
"Aku kan biasa bawa motor, nyeberang pakai motor. Jadi, kalau nyeberang saat jalan kaki itu keder rasanya."
"Kita ini kenapa, sih? Apes kok janjian?" keluh Sekar, aku pun tertawa. Benar juga, selang beberapa menit setelah aku apes, Sekar pun ikut-ikutan.
Aku tersenyum, lantas menawarkan diri untuk memboncengnya hingga ke kampus. Sekar tak menolak. Ini kedua kalinya kami semotor bersama. Ada debar halus saat melihat helai rambutnya berterbangan melalui kaca spion.
"Tapi kamu habis jatuh, Jod? Serius bisa naik motor lagi?"
"Yaelah, jatuh gitu doang, Mbak. Jangankan bawa motor. Gendong Mbak Sekar sampe kampus aja saya kuat."
Sekar tersenyum, lalu spontan mencubit pahaku. Aku pun latah dan ikut mencubit pahanya, tapi ditampar.
"Aduh ... sakit, Mbak," ucapku meringis, menahan panas di pipi kanan.
"Kurang ajar, sih," gerutunya sinis.
"Yeee, Mbak aja sembarangan cubit paha saya. Giliran pahanya dicubit ogah."
Lagi ... tabokan nikmat mendarat di pipi kiri.
Sesampainya di kampus, Sekar turun dari motor. Sedangkan aku, bergegas putar balik karena niat awal memang bukan ke kampus sebenarnya.
"Mbak, saya izin hari ini nggak ngampus."
"Loh, tapi kamu—"
"Nggak apa, Mbak. Saya ikhlas anter Mbak ke kampus. Tadi, saat kita ketemu di jalan, sebenarnya saya emang bukan mau ke kampus. Hari ini jadwalnya kontrol ke dokter jiwa.
"Oke kalo gitu, aku ikut ke sana," ucap Sekar yakin.
"Lho, Mbak mau ngajar, kan?"
"Nggak, niatnya mau ke perpustakaan aja tadi. Ya sudah, ayo, aku temani kamu ke dokter."
Aku kembali memutar motor, kemudian Sekar pun naik. Tersentak saat kedua tangannya ia arahkan di pinggang. Memang yang dicengkeram hanyalah kaus yang kupakai, tapi ini sudah awalan yang luar biasa bagi kami.
Aku tersenyum, pun dengan Sekar. Sudut bibir ranum seksi yang tertarik itu dapat kulihat pantulannya di spion motor.
Tiba di rumah sakit. Aku segera pergi menuju administrasi pendaftaran. Praktek Dokter Jiwa dibuka sekitar satu jam lagi, dan aku mendapat nomor antrean kedua.
"Setiap bulan saya ke sini, Mbak. Dulu sih selalu ditemani keluarga. Sekarang udah agak mendingan, jadi sendiri."
"O, ya. Untuk apa?"
"Ya, terapi obat-obatan."
"Ada perubahan?" tanya Sekar dengan raut penasaran.
Aku menggeleng. "Kalaupun ada tapi nggak signifikan, Mbak. Pikiran buruk masih menghantui."
"Nggak coba psikolog, Jod. Kamu butuh terapi, butuh asupan pikiran positif. Butuh dukungan."
"Dulu pernah, Mbak. Percuma. Pikiran jelek itu selalu datang tiba-tiba."
"Jod, aku tanya sama kamu. Ada nggak sih manfaat saat kamu mengulang hal apa pun yang kamu lakukan?"
Aku menggeleng.
"Beri aku contoh ketakutanmu saat ini!"
"Takut tidur malam, Mbak. Takut mati."
"Sejak kapan kamu takut mati kalau tidur malam?"
"Setahun lalu, Mbak."
"Nyatanya apakah saat ini kamu sudah mati?! Nggak, kan? Semua ketakutan yang kamu rasakan itu palsu, Jod. Nggak akan terjadi. Kalau ketakutanmu akan kematian itu benar-benar nyata. Kamu udah dikubur sekarang, nggak akan menjadi mahasiswaku, nggak akan kenal dengan aku, dan nggak akan ...."
"Nggak akan jatuh cinta denganmu. Begitu maksudmu, Mbak?"
"Jod, kamu ... serius?"
"Ya, bercanda kali. Malas amat jatuh cinta sama cewek judes macam Mbak Sekar. Udah tua pula."
Sekar bangkit dan mengamuk. Habislah rambutku diremas-remas olehnya. Saking berambisinya, Sekar terpeleset oleh high heels yang ia kenakan. Tubuhnya ambruk. Andai tanganku tak menahannya, mungkin sedetik lagi bibir kami bersentuhan.
Sekar melotot kaget. Kembali ia membenarkan posisinya.
"Lagian, sih. Ganas," ucapku meledek.
"Ya, kamu, Jod. Sontoloyo banget. Nggak sopan sama yang tuaan."
Aku nyengir kuda. "Coba Mbak Sekar yang OCD."
"Kenapa emang?"
"Kan seru kalau kejadian tadi diulang-ulang."
Lagi ... tabokan ringan melayang di kedua pipiku. Sekar ... ampun!
TbC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mbak Dosen Imut
RomanceJoddy Prayata (21 tahun) mahasiswa penderita OCD (Obsessive Compulsive Disorder) yang jatuh cinta pada asisten dosennya sendiri, yaitu Sekar Arimbi (24 tahun). Sebagai penderita gangguan jiwa OCD, Joddy kerap kali melakukan suatu aktivitas berulang...